JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (28/9/2021). Agenda sidang permohonan Perkara 20/PUU-XIX/2021 ini adalah mendengarkan keterangan Ahli Pemohon.
“Agenda sidang hari ini sedianya ingin mendengarkan keterangan Ahli Pemohon. Tetapi karena proses masuknya keterangan tertulis tidak sesuai dengan proses yang sudah ditetapkan sebelumnya, yaitu dua hari sebelum hari sidang. Oleh karena itu, sidang ini tidak bisa diteruskan walaupun sudah dihadiri Pemohon dan kuasa Presiden dan DPR berhalangan,” jelas Ketua Pleno Anwar Usman saat memulai persidangan.
Baca juga: Dosen FMIPA UI Uji Ketentuan Pengangkatan Guru Besar
Satu hal yang ingin disampaikan Mahkamah, lanjut Anwar, dalam perkara ini ada permohonan untuk menjadi Pihak Terkait yaitu dari Universitas Indonesia. Mahkamah sudah memutuskan permohonan menjadi Pihak Terkait dikabulkan.
Terhadap pernyataan Mahkamah mengenai Ahli Pemohon, Maqdir Ismail selaku kuasa Pemohon menyampaikan permohonan maaf atas keterlambatan keterangan tertulis Ahli Pemohon kepada MK. “Bahwa menurut Mahkamah, keterangan tertulis Ahli Pemohon bisa disampaikan melalui email di luar hari kerja. Jadi sekali lagi kami memohon maaf yang sebesar-besarnya atas ketidaknyamanan ini. Kedua, kami berharap masih bisa menghadirkan Ahli kami yakni Prof Dr Yusril Ihza Mahendra pada sidang berikutnya. Sementara Pihak Presiden juga akan mempersiapkan ahli dan saksi untuk sidang berikutnya. Rencananya, maksimal akan menghadirkan tiga ahli dan tiga saksi.
Mahkamah akhirnya memutuskan untuk sidang mendatang, agendanya adalah mendengarkan keterangan satu Ahli Pemohon, satu Ahli Presiden dan Pihak Terkait. Sidang selanjutnya akan digelar pada Selasa, 2 November 2021.
Baca juga: Dosen FMIPA UI Perbaiki Permohonan Uji Materi Aturan Pengangkatan Guru Besar
Sebelumnya, Sri Mardiyati selaku Pemohon menguji Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen yang menyebutkan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Pemohon berprofesi sebagai dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (UI). Jabatan terakhir Pemohon adalah lektor kepala. Pemohon diusulkan oleh Rektor UI kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk diangkat sebagai guru besar atau profesor pada 2019, setelah melalui proses panjang di internal UI, termasuk penilaian karya ilmiah oleh guru besar di bidang matematika dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Namun usulan tersebut ditolak oleh menteri pendidikan dan kebudayaan, dalam hal ini direktorat jenderal pendidikan tinggi. Dengan alasan, karya ilmiah tidak memenuhi syarat. Padahal pihak UI sudah menyetujui dan telah mengesahkan hasil validasi atas karya ilmiah Pemohon.
Pemohon mendalilkan, seharusnya menurut Pasal 50 ayat (4) UU No. 14/2005, pengangkatan dan penetapan jenjang jabatan akademik tertentu termasuk guru besar merupakan kewenangan satuan pendidikan tinggi atau universitas atau rektor. Tetapi karena adanya Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Tahun 2019 yang ditetapkan oleh menteri, maka kewenangan untuk mengangkat dan menetapkan jabatan akademik tersebut menjadi kewenangan direktorat pendidikan tinggi.
Pemohon beranggapan, hal itu terjadi karena dalam Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen disebutkan adanya frasa bahwa pengangkatan dan penetapan guru besar ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adanya frasa ini telah menimbulkan multitafsir. Karena menteri pendidikan dan kebudayaan kemudian membuat peraturan yang membuat kewenangan kepada dirinya yang bertentangan dengan substansi atau maksud dalam Pasal 50 ayat (4) tersebut.
Menurut Pemohon, dalam praktiknya ketentuan Pasal 50 ayat (4) UU a quo diberikan makna lain dengan menggunakan Pasal 70 UU No. 14/2005. Seolah-olah pengangkatan dan penetapan jenjang akademik tertentu termasuk pengangkatan guru besar merupakan kewenangan menteri dan bukan kewenangan satuan pendidikan tinggi. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Tiara Agustina