BANDUNG, HUMAS MKRI - Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman menjadi pembicara dalam Diklat Khusus Profesi Advokat (DPKA) Angkatan XV Tahun 2021 yang diselenggarakan oleh Kongres Advokat Indonesia (KAI) bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Pasundan pada Sabtu (25/9/2021) di Bandung. Dalam paparan berjudul “Mahkamah Konstitusi dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” ini, Anwar mengulas materi pembuka tentang kewenangan MK yang diamanatkan konstitusi.
Sehubungan dengan kewenangan ini, Anwar melihat keberadaan MK tersebut tak lepas dari perjalanan awal reformasi dan juga amendemen UUD 1945. Dari empat kali amendemen UUD 1945, hanya Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 tentang bentuk negaralah yang tidak diubah. Sementara lainnya, dilakukan perubahan sesuai dengan kebutuhan negara dan masyarakat. Termasuk pula dengan dibentuknya MK dengan segala kewenangan dan kewajibannya yang dimuat dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Anwar menyebut kewenangan yang dimiliki MK, yakni mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Selain itu, MK berkewajiban untuk memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
“Dari empat kewenangan dan satu kewajiban ini, para advokat memiliki kesempatan yang jauh lebih luas dibandingkan hakim di MK. Sebab wilayah kewenangan para advokat tak hanya di MK, tetapi semua wilayah peradilan. Sehingga kesempatan dengan wilayah hulum yang luas itu untuk menegakkan keadilan,” sampai Anwar dalam kegiatan yang juga dihadiri oleh Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI) Siti Jamaliah Lubis.
Pilkada dan Pemilihan Demokratis
Berikutnya, Anwar juga membahas kewenangan tambahan MK untuk menyelesaikan perselisihan pemilihan kepala daerah hingga dibentuknya badan peradilan khusus. Namun terkait ini, Anwar menguraikan kekeliruan yang dipahami masyarakat mengenai makna dari pemilihan kepala daerah. Sebagaimana termuat dalam Pasal 18 UUD 1945, pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis. Makna ini oleh MK ditafsirkan bahwa jika selama pelaksanaan dari pemilihan tersebut berjalan dengan sistem demokrasi, maka hal tersebut sah dan konstitusional.
“Kemudian muncul pertanyaan, apakah jika pemilihan dilakukan oleh DPR dan dan tidak langsung dipilih rakyat apakah itu konstitusional? Ya itu, konstitusional dan sama. Jadi, makna demokratis dalam Pasal 18 UUD 1945 itu boleh langsung dan tidak langsung. Pertanyaan berikutnya, kenapa tidak ditentukan secara pasti, langsung saja dipilih oleh rakyat atau DPRD? Hal itu karena Pasal 18 UUD 1945 itu disahkan lebih dulu oleh MPR sebelum disahkannya UU Pemilu terkait dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung pada 2001,” jelas Anwar. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P