JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga negara yudisial turut serta menjalankan peran penyelenggaraan berbangsa dan bernegara. MK menjalankan fungsi antara lain sebagai pengawal konstitusi (the guardian of Constitution), pengawal Pancasila sebagai ideologi negara (the guardian of state’s ideology), penafsir akhir konstitusi (the sole interpreter of Constitution), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of citizen’s constitutional rights), dan pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights).
Demikian disampaikan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo saat memberikan ceramah kunci dalam acara Webinar Nasional Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan Universitas Negeri Surabaya Vol. 2, Sabtu (25/9/2021). Suhartoyo memaparkan tema “Relasi Hukum dan Etika: Penyelenggaraan Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.
Norma Hukum dan Etika
Suhartoyo mengatakan MK sebagai bagian dari lembaga penegak hukum berusaha untuk melihat hukum tidak semata sebatas sekumpulan atau sekelompok norma yang tertuang dalam rumusan undang-undang. Namun, hukum sudah seyogianya diperlakukan sebagai hal yang memiliki rasa dan jiwa. Sehingga, hukum harus diberlakukan selaras dengan nilai yang dianggap pantas oleh hati dan jiwa umat manusia, yang sesungguhnya nilai-nilai itu juga terepresentasi di dalam hukum itu sendiri.
“The rule of ethics (kode etik) dalam penegakan hukum harus dapat pula dimaknai sebagai sebuah sikap yang melandasi bagaimana penegak hukum dapat memperlakukan hukum dengan proper (layak) sebagaimana nilai yang dianggap baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” jelasnya secara daring.
Lebih lanjut Suhartoyo menjelaskan, dalam konteks pelaksanaan kewenangan MK, sinergi penerapan the rule of law dan the rule of ethics dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, aspek formil yang dapat ditinjau dari pelaksanaan hukum acara MK. Rule of law dalam pelaksanaan kewenangan MK telah diturunkan dari UU MK ke dalam peraturan teknis seperti Peraturan MK dan Peraturan Ketua MK. Ketentuan dalam aturan-aturan tersebut harus dipedomani oleh seluruh pihak yang akan berperkara di MK, baik dalam proses pengujian undang-undang, penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara, penyelesaian perselisihan penyelenggaraan pemilu, maupun penyelesaian perselisihan penyelenggaraan pilkada.
Adapun rule of ethics terwujud di antaranya dalam proses pengambilan putusan oleh sembilan Hakim Konstitusi yang tentu saja dilaksanakan secara imparsial dan independen. Selain itu, adanya persidangan yang terbuka dan akuntabel juga merupakan salah satu wujud pelaksanaan rule of ethics.
Kedua, aspek materiil yang tercermin dalam setiap putusan MK. Sebagai salah satu contoh bentuk bagaimana MK membersamai pelaksanaan rule of law dan rule of ethics adalah pada pertimbangan hukum dalam putusan MK yang secara penuh memberikan perlindungan hak konstitusional warga negara.
Selain itu, Suhartoyo juga mengatakan bahwa penyelenggaraan berbangsa dan bernegara sudah seyogianya menyeimbangkan dan membersamai dipatuhinya the rule of law (supremasi hukum) dan the rule of ethics (aturan etika). Kesadaran akan norma hukum dan norma etika penyelenggaraan negara akan dapat dilihat masyarakat melalui sikap, perilaku, tindakan, ucapan santun yang pada akhirnya dapat menghasilkan penyelenggara negara yang teladan, amanah, dan berakhlak mulia. Keterkaitan antara norma hukum dan etika harus dapat berjalan beriringan untuk menghasilkan keadilan yang senyata-nyatanya dapat dirasakan oleh masyarakat. Sejatinya hukum adalah sesuatu yang suci dan tidak ternodai, adapun jika terjadi penodaan atau penyimpangan dalam pemberlakuan hukum, kerap kali hal tersebut diakibatkan oleh sikap dan tindakan pelaksana dan penegak hukum yang tidak memedomani rule of ethics (kode etik).
Di akhir sambutannya, Suhartoyo menekankan bahwa relasi hukum dan etika secara universal tidak hanya berlaku pada konteks penegakan hukum saja namun juga pada proses penyelenggaraan berbangsa dan bernegara.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.