JAKARTA, HUMAS MKRI - Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 telah menentukan bahwa Komisi Yudisial (KY) bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Sehingga, dalil Pemohon yang menyatakan kewenangan KY tersebut tidak diatur secara tegas di dalam Pasal 24B UUD 1945, bukan berarti ketentuan tersebut menjadi belenggu bagi pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Cara pandang yang terlalu sempit dalam batas-batas tertentu justru akan menimbulkan kemacetan dan kemandekan penyelenggaraan pemerintahan negara, pelayanan publik, ataupun penegakan hukum di masyarakat karena harus menunggu adanya amendemen UUD 1945.
Demikian disampaikan oleh pakar Hukum Tata Negara, Ni’matul Huda, saat dihadirkan oleh KY sebagai ahli dalam sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY), pada Selasa (21/9/2021) secara daring. Sidang perkara Nomor 92/PUU-XVIII/2020 ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman bertempat di Ruang Sidang Pleno MK.
Ni’matul Huda lebih lanjut mengatakan kewenangan KY sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 hanya mengusulkan hakim agung dan tidak memiliki kewenangan mengusulkan hakim lain selain hakim agung. Sehingga menurutnya, ketentuan tersebut tidak dapat ditafsirkan lagi selain bunyi teks ketentuan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945.
Menurut Ni’matul Huda, jabatan hakim dalam konsepsi UUD 1945 adalah jabatan kehormatan yang harus dihormati, dijaga dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga bersifat mandiri, yaitu KY.
“Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu, kekuasaan kehakiman yang merdeka dan imparsial (independent and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan dengan sekaligus diimbangi dengan prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun dari segi etika. Meskipun KY tidak menjalankan kekuasaan kehakiman, tetapi keberadaannya diatur di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Karena itu, keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari Kekuasaan kehakiman,” terangnya.
Ni’matul Huda menjelaskan, Pasal 25 UUD 1945 syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. Ketentuan ini secara atributif memberi kewenangan kepada pembentuk UU (DPR dan pemerintah) untuk mengatur seluk-beluk terkait rekrutmen dan pemberhentian Hakim. Misalnya seperti yang tertera dalam Pasal 13 huruf a UU KY yang berbunyi, “Komisi Yudisial mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan”.
Menurutnya, pembentuk UU memiliki kewenangan untuk mengatur bagaimana rekrutmen hakim, termasuk hakim ad hoc MA dengan melihat kebutuhan di masyarakat dan tuntutan adanya kualitas, kapasitas, dan profesionalitas hakim yang harus memiliki standar yang terukur dan pasti sebagaimana yang sudah dilakukan oleh KY selama ini dalam melakukan seleksi calon hakim agung.
Adanya frasa “mempunyai wewenang lain” itulah yang memungkinkan KY dapat melakukan tugas dan kewenangan lain yang ditentukan oleh UU, dalam hal ini adalah melakukan seleksi hakim ad hoc di MA sebagaimana yang ditentukan di Pasal 13 huruf a UU KY. “Dengan demikian, kehadiran KY dalam sistem seleksi hakim ad hoc di MA ditentukan legalitasnya melalui Undang‑Undang Nomor 18 Tahun 2011, bukan kreasi kebijakan yang dibuat sendiri oleh Komisi Yudisial,” papar Ni’matul Huda.
Hal yang sama juga dikatakan oleh ahli yang dihadirkan oleh KY lainnya yakni Sidharta. Ia mengatakan frasa “hakim ad hoc” yang muncul pada Pasal 13 huruf a UU KY tidaklah berinduk pada kewenangan pada objek norma yang pertama.
“Frasa hakim ad hoc itu harus dicermati berinduk pada objek norma yang kedua, yaitu bahwa KY mempunyai wewenang lain. Apa wewenang tersebut? Tidak disebutkan di dalam Pasal 24B Ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sekalipun tidak disebutkan, Pasal 24B Ayat (1) itu membingkainya dengan dua kondisi, kondisi norma, ya. Pertama, kondisi bahwa Komisi Yudisial harus bersifat mandiri di dalam menjalankan kewenangan itu. Kedua, kondisi bahwa kedua objek norma itu harus dijalankan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim,” urai Sidharta.
Menurutnya, kondisi norma yang pertama mengkondisikan subjek normanya. Sementara kondisi norma yang kedua mengkondisikan dua objek norma itu bersama‑sama. Hal ini karena kondisi norma yang kedua ini menggunakan kata-kata, “…serta perilaku hakim”, bukan dibatasi hanya hakim agung. Artinya, kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung itu harus dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Begitu juga dengan kewenangan lain di luar wewenang dalam mengusulkan pengangkatan hakim agung. Ia menjelaskan, kewenangan ini pun sama, yaitu dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Menurut Sidharta, Pemohon hanya berfokus pada objek norma yang pertama, bukan pada objek norma yang kedua.
