JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menunda pelaksanaan sidang pleno terhadap dua perkara permohonan pengujian materiil Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) terhadap UUD 1945, pada Senin (20/9/2021) pagi secara daring. Dua perkara dimaksud yakni Perkara Nomor 23/PUU-XIX/2021 dan Nomor 24/PUU-XIX/2021.
Sejatinya, agenda sidang pleno hari ini adalah mendengarkan keterangan DPR dan Presiden. Namun, dalam persidangan, Ketua MK Anwar Usman mengatakan DPR berhalangan hadir dan telah mengirimkan surat pemberitahuan. Sementara Pemerintah meminta persidangan ditunda.
“Pada persidangan hari ini seharusnya mendengarkan keterangan DPR dan Presiden. DPR berhalangan, dan dari kuasa Presiden mengajukan surat meminta waktu untuk penundaan sidang. Kalau begitu sidang ini harus ditunda sampai hari Senin, 18 Oktober 2021 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Presiden,” ujar Anwar.
Baca juga: Menyoal Ketiadaan Kasasi dalam Putusan Kepailitan
Untuk diketahui, Pemohon perkara Nomor 23/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh PT. Sarana Yeoman Sembada yang diwakili oleh Sanglong alias Samad selaku Direktur Utama. Pemohon menguji norma Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU. Pemohon dijatuhkan status PKPU pada putusan perkara yang keempat yang artinya ada 3 (tiga) perkara yang sebelumnya yang pihaknya, alat buktinya sama ditolak. Tetapi pada perkara keempat pihaknya sama, alat buktinya sama, tetapi dikabulkan.
Menurut Pemohon Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon merasa hak hukumnya telah dirampas dan dirugikan, dikarenakan ketentuan bunyi pasal tersebut. Padahal upaya hukum Kasasi dan PK merupakan suatu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa agar Putusan Pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun MA yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dimintakan pemeriksaan kembali kepada MA sebagai Lembaga Peradilan Tertinggi Negara, yang dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan atau kekeliruan bila terjadi atas putusan Pengadilan di tingkat yang lebih rendah oleh Pengadilan yang lebih tinggi. Dimana kesalahan atau kekeliruan tersebut merupakan kodrat manusia, termasuk Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara, meskipun Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
Sehingga Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, untuk itu dapat diajukan upaya hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Baca juga: Tidak Terima Dinyatakan Pailit, Pemohon Gugat UU Kepailitan
Sementara perkara Nomor 24/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Calvin Bambang Hartono yang merupakan salah satu debitur bank swasta di Indonesia. Pemohon yang merupakan salah satu debitur Bank Swasta di Indonesia, yakni PT. Bank Bukopin dengan mendapatkan kredit/pinjaman dengan jaminan tanah dan bangunan yang kredit/pinjaman tersebut diikat dengan akta Perjanjian Kredit. Atas kredit/pinjaman yang diikat dengan akta Perjanjian Kredit oleh Bank Bukopin tersebut, namun adanya obyek Tanah dan Bangunan luas 538 m² dengan lima Sertifikat Hak Milik Nomor 189/Desa Panjangjiwo atas nama Tjandra Liman sebagaimana dimaksud angka 2 (dua) huruf (b) sampai saat ini belum adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atas pemberian kredit/pinjaman dimaksud.
Pemohon mengatakan bahwa Pasal 31 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU tidak memberikan ruang kepada seseorang atau badan usaha dan badan hukum yang telah dinyatakan pailit. Padahal sebelumnya Pemohon telah melakukan upaya-upaya hukum terkait dengan perkara-perkara yang sedang dihadapi. Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan frasa “Putusan Pernyataan Pailit Berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitur yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera debitur” sebagaimana ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU UU Kepailitan dan PKPU tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: M. Halim