JAKARTA, HUMAS MKRI - Pada hari kedua kegiatan Bimbingan Teknis Legal Drafting bagi Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN HAN) Angkatan ke-4, Hakim Konstitusi Saldi Isra dihadirkan sebagai pemateri dengan pokok bahasan mengenai “Hukum Acara Pengujian Undang-Undang”. Kegiatan yang diselenggarakan Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi pada Selasa (21/9/2021) ini diikuti oleh 100 peserta yang terdiri atas 80 orang peserta dari APHTN-HAN dan 20 orang peserta lainnya dari Mahkamah Konstitusi.
Berbicara pengujian undang-undang (PUU), Saldi mengatakan jika hal ini menjadi kewenangan paling pertama dari kewenangan yang diamanatkan konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Berkaitan dengan kewenangan ini pula, jika dirunut pada sejarah ide bernegara dalam konsep check and balances, maka pengujian undang-undang ini harus ditempatkan sebagai sebuah pemikiran hukum tata negara dalam melihat hubungan antara negara pada konstitusi sebuah negara yang bersangkutan.
Lebih jauh Saldi membahas, jika dikembalikan pada konsep trias politica—yang di dalamnya terdapat tiga lembaga dalam sistem bernegara, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif—maka PUU dalam konteks teori dapat ditempatkan sebagai suatu bagian dari fungsi yudisial, yakni mengontrol kerja lembaga eksekutif dan legislatif. Sehingga bagaimana mengkaji undang-undang (UU) yang dibuat oleh pembuat UU, dengan penilaian konstitusionalitas yang akan dilakukan oleh MK. Diakui oleh Saldi bahwa pada masing-masing lembaga tersebut telah tersedia mekanisme internal check. Akan tetapi, jika hal tersebut tidak berfungsi, maka bagaimana jika UU yang dibuat tersebut melanggar konstitusi.
“Oleh karena itu, dibutuhkan lembaga ekternal di luar tubuh lembaga yang bersangkutan untuk mengawasi proses itu. Jika ada substansi yang bertentangan, maka MK melalui perannya akan mengontrol dan menilai atas potensi pelanggaran yang akan potensial terjadi atas keberlakukan suatu undang-undang,” jelas Saldi.
Dengan demikian, lanjut Saldi, fungsi judicial review adalah melihat ada atau tidak potensi dari sebuah undang-undang melangaar ketentuan konstitusi. Dengan adanya ruang ini, maka pembuat UU akan mengutamakan unsur kehati-hatian dalam mengusung produk yang akan dihasilkannya.
Tak Melulu tentang Amendemen
Kemudian Hakim Konstitusi masa jabatan 2003 – 2008 dan 2015 – 2020, I Dewa Gede Palguna juga hadir untuk mengulas materi terkait penafsiran Konstitusi. Dalam paparannya, Palguna menjabarkan pemahakan tentang penafsiran konstitusi, yang mencakup pengertian dan metode bagi orang-orang untuk menyelesaikan perselisihan tentang pengertian dari hal-hal yang dimuat pada konstitusi. Menurut Palguna, dalam penafsiran konstitusi ini sesorang yang menkajinya akan melihat cara mengelaborasi pengertian-penertian dalam konstutsi. Sehingga penafsiran konstitusi dapat dikatakan sebagai upaya mencari jawaban dari pernyataan bagaimana memandang konstitusi.
“Oleh karenanya, penafsiran konstitusi dapat dikatakan sebagai mekanisme untuk mengetahui dan memastikan konstitusi sudah dilaksanakan dalam praktiknya apakah sesuai dengan pengertian dan tujuan yang ada di dalamnya,” jelas Palguna yang saat ini kembali aktif dengan dunia mengajar di kampus.
Berkaitan dengan ini, dikatakan oleh Palguna bahwa bagi negara-negara yang menganut supremasi konstitusi atau negara demokrasi, seperti halnya Indonesia, maka kewenangan penafsiran konstitusi ini ada di tangan pengadilan. Sehingga urgensi penafsiran konstitusi ini, kata Palguna, bertalian dengan sifat konstitusi yang statis dan tidak mudah untuk diubah.
“Oleh karenanya, konstitusi selalu membutuhan penyempurnaan dan tidak melulu dengan amendemen, tetapi melalui penafsiran maka konstitusi pun dapat diubah, diperbarui, dan disempurnakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” jelas Palguna.
Pada kegiatan bimtek hari kedua ini, selain mendapatkan paparan dari dua pemateri di atas para para peserta juga mendapatkan materi tentang proses pembentukan peraturan perundang-undangan serta jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Kegiatan bimtek kali ini digelar selama lima hari sejak Senin – Jumat (20 – 24/9/2021) mendatang. Adapun materi yang akan didapatkan para peserta, di antaranya mengenai Pengharmonisasian Peraturan Perundang-undangan, Teknik Penyusunan Naskah Akademik, dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan. Selain itu para peserta bimtek ini juga akan diberikan Pelatihan Penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang akan dibagi dalam 16 kelompok kerja. Pada akhir bimtek, para peserta pun akan diberikan kesempatan untuk mempresentasikan hasil pelatihan dalam Seminar Hasil Pelatihan yang dilakukan pada 8 kelas yang telah ditentukan penyelenggara. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P