JAKARTA, HUMAS MKRI – Berbagai pertanyaan disampaikan para peserta kegiatan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan secara daring oleh Fakultas Hukum Universitas Andalas (FH Unand) bekerja sama dengan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) pada Sabtu (25/9/2021).
Salah seorang peserta PPKA ada yang menanyakan soal semua pasal dalam UUD Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945 menjamin hak-hak konstitusional warga negara. Terhadap pertanyaan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo yang menjadi narasumber PKPA membenarkan adanya jaminan hak konstitusional warga negara dari pemberlakuan pasal-pasal dalam Konstitusi.
“Meskipun pasal perpasal tidak menegaskan kontennya hak konstitusional. Karena konten-konten tertentu ditekankan pada pasal-pasal tertentu. Tapi menurut saya, tidak dapat dipisahkan antara pasal satu dengan lainnya. Secara keseluruhan kalau ditelisik pasti ada irisannya yang berkaitan dengan hak konstitusional warga negara,” jelas Suhartoyo.
Selain itu, ada pertanyaan mengenai boleh tidaknya pasal-pasal yang telah diuji di MK, diujikan kembali. Menjawab pertanyaan ini, Suhartoyo mengatakan bahwa Pasal 60 ayat (1) UU No. 8/2011 tentang Mahkamah Konstitusi, “terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”. Namun terdapat pengecualian di Pasal 60 ayat (2) UU No. 8/2011, “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda”.
“Dengan demikian, pasal-pasal yang pernah diuji ke MK dapat diujikan kembali dengan dasar pengujian berbeda. Bahkan sekarang ada ketentuan baru bahwa dapat diuji kembali dengan alasan permohonan yang berbeda,” ucap Suhartoyo.
Berikutnya, ada pertanyaan soal peran Pemerintah dan DPR dalam persidangan MK, sejauh ini dapatkah dimungkinkan Pemerintah dan DPR dapat melakukan peran lain, misalnya melakukan pembelaan terhadap Termohon. Mengenai peran Pemerintah dan DPR, Suhartoyo menjelaskan bahwa karakter pengujian undang-undang bersifat volunteer. Artinya, ada Pemohon tetapi tidak ada Termohon. Kapasitas Pemerintah dan DPR saat memberikan keterangan bukanlah sebagai Termohon, yang kepentingan langsungnya hanya untuk para Hakim Konstitusi.
Hukum Acara MK
Sebelumnya, Hakim Suhartoyo menjelaskan materi “Beracara di Mahkamah Konstitusi”. Dia mengatakan bahwa Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sangat tergantung dengan kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi yaitu menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Selain itu MK memutus pembubaran partai politik dan memutus Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian ada lagi kewenangan MK memutus pendapat DPR adanya dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran tindak pidana. Juga ada kewenangan tambahan dari MK yaitu mengadili perkara-perkara sengketa pemilihan kepala daerah. Kewenangan mengadili perkara pemilihan kepala daerah tidak diturunkan dari Konstitusi.
Seluruh kewenangan MK tersebut sesuai dengan Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945 serta UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun tidak termasuk kewenangan tambahan MK yakni mengadili perkara-perkara sengketa pemilihan kepala daerah.
Suhartoyo melanjutkan, ketika MK menjalankan kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD, sifat perkaranya tidak ada para pihak. Artinya, ada Pemohon tetapi tidak ada Termohon atau Tergugat. Berbeda ketika MK menjalankan kewenangan-kewenangannya selain menguji undang-undang, sifat perkaranya ada pihak Pemohon dan Termohon, ada sengketa kepentingan.
Lebih lanjut Suhartoyo menerangkan secara rinci seluruh kewenangan MK. Dalam pengujian undang-undang terhadap UUD, terdapat dua model atau dua objek pengujian. Pertama, pengujian formil yang berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Kedua, pengujian materiil sebagai pengujian undang-undang yang berkenaan dengan substansi undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Suhartoyo juga menerangkan sejumlah alasan pemohon menguji undang-undang ke MK, antara lain hak-hak konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang, kerugian konstitusionalnya bersifat spesifik, aktual dan potensial. Selain itu harus ada korelasi, hubungan sebab akibat antara hak konstitusional yang dijamin oleh UUD dengan berlakunya undang-undang.
Selanjutnya, kata Suhartoyo, yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan MK adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara. Suhartoyo juga menjelaskan mengenai pemberian kuasa untuk persidangan di MK. Pemohon dan atau Termohon dapat didampingi atau diwakili kuasa hukum, sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa. Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat. Esensinya agar memberi kemudahan pada access to justice untuk masyarakat yang memang tidak mampu untuk membayar advokat. Sepanjang yang bersangkutan menguasai dengan baik Hukum Acara MK. Selain itu, di MK dikenal adanya pendamping yang mengerti Hukum Acara MK, sepanjang bisa membantu kepentingan-kepentingan prinsipal dengan membuat surat keterangan kepada MK.
Mengenai sistematika permohonan, ungkap Suhartoyo, terdiri atas identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita, petitum. Permohonan untuk berperkara ke MK dapat dilakukan secara offline maupun secara online.
Lebih lanjut Suhartoyo menyinggung tahap persidangan di MK, dimulai dari sidang pemeriksaan pendahuluan yang dihadiri Pemohon dan/atau kuasanya serta dipandu Panel Hakim MK yang terdiri dari tiga Hakim Konstitusi yang wajib memberikan nasihat dan masukan kepada Pemohon. Setelah itu ada sidang perbaikan permohonan yang masih dipandu dengan Panel Hakim MK. Tahap berikutnya, sidang pembuktian untuk mendatangkan ahli, pihak Pemerintah, DPR, MPR atau lembaga-lembaga lainnya untuk memberikan keterangan. Termasuk juga menghadirkan para saksi.
Tahap akhir adalah sidang pengucapan putusan. Dalam sidang pengujian undang-undang tidak menghadirkan pihak Termohon karena objeknya pengujian undang-undang. Berbeda dengan sidang perselisihan hasil pemilu maupun pilkada yang menghadirkan pihak Pemohon, Termohon, Bawaslu, Pihak Terkait. Bicara Putusan MK, ujar Suhartoyo, bersifat erga omnes. Meskipun permohonan dimohonkan oleh perseorangan atau individu, namun keberlakuan putusan bersifat umum dan memengaruhi hukum di Indonesia. Putusan MK juga bersifat final dan mengikat, artinya tidak ada upaya hukum lagi setelah adanya Putusan MK. Selain itu Putusan MK dapat bersifat pemberlakuan secara bersyarat. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P