JAKARTA, HUMAS MKRI - Hari ketiga kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara (PPHKW) Bagi Sivitas Akademika Universitas Kristen Maranatha yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) berlangsung secara virtual pada Kamis (16/9/2021). Kegiatan ini merupakan kerja sama MK dengan Universitas Kristen Maranatha, Bandung.
Pada sesi pertama, hadir narasumber Hakim Konstitusi Saldi Isra menyajikan materi “Beracara di Mahkamah Konstitusi”. Memulai pertemuan, Saldi mengatakan bahwa Konstitusi adalah gambaran umum mengenai desain bernegara. Undang-Undang Dasar (UUD) sebuah negara akan memberikan gambaran secara minimalis rancang bangun sebuah negara.
“Konstitusi manapun di dunia memperlihatkan rancang bangun negara. Kita akan sulit memahami rancang bangun sebuah negara, kalau kita tidak mengetahui bagaimana desain bernegaranya. Dalam Konstitusi, kita bisa melihat bentuk sebuah negara, apakah termasuk negara federal atau kesatuan. Ada Konstitusi yang secara eksplisit mengatakan sebagai negara kesatuan. Ada Konstitusi yang secara eksplisit mengatakan sebagai negara federal,” ujar Saldi.
Mahkota MK
Saldi mengatakan, UUD Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945 menyebutkan Indonesia merupakan negara kesatuan. Konstitusi Indonesia juga menyebutkan bentuk pemerintahan Indonesia.
Dalam Konstitusi, jelas Saldi, juga terlihat keberadaan lembaga-lembaga negara di sebuah negara. Termasuk ada lembaga negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, yudikatif. Hal itu bisa dilacak pada setiap Konstitusi, demikian juga pada UUD NRI Tahun 1945. Menurut Konstitusi Indonesia, pemegang kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Agung (MA) dengan badan peradilan di bawahnya, dan Mahkamah Konstitusi (MK). Model lembaga kekuasaan kehakiman di Indonesia, ujar Saldi, berbeda dengan di Amerika Serikat yang hanya punya satu lembaga kekuasaan kehakiman yakni Mahkamah Agung.
“Kalau kita meletakkan konteks hubungan antara lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan kita, Mahkamah Konstitusi merupakan badan peradilan yang kewenangannya untuk menyelesaikan soal-soal politik ketatanegaraan,” jelas Saldi.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi, terang Saldi, dimaksudkan untuk menjaga agar undang-undang (UU) yang dibuat pembentuk UU tidak bertentangan dengan Konstitusi. Mahkota Mahkamah Konstitusi adalah untuk menjaga agar UU, baik formil maupun materiil, tidak bertentangan dengan UUD. Baik proses pembentukan dan substansinya, UU tidak boleh bertentangan dengan UUD. Menurut Saldi, sangat mungkin terjadi pertentangan antara UU dengan UUD, karena UU dibentuk oleh lembaga yang punya banyak kepentingan politik. Oleh sebab itu, MK diberikan otoritas oleh Konstitusi untuk menganulir kalau ada substansi UU bertentangan dengan UUD.
Lebih lanjut Saldi menerangkan lima kewenangan MK yaitu menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu, memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Dari lima kewenangan, yang paling banyak digunakan MK adalah pengujian UU terhadap UUD. Kemudian dari lima kewenangan MK, yang belum pernah digunakan MK adalah memutus pembubaran partai politik dan memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Di luar lima kewenangan MK tersebut, ada kewenangan tambahan MK untuk memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah.
Terkait pengujian UU terhadap UUD, ungkap Saldi, MK bersikap pasif. MK tidak boleh mendorong orang untuk mengajukan permohonan. MK juga tidak boleh dengan inisiatif sendiri untuk melakukan pengujian UU.
“MK bersifat menunggu, ada atau tidak ada permohonan datang ke MK,” tegas Saldi.
Saldi melanjutkan, ada tata cara pengujian UU di MK karena UU MK tidak secara detail menjelaskan tata cara pengujian UU. Dalam pengujian UU dikenal dengan permohonan, bukan gugatan. Prinsip pengujian UU bahwa Pemohon hanya menguji norma, tidak ada Termohon seperti pada persidangan umum maupun perdata. Selain itu, posisi Pemohon tidak “berhadap-hadapan” dengan Pemerintah dan DPR. Karena Pemerintah dan DPR hanya sebagai Pemberi Keterangan. Namun, apabila MK sudah merasa cukup dengan permohonan Pemohon, maka MK tidak perlu lagi memanggil Pemerintah dan DPR untuk memberikan keterangan. Ada beberapa kasus pengujian UU yang diputus MK tanpa mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR.
Dijelaskan Saldi, permohonan pengujian UU ke MK bisa diajukan secara online dan offline, meskipun banyak Pemohon yang lebih suka mengajukan permohonan secara offline dengan datang langsung ke MK. Permohonan yang diajukan Pemohon kemudian diperiksa oleh Kepaniteraan MK, terkait syarat-syarat yang harus dipenuhi Pemohon, termasuk memeriksa bukti-bukti yang dilampirkan