JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Suhartoyo menjadi pembicara kunci dalam kegiatan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) II yang diselenggarakan oleh Universitas Pamulang bekerja sama dengan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) pada Senin (27/9/2021). Dalam kegiatan ini, Suhartoyo menjelaskan kewenangan MK yang diamanatkan konstitusi. Salah satunya adalah kewenangan MK melakukan pengujian undang-undang (PUU) terhadap UUD 1945.
Di hadapan para peserta PKPA secara daring ini, Suhartoyo menjabarkan, berpedoman pada Pasal 51 UU MK, pihak-pihak yang dapat mengajukan permohanan yakni perseorangan warga negara Indonesia yang hak-hak konstitusionalnya terlanggar atas keberlakuan suatu norma. Selain itu, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, dan lembaga negara juga dapat melakukan PUU. Dalam mengajukan permohonan, para pihak dapat mengajukannya secara online pada laman MK atau datang langsung mengajukan ke Gedung MK.
Terkait dengan format permohonan, Suhartoyo menganjurkan agar pemohon dapat mempelajarinya dari permohonan-permohonan yang pernah diajukan ke MK. Namun, jelas Suhartoyo, pemohon tidak perlu pula khawatir dengan ketidaksempurnaan permohonan yang nantinya diajukan ke MK. Sebab, di MK pun terdapat beberapa tahap persidangan yang akan memudahkan pemohon dalam menyempurnakan permohonannya.
Lebih lanjut Suhartoyo menerangkan, usai pemohon mengajukan permohonan dan segala kelengkapan administrasi telah terpenuhi, maka MK akan menggelar Sidang Pendahuluan. Pada forum sidang pendahuluan ini, acaranya bersifat tunggal yakni memberikan nasihat kepada pemohon yang akan disampaikan dengan baik oleh tiga hakim dalam sebiah Sidang Panel. Selanjutnya, usai sidang pendahuluan, pemohon diberikan waktu untuk memperbaiki permohonan selambat-lambatnya 14 hari. Agenda sidang berikutnya yaitu mendengarkan naskah perbaikan yang telah dilakukan pemohon.
“Sesungguhnya pemohon itu tidak harus ada keraguan dengan syarat-syarat permohonan karena pada akhirnya ada forum dari nasihat hakim untuk memperbaiki permohonan yang diajukan pemohon. Dengan catatan, nasihat tersebut tidak bersifat mengikat. Artinya boleh diikuti dan boleh tidak diikuti karena bisa jadi pemohon punya penafsiran yang berbeda dan yang dibuat di permohonan sudah memenuhi kaidah dalam PMK. Jadi dipersilakan saja,” sampai Suhartoyo dari Ruang Kerjanya di Gedung MK, Jakarta.
Bagian dari Alat Bukti
Usai memberikan paparan materi, para peserta PKPA diperkenankan untuk mengajukan pertanyaan yang terkait dengan pembahasan pada hari ini. Salah satunya pertanyaan dari Sigit tentang sifat dari keterangan ahli dalam persidangan di MK. Suhartoyo menjawab, keterangan ahli yang diperdengarkan pada persidangan itu adalah bagian dari bukti. Keterangan saksi dan keterangan tertulis ahli adalah alat bukti sehingga kadar nilainya mempunyai kesetaraan.
“Sekarang kembali lagi sejauh mana hakim kemudian terikat dengan alat bukti itu, baik itu keterangan para pihak ataupun ahli. Ya, nilai bobotnya sama saja. Semua menjadi relatif. Jika keterangannya meyakinkan hakim, maka hakim akan bisa mempedomani dan meyakini keterangan itu sebagai bagian dari pertimbangan hukum dalam rasio putusan hakim,” jawab Suhartoyo.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.