JAKARTA, HUMAS MKRI - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto menjadi pembicara kunci dalam kegiatan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang yang diselenggarakan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar bekerja sama dengan Peradi, pada Minggu (19/9/2021) pagi secara daring. Aswanto menyampaikan materi “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”.
Aswanto menerangkan mengenai kekuasaan kehakiman pasca amendemen UUD 1945. Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Kemudian, Aswanto menerangkan tugas dan kewenangan MK yang diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Kewenangan MK juga diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Selain itu, kewenangan MK diatur dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Berdasarkan ketentuan tersebut, terang Aswanto, MK memiliki empat Kewenangan dan satu Kewajiban. Empat kewenangan MK yaitu, menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum (pemilu). Sedangkan kewajiban MK yaitu, MK wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Dikatakan Aswanto, Indonesia merupakan negara hukum. Konstitusi menegaskan bahwa Indonesia negara hukum, bukan berdasar atas kekuasaan belaka. Sebagai negara hukum, berdasarkan pengalaman dan perjalanan dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagai sebuah negara, terdapat hal-hal yang dianggap masih perlu diperbaiki.
“Salah satu yang diperbaiki adalah kita mustinya tidak hanya sekadar rechtsstaat tetapi juga menjadi rule of law,” ujar Aswanto.
Dalam konteks rechtsstaat, apapun yang sudah dinormakan dalam satu UU, maka sudah dianggap sebagai norma yang harus dipatuhi dalam suatu negara atau masyarakat. Apabila norma tersebut dianggap tidak benar substansinya, dianggap memihak kepada kepentingan kelompok tertentu, dianggap merugikan hak konstitusional yang sudah diberikan oleh UUD 1945, maka dapat diuji melalui MK.
“Jadi ketika ada UU yang oleh warga negara dianggap mengurangi atau menghapuskan atau mendegradasikan hak konstitusional yang sudah diberikan oleh UUD 1945, maka warga negara dapat membawa persoalan tersebut ke MK,” jelas Aswanto.
Aswanto juga menjabarkan mengenai perbedaan lembaga negara. Ada lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, dan ada lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UU.
“Dalam konteks memutuskan sengketa kewenangan antar lembaga negara adalah lembaga negara yang tugas dan kewenangannya diatur langsung dalam UUD 1945 atau kewenangan tersebut merupakan kewenangan atribusi,” imbuh Aswanto.
Dalam perkembangan pelaksanaan kewenangannya, ungkap Aswanto, MK mengatakan Pasal 50 UU No. 24 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 50 memuat ketentuan yang menyatakan bahwa UU yang dapat diuji di MK adalah UU yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945. Pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional berdasarkan Putusan MK Nomor 066/PUU-II/2004 dalam perkara pengujian UU No. 1 Tahun 1987 tentang Kadin. Selain itu, MK juga berwenang menguji Peraturan Pemerintah Pengganti UU (perpu) dengan pertimbangan bahwa perpu menimbulkan norma hukum baru yang kekuatan berlakunya sama dengan UU.
Kewenangan MK dalam pengujian UU (judicial review) dibagi menjadi dua yakni pengujian formil dan/atau pengujian materiil. Pengujian formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3) PMK No. 2 Tahun 2021. Sementara pengujian materiil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (4) PMK No. 2 Tahun 2021.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.