JAKARTA, HUMAS MKRI – Pada peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional ke-26 yang berlangsung pada 10 Agustus 2021 silam, Presiden Joko Widodo meminta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk segera mengkonsolidasikan dan mengintegrasikan kekuatan riset dan inovasi nasional. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek).
Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek:
“Untuk menjalankan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan, serta Invensi dan Inovasi yang terintegrasi dibentuk badan riset dan inovasi nasional.”
Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek:
“Yang dimaksud dengan "terintegrasi" adalah upaya mengarahkan dan menyinergikan antara lain dalam penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bidang Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan untuk menghasilkan Invensi dan Inovasi sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional.”
Terkait pengintegrasian lembaga riset sebagaimana diatur dalam pasal-pasal tersebut, dua peneliti mengajukan uji materiil atas kedua ketentuan di atas. Pemohon perkara Nomor 46/UU-XIX/2021, yakni Heru Susetyo yang merupakan Peneliti pada Lembaga Riset dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan sebagai Anggota Dewan Riset Daerah Provinsi DKI Jakarta.
Dalam sidang yang digelar pada Selasa (21/9/2021) siang, para Pemohon diwakili oleh Zainal Arifin Husein, dkk., sebagai kuasa hukum. Pemohon menguji secara materiil kata “terintegrasi” dalam Pasal 48 ayat (1) dan frasa “antara lain” dalam Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek. Pemohon menganggap hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek sebagaimana telah diubah dengan Pasal 121 UU No. 11/2020 (UU Cipta Kerja) karena frasa “yang diintegrasikan” pada pasal a quo dianggap multitafsir. Hal ini berakibat pada ketidakpastian hukum karena frasa “yang diintegrasikan” memiliki tafsir tidak jelas apakah hanya terintegrasi koordinasi penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan untuk menghasilkan invensi dan inovasi sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional atau peleburan kelembagaan.
“Pasal 42 UU No. 11/2019 sebagai jabaran atau turunan dari Pasal 13 ayat (2) UU No. 11/2019 secara jelas menyebutkan kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri dari: a. lembaga penelitian dan pengembangan lembaga pengkajian dan penerapan, perguruan tinggi, badan usaha dan lembaga penunjang. Merujuk pada ketentuan Pasal 42 tersebut yang dihubungkan dengan koordinasi, maka lembaga-lembaga yang dikoordinasikan adalah sebagaimana ditentukan Pasal 42 UU No. 11/2019,” kata Zainal.
Oleh karena itu, ungkap Zainal, apabila dikaitkan dengan Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek sebagaimana diubah dalam Pasal 121 UU Cipta Kerja terkait dengan BRIN yang menyatakan bahwa untuk menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi dibentuk BRIN. Kata “terintegrasi” menimbulkan interpretasi yang beragam yakni apakah diartikan sebagai koordinasi sehingga eksistensi dan fungsi lembaga masih tetap ada sebagaimana Pasal 42 UU Sisnas Iptek ataukah kata “terintegrasi” diartikan sebagai peleburan berbagai lembaga riset pemerintah tersebut menjadi satu lembaga yaitu Badan Riset dan Inovasi Nasional.
BRIN Sebagai Koordinator
Pemohon pun mendalilkan frasa “terintegrasi” dalam Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek sebagaimana diubah dalam Pasal 121 UU Cipta Kerja, frasa tersebut tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan dari pasal-pasal sebelumnya dari UU Sisnas Iptek, yaitu Pasal 13, Pasal 42, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 5 67, Pasal 71, dan Pasal 79. Sehingga dapat disimpulkan bahwa fungsi pemerintah pusat hanya pada fungsi koordinasi atau sebagai koordinator. Hal ini disebabkan dalam UU Sisnas Iptek secara eksplisit telah ditegaskan bahwa BRIN adalah badan pusat dari kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan serta invensi dan inovasi. Maka, BRIN merupakan badan yang melakukan koordinasi terhadap berbagai lembaga yang menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan serta invensi dan inovasi seperti BATAN, BPPT, LIPI, LAPAN.
Dengan demikian menurut Pemohon, fungsi BRIN seharusnya melakukan koordinasi dari tugas-tugas di luar riset dan inovasi, seperti penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan untuk menghasilkan invensi dan inovasi yang selama ini tersebar.
Menurut Pemohon, kata “integrasi” dalam Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek sebagaimana diubah dalam Pasal 121 UU Cipta Kerja semakin diperparah dengan Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek sebagaimana diubah dalam Penjelasan Pasal 121 UU Cipta Kerja yang memberi frasa “antara lain” sehingga mengakibatkan multitafsir yang berakibat pada lembaga BATAN, BPPT, LIPI, LAPAN dilebur menjadi satu.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “terintegrasi” Pasal 48 ayat (1) dan frasa “antara lain” dalam Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek sebagaimana diubah dalam Pasal 121 dan Penjelasan Pasal 121 Cipta Kerja tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai badan riset dan inovasi nasional adalah badan yang hanya melakukan fungsi koordinasi menyusun, merencanakan, membuat program, anggaran, dan Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bidang Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan.
“Atau menyatakan frasa “antara lain” dalam Penjelasan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi sebagaimana diubah dalam Pasal 121 dan Penjelasan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tandas Zainal.
Nasihat Panel Hakim
Terkait permohonan tersebut, Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan nasihat perbaikan. Enny menyampaikan kepada Pemohon agar objek pengujian harus jelas dan tidak kabur. Misalnya, pasal-pasal yang diuji tidak berubah, kejelasan identitas Pemohon sebagai dosen maupun peneliti, termasuk SK Peneliti agar disebutkan. Selain itu Pemohon agar lebih menjelaskan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon, serta memperkuat lagi penjelasan pertentangan antara norma yang diuji dengan UUD 1945. Berikutnya, Enny meminta agar Pemohon membuat judul petitum.
Sementara Anggota Panel, Hakim Konstitusi Saldi Isra mencermati bahwa pada perihal permohonan, Pemohon melakukan pengujian Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek. Namun dalam permohonan, Pemohon ingin juga melakukan pengujian frasa “antara lain” Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek.
“Kemudian apakah Pemohon sudah menguraikan alasan-alasan permohonan terkait pengujian Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2019. Khususnya frasa ‘antara lain’,” ujar Saldi yang juga meminta Pemohon menambah satu Pemohon sebagai peneliti berstatus PNS.
Selanjutnya Anggota Panel lainnya, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh banyak menyoroti aspek penulisan dan tata bahasa dalam permohonan. Seperti cara penulisan bahasa asing yang harus miring, karena melihat ada beberapa kata asing masih ditulis tegak. Termasuk juga penulisan footnote dalam permohonan, dan lainnya. Lainnya, Daniel menyarankan agar identitas Pemohon ditulis sesuai dengan KTP.
Panel Hakim memberikan waktu selama 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan permohonan. Perbaikan tersebut diterima Kepaniteraan MK selambatnya pada Senin, 14 Oktober 2021.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: M. Halim