JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang terhadap permohonan perkara pengujian ketentuan tugas MPR dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 17/2014 atau UU MD3) pada Senin (27/9/2021). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 45/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh dua perorangan bernama Ahmad Ridha Sabana dan Abdullah Mansuri yang menyatakan diri sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Indonesia (Partindo).
Dalam persidangan yang digelar secara daring, Munatsir Mustaman mewakili Pemohon mengatakan telah memperbaiki permohonan sesuai nasihat hakim pada sidang pendahuluan. Perbaikan yang dilakukan salah satunya adalah memperbaiki kedudukan hukum. Pihaknya menjelaskan bahwa Pemohon adalah Partai Indonesia (Partindo) yang merupakan partai non parlemen karena tidak mempunyai kursi di DPR.
Selain itu, Munatsir juga mengatakan perbaikan selanjutnya terdapat pada alasan permohonan mengenai alasan perlu adanya penambahan kewenangan MPR dalam menyusun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). “Karena di undang-undang sekarang tidak ada (kewenangan MPR Menyusun GBHN). Makanya, kami minta supaya ada perubahan di Pasal 5 huruf d untuk memasukkan bahwa MPR berwenang untuk menyusun pokok-pokok haluan negara,tentang GBHN,” ujarnya.
Baca juga: Menyoal Penambahan Kewenangan MPR dalam UU MD3
Untuk diketahui, pada sidang pendahuluan, Pemohon menyatakan diri sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Indonesia (Partindo) yang merasa hak konstitusionalnya telah dirugikan atau setidak-tidaknya potensial terjadi kerugian oleh berlakunya Pasal 5 UU MD3. Menurut Pemohon, MPR dipandang perlu untuk memiliki tugas lain, yakni menyusun dan menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang menjadi pedoman pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional di segala bidang yaitu ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.
Selain itu, Pemohon mendalilkan saat ini pembangunan nasional mengacu pada Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 yang menghasilkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang dalam hal pembentukannya tidak representatif mengingat dibuat oleh presiden semata. RPJPN kurang mempresentasikan kehendak dan kedaulatan rakyat terlepas telah dilakukan pembahasan bersama DPR untuk disahkan. Untuk itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 5 UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila pada pasal a quo tidak ditambahkan poin e yang berbunyi ”menyusun dan menetapkan PPHN yang menjadi pedoman pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional”.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Raisa Ayuditha