JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demikian sidang pengucapan Putusan Nomor 33/PUU-XIX/2021 yang digelar pada Rabu (29/9/2021) secara daring di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan pengujian UU OJK diajukan oleh Nurhasanah dan Khoerul Huda.
“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman saat memimpin sidang pengucapan putusan dengan didampingi delapan hakim konstitusi.
Mahkamah mempertimbangkan bahwa norma yang diuji para Pemohon yakni Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 54 ayat (1) UU OJK merupakan ketentuan pidana yang dirumuskan untuk menjamin dilaksanakannya wewenang OJK yang diberikan oleh UU dalam rangka fungsi pengawasan OJK terhadap kegiatan jasa keuangan. Apabila diuraikan unsur perbuatan kesengajaan yang terdapat dalam norma kedua pasal a quo, adalah mengabaikan, tidak memenuhi, menghambat, serta tidak melaksanakan. Rumusan kedua norma yang dimohonkan dalam pengujian a quo merupakan kategori delik formil yang menekankan pada perbuatan yang dilarang, sehingga suatu delik dianggap telah selesai meskipun pelakunya belum menyelesaikan perbuatan yang dilarang tersebut atau belum menimbulkan suatu akibat.
“Di sini nampak kehendak pembentuk undang-undang adalah untuk memastikan kewenangan OJK dapat dilaksanakan dan mencegah timbulnya gangguan atau tidak terlaksananya kewenangan tersebut yang muncul dari suatu perbuatan yang dilarang. Oleh karena itu, perumusan perbuatan yang dilarang tersebut tanpa perlu menitikberatkan pada akibat dari perbuatan sebagaimana halnya delik materiil,” jelas Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh yang membacakan pendapat Mahkamah dalam Putusan MK.
Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan dalil Pemohon mengenai bentuk perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 54 ayat (1) UU OJK dikecualikan terhadap perbuatan dalam bentuk ucapan. Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah, daya jangkau atau cakupan dari perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dapat dipidana berdasarkan Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 54 ayat (1) UU OJK bukan merupakan ranah kewenangan Mahkamah untuk menilainya.
“Karena dalil para Pemohon sudah merupakan implementasi norma. Sebagai contoh, perbuatan menghambat dapat diaktualisasikan melalui berbagai tindakan. Misalnya, menyembunyikan atau melenyapkan suatu dokumen atau keterangan, menghalang-halangi, mengulur-ulur waktu, hingga mengeluarkan ucapan yang bersifat memengaruhi, memprovokasi atau mengarahkan agar orang lain melakukan suatu perbuatan untuk menghambat pelaksanaan wewenang OJK,” ucap Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Kemudian mengenai kewenangan OJK dalam melakukan proses penyidikan. Menurut Mahkamah, kewenangan OJK dalam melakukan proses penyidikan harus berkoordinasi dengan penyidik Kepolisian sejak diterbitkannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, pelaksanaan penyidikan, sampai dengan selesainya pemberkasan sebelum pelimpahan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum.
“Hal demikian selain untuk menghindari potensi timbulnya kesewenang-wenangan dan tumpeng tindih dalam penegakan hukum pidana yang terpadu, yang lebih penting menurut Mahkamah adalah terwujudnya perlindungan dan jaminan atas hak-hak yang dimiliki oleh setiap warga negara, sekalipun ia dalam posisi sebagai tersangka. Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hokum,” lanjut Enny.
***
Untuk diketahui, permohonan pengujian UU OJK diajukan oleh Nurhasanah dan Khoerul Huda. Para Pemohon mengujikan Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 54 ayat (1) UU OJK.
Pasal 53 ayat (1) UU OJK menyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, atau menghambat pelaksanaan kewenangan OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan/atau Pasal 30 ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).”
Kemudian Pasal 54 ayat (1) UU OJK menyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja mengabaikan dan/atau tidak melaksanakan perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf d atau tugas untuk menggunakan pengelola statuter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).”
Para Pemohon adalah pemegang polis Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 yang badan usahanya berbentuk usaha bersama sehingga pemegang polis adalah pemilik dari badan usaha tersebut. Selain itu para Pemohon juga merangkap sebagai anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912.
Nurhasanah (Pemohon I) selaku pimpinan rapat menyampaikan perkataan “tidak takut menghadapi sifat OJK” dengan tujuan semata-mata agar anggota BPA lainnya serta para direksi tetap gigih mempertahankan dan mengelola AJB Bumiputera 1912 sesuai dengan Anggaran Dasar dan aturan yang berlaku demi melindungi kepentingan para anggota. Kemudian Nurhasanah telah ditetapkan sebagai tersangka dan Khoerul Huda (Pemohon II) telah dimintai keterangan sebagai saksi atas dugaan tindak pidana sektor jasa keuangan berupa mengabaikan atau tidak memenuhi atau menghambat pelaksanaan kewenangan OJK dan/atau tidak melaksanakan perintah tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 54 ayat (1) UU OJK.
Penetapan Pemohon I sebagai tersangka karena ucapan “tidak takut menghadapi sifat OJK” yang kemudian dilanjutkan dengan penahanan. Pemohon II juga berpotensi ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana sektor jasa keuangan. Hal ini menurut para Pemohon merupakan pelanggaran terhadap hak konstitusional para Pemohon, terutama hak atas “jaminan kepastian hukum yang adil” sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta “hak atas perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi” sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Menurut para Pemohon, Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 54 ayat (1) UU OJK bersifat meluas dan menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) serta tidak logis sehingga menimbulkan konflik norma. Kemudian frasa “dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, atau menghambat pelaksanaan kewenangan” dalam Pasal 53 ayat (1) UU OJK dan frasa “dengan sengaja mengabaikan dan/atau tidak melaksanakan perintah tertulis” dalam Pasal 54 ayat (1) UU OJK merupakan bentuk ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena frasa tersebut bersifat subjektif. OJK dapat serta merta melakukan abuse of power jika seseorang atau badan hukum telah melanggar ketentuan pasal-pasal a quo tanpa adanya ukuran yang jelas mengenai makna kata mengabaikan, tidak memenuhi dan/atau tidak melaksanakan dalam pasal a quo.
Menurut para Pemohon, OJK telah menyalahgunakan kewenangannya dengan menggunakan pasal-pasal a quo untuk menjerat dan menjatuhkan harkat dan martabat para Pemohon, karena apabila suatu perintah tertulis yang terdiri dari beberapa poin dan salah satu poin belum dilaksanakan, maka OJK dapat melakukan kewenangannya dengan menggunakan pasal-pasal a quo sebagai acuan hukum. Padahal dalam kenyataannya, 6 dari 7 poin dalam perintah tertulis OJK tersebut telah dilaksanakan.
Baca juga:
Jadi Tersangka, Anggota BPA AJB Bumiputera Uji UU OJK
Pemohon Uji UU OJK Sampaikan Perbaikan
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.