JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (22/9/2021) siang. Permohonan perkara yang teregistrasi Nomor 48/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Partai Bulan Bintang (PBB) diwakili oleh Ketua Umum Yusril Ihza Mahendra dan Sekretaris Jenderal Afriansyah Noor (Pemohon I), Partai Beringin Karya (Berkarya) diwakili oleh Ketua Umum Muchdi Purwopranjono dan Sekretaris Jenderal Badaruddin A.P. (Pemohon II), Partai Perindo (Persatuan Indonesia) diwakili oleh Ketua Umum Hary Tanoesoedibjo dan Sekretaris Jenderal Ahmad Rofiq (Pemohon III), Partai Solidaritas Indonesia (PSI) diwakili oleh Ketua Umum Grace Natalie Louisa dan Sekretaris Jenderal Raja Juli Antoni (Pemohon IV).
Para Pemohon melakukan pengujian materiil Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu yang menyebutkan, “Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verilikasi oleh KPU”.
Para Pemohon telah lolos verifikasi dan telah ditetapkan sebagai peserta Pemilu Tahun 2019 yang lalu. Para Pemohon termasuk sebagai partai yang tidak berhasil memenuhi ambang batas parlemen (parliamentary threshold, PT) sebagaimana ketentuan Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu yakni paling sedikit sebesar 4% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.
Para Pemohon sangat dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu. Ketentuan pasal ini membebankan kewajiban bagi Pemohon untuk terus menerus melakukan verifikasi administrasi maupun faktual setiap saat akan mengikuti kontestasi pemilu yang memakan energi, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit sehingga apabila Pemohon tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk itu secara otomatis akan menghalangi para Pemohon untuk menggunakan hak politiknya mengikuti kontestasi pemilu.
Hak konstitusional para Pemohon juga semakin dirugikan karena ketentuan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu telah diputus oleh MK beberapa kali dalam putusan-putusan sebelumnya dengan menguatkan pembebanan kewajiban melakukan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual kepada Pemohon. Yang terakhir melalui Putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020, MK juga kembali menegaskan pembebanan kewajiban yang sama melalui penafsiran baru sebagaimana amar putusan sebagai berikut: Menyatakan Pasal 173 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah lulus verifikasi oleh KPU” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru”.
Cukup Verifikasi Administrasi
Para Pemohon mendalilkan, verifikasi administrasi dan verifikasi faktual pada pokoknya adalah aspek teknis dan prosedural untuk memastikan partai politik yang ikut serta dalam pemilu adalah parpol yang memang memenuhi kualifikasi yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Proses ini dapat diterima untuk diterapkan bagi partai politik yang baru karena keikutsertaannya dalam pemilu haruslah dilakukan pengecekan untuk memastikan akuntabilitas dan kapabilitasnya memfasilitasi pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui pemilu.
“Namun bagi parpol yang telah mengikuti pemilu yang telah teruji kualifikasinya karena pernah dinyatakan lolos sebagai peserta dan diperbolehkan mengikuti kontestasi pemilu, pemberlakuan verifikasi administrasi dan faktual ulang itu menjadi tidak relevan. Hal ini dikarenakan parpol yang demikian telah lulus verifikasi administrasi dan faktual sebelum mengikuti pemilu periode sebelumnya. Kedudukannya berbeda dengan parpol yang sama sekali baru berdiri dan belum pernah mengikuti kontestasi pemilu. Parpol-parpol yang telah mengikuti pemilu telah membuktikan kiprahnya dan telah menjalankan fungsinya sebagai wadah bagi rakyat melaksanakan kedaulatan menurut Undang-Undang Dasar. Karena itu, perolehan suara yang didapat parpol dalam pemilihan sebelumnya, sekalipun kecil dan tidak berhasil memenuhi ambang batas parlemen 4% tidaklah dapat diabaikan begitu saja karena perolehan suara parpol itu adalah adalah wujud nyata bagian-bagian kedaulatan rakyat yang telah dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar,” papar Yusril Ihza Mahendra.
Dikatakan Yusril, untuk parpol-parpol yang belum pernah mengikuti pemilu memerlukan pembuktian kualifikasi sehingga menjadi wajar apabila parpol baru perlu dicek kelengkapan persyaratannya melalui verifikasi administrasi dan faktual. Sementara untuk parpol yang telah mengikuti pemilu telah berhasil membuktikan pemenuhan persyaratan dan kualifikasinya sebagai peserta pemilu, sehingga cukup dilakukan verifikasi administrasi saja, demi berjalannya tertib administrasi dalam pemilu.
Sedangkan bagi parpol yang berhasil memenuhi parliamentary threshold karena telah berhasil membuktikan tidak hanya sebagai peserta namun telah membuktikan pula performanya mendudukkan wakil-wakilnya di DPR Pusat, maka menjadi beralasan menurut hukum apabila MK tidak menerapkan kewajiban verifikasi administrasi maupun faktual kepadanya karena dua verifikasi itu sudah tidak relevan bagi partai-partai ini.
Dengan demikian, kata Yusril, oleh karena penyamarataan verifikasi administrasi dan faktual kepada parpol yang sudah ikut pemilu dan parpol yang belum ikut pemilu terbukti bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui pemilu, maka jelaslah terdapat cukup dasar dan alasan hukumnya bagi MK untuk menyatakan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu tidak konstitusional sepanjang tidak dimaknai sebagai; “Partai politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan parliamentary threshold pada Pemilu 2019 tidak perlu diverifikasi secara administrasi maupun secara faktual; Partai politik yang telah lolos verifikasi Pemilu 2019 namun tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan parliamentary threshold, parpol yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan parpol yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi saja; Partai politik baru yang belum pernah mengikuti pemilihan umum diwajibkan untuk melaksanakan verifikasi administrasi maupun verifikasi faktual”.
Ketepatan Batu Uji
Anggota Panel Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mencermati format permohonan para Pemohon sudah memenuhi ketentuan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 2 Tahun 2021, dimulai dengan identitas para Pemohon, kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita, petitum. Selain itu, Manahan meminta para Pemohon memberikan penjelasan mengenai Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga masing-masing parpol terkait siapa saja yang mewakili sebagai Pemohon. Misalnya, hanya ketua parpol, atau bisa dengan sekjen maupun bendahara parpol.
Sementara Anggota Panel lainnya, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan agar para Pemohon menyampaikan argumentasinya yang jelas kalau memang dalil-dalil permohonan tidak nebis in idem. Misalnya, dengan menyampaikan dalil permohonan yang berbeda, alasan-alasan permohonan yang berbeda meski batu ujinya sudah pernah digunakan sebelumnya, disertai dengan peraturan perundang-undangan yang menegaskan permohonan termasuk nebis in idem atau tidak. Sedangkan untuk substansi permohonan, Suhartoyo menilai sudah saling berkorelasi dan cukup mudah untuk dipahami.
Selanjutnya Ketua Panel, Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta para Pemohon agar mempertimbangkan pencantuman Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengenai Kekuasaan Kehakiman dalam permohonan, sebagai batu uji.
“Apakah tepat menggunakan pasal tersebut, sementara yang dipersoalkan tentang kepesertaan partai politik terkait dengan verifikasi. Ini mohon dipikirkan kembali. Karena argumentasinya mengenai independensi kekuasaan kehakiman, bukan verifikasi partai politik,” kata Saldi menasihati.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.