“Pandangan demikian tidak tepat karena jika demikian halnya, maka semua kewenangan yang dimiliki oleh KY di luar wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, harus juga dianggap sebagai perluasan makna, termasuk yang dicantumkan dalam Pasal 13 huruf c dan huruf d Undang-Undang KY, atas alasan bahwa objek norma yang menjadi induk dari kewenangan KY dalam mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc itu sebenarnya mengacu ke objek norma yang kedua, maka dengan sendirinya persoalan penafsiran frasa hakim agung yang diperluas itu sudah tidak lagi relevan untuk dibahas,” terang Sidharta secara daring.
Dikatakan Sidharta, hak yang diklaim sebagai hak konstitusional Pemohon untuk mengajukan permohonan dengan argumentasi seperti di atas menjadi tidak layak untuk diakui karena hak yang dinyatakan sebagai hak konstitusional Pemohon tersebut tidak lagi punya keseimbangan kepentingan dengan kewenangan konstitusional KY.
Di sisi lain juga tidak ada argumentasi yang telah menjustifiklasi bahwa KY di dalam menjalankan kewenangannya itu telah melampaui batas kekuasaan publiknya. Ketidaklayakan itu berangkat pula dari catatan tambahan bahwa sistem atau proses seleksi hakim ad hoc di MA pada hakikatnya juga tidak langsung berkaitan dengan kepada siapa wewenang pengusulan pengangkatan itu diberikan. Artinya, tidak ada jaminan jika nanti penyeleksian dilakukan hanya oleh MA, maka seleksinya akan menjadi lebih sederhana.
Kemudian, tolok ukur keberhasilan suatu sistem atau proses seleksi hakim ad hoc di MA tidak boleh diukur dari kesederhanaan prosedural. Tetapi terlebih-lebih apakah sistem atau proses itu membuahkan hakim-hakim yang menjaga keluhuran martabat dan perilakunya sebagai penyandang profesi terhormat di mata masyarakat.
Untuk diketahui, permohonan uji materi UU KY ini diajukan oleh Burhanudin, seorang dosen yang pernah mengikuti seleksi hakim ad hoc di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 2016. Adapun norma yang diujikan yakni Pasal 13 huruf a UU KY.
Dalam persidangan sebelumnya, Zainal Arifin Hoesein selaku kuasa Pemohon mengatakan bahwa Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY, khususnya frasa “dan hakim ad hoc”. Selain itu, aturan hukum dalam UU a quo yang menyamakan hakim ad hoc dengan Hakim Agung, merupakan pelanggaran konstitusional terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
Menurutnya hakim ad hoc pada MA tidak sama dengan hakim agung baik status, fungsi, dan kewenangan yang melekat pada jabatannya. Jabatan hakim ad hoc pada MA tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan jabatan hakim agung. Model seleksi terhadap hakim ad hoc, khususnya Tipikor yang dilakukan oleh MA yang diatur dalam UU Pengadilan Tipikor, sebelum berlakunya ketentuan UU KY, lebih memberikan jaminan kepastian hukum dan sesuai kompetensi seorang hakim ad hoc di bidang tertentu sebagaimana yang dibutuhkan oleh MA.
Lebih lanjut Zainal menjelaskan, Pengadilan Tipikior bernaung di MA sebagai pengadilan khusus di bawah lembaga peradilan umum. Menurutnya, kebijakan negara dalam menghadapi korupsi yang sudah menjadi kejahatan luar biasa adalah dengan membentuk lembaga negara independen, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Guna mendukung kinerja KPK, sambung Zainal, maka dibentuk pengadilan khusus yang diletakkan pada MA di bawah lembaga peradilan umum.
Ketentuan hakim ad hoc merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kewenangan MA baik yang ditentukan dalam UUD 1945 maupun UU Kekuasaan Kehakiman. Dengan adanya ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY, maka jelaslah bahwa Pembentuk Undang-Undang secara expressis verbis telah memperluas kewenangan KY yang semula hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung juga mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di MA. Dengan demikian, memperlakukan seleksi yang sama antara calon hakim MA dengan hakim ad hoc yang memiliki perbedaan baik secara struktural, maupun status merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai keadilan.
Selain itu mendasarkan ketentuan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, tanggal 7 Oktober 2015, maka telah ternyata ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY inkonstitusional, sehingga Pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY harus bertentangan secara konstitusional dengan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Baca Juga:
Menguji Kewenangan KY Mengusulkan Pengangkatan Hakim Ad Hoc
Penguji Kewenangan KY Perbaiki Kerugian Konstitusional
Pemerintah Belum Siap, Sidang Uji UU KY Ditunda
Pemerintah, MA, dan KY Tanggapi Soal Kewenangan KY dalam Seleksi Hakim Ad Hoc
DPR: Hakim Ad Hoc di MA Dapat Disamakan Dengan Hakim Agung
Zainal Arifin Mochtar: Peran KY Diamanatkan untuk Mengusulkan Calon Hakim Agung
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.