JAKARTA, HUMAS MKRI - Hukum acara tidak dapat dipisahkan dari kehidupan advokat baik di Mahkamah Konstitusi maupun peradilan lainnya di Indonesia. Jadi, senjata advokat adalah hukum acara yang digunakan untuk menyelesaikan berbagai urusan di pengadilan. Demikian kalimat pengantar yang disampaikan Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam kegiatan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia dengan DPC Peradi Jakarta Timur pada Sabtu (25/9/2021).
Suhartoyo mengatakan ketika berbicara hukum acara di MK, terdapat suatu perbedaan prinsip dalam perkara kewenangan MK untuk melakukan pengujian undang-undang (PUU). Dalam penyelesaian perkara ini, tidak ada para pihak yang digugat dan tergugat. Sementara untuk hukum acara MK atas kewenangan penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran partai politik, dan penyelesaian sengketa pilpres dan pilkada, hukum acaranya sama namun memiliki karakter tersendiri. Selain itu, sambung Suhartoyo, karakteristik khusus lainnya dari sidang PUU adalah kehadiran Presiden, DPR, DPD, MPR atau pihak yang membuat undang-undang bukan untuk melawan Pemohon. Melainkan untuk memberikan keterangan bagaimana sejarah dari undang-undang yang diajukan pengujiannya ke MK.
“Jadi dalam hal pemenuhan panggilan untuk memberikan keterangan ini adalah untuk memberikan keterangan kepada hakim konstitusi dan bukan untuk membantah apalagi melawan Pemohon,” jelas Suhartoyo di hadapan sejumlah 73 peserta PKPA yang mengikuti kegiatan ini secara daring.
Berikutnya, Suhartoyo menjelaskan mengenai dua bentuk pengujian undang-undang yang ada di MK, yakni pengujian formil dan materiil. Bahwa dalam PUU, baik formil maupun materil dapat diajukan oleh perorangan WNI, kesatuan masyarakat adat, badan hukum publik atau privat, dan lembaga negara. Sementara itu berkaitan dengan objek pengujian dalam PUU ini, Suhartoyo mengatakan bahwa dalam uji formil maka hal yang diujikan adalah proses pembentukan suatu undang-undang sejak diundangkan undang-undang tersebut. Sedangkan untuk pengujian materiil, yang diujikan adalah materi muatan baik ayat, pasal, dan/atau bagian dari keduanya.
Kemudian karakteristik beracara di MK lainnya, jelas Suhartoyo, adalah kuasa Pemohon dalam pengajuan perkara tidak harus dikuasakan pada seorang advokat. Sebab, dalam PUU tidak ada lawan yang harus dibantah oleh para pihak dalam pengajuan permohonanya. Lalu Suhartoyo juga menyebutkan bahwa terhadap persidangan perkara, MK akan menggelar beberapa tahap persidangan sebelum masuk pada tahap pemeriksaan, yakni sidang pendahuluan yang di dalamnya Pemohon dapat menyampaikan permohonannya yang didapat didengarkan secara terbuka untuk umum. Pada sidang pendahuluan ini, Pemohon akan diberikan pula nasihat oleh Hakim Panel untuk menyempurnakan permohonannya.
“Jadi tidak ada alasan sebuah permohonan itu tidak sempurna nantinya atau takut permohonan jelek atau lainnya. Sebab di sidang perndahuluan akan diberikan arahan secara baik oleh hakim atas poin-poin yang kurang dari permohonan yang diajukan. Selain itu, Pemohon juga dapat membaca dan mempelajari permohonan-permohonan yang pernah diajukan ke MK yang dapat dijadikan rujukan untuk memperbaik permohonan. Selanjutnya usai mendapatkan nasihat tersebut, Pemohon akan diberikan kesempatan 14 hari untuk memperbaiki permohonanya,” jelas Suhartoyo.
Namun dikatakan oleh Suhartoyo, perbaikan permohonan tersebut bukanlah suatu keharusan yang harus dijalankan Pemohon, melainkan sebuah allternatif bagi kesempurnaan permohonan Pemohon. Usai menjelaskan tentang karakteristik dari hukum acara PUU, Suhartoyo juga menyampaikan beberapa poin utama dari penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara dan pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan legislatif, dan pemilihan kepala daerah yang dilakukan MK sebagaimana diamanatkan konstitusi dan undang-undang. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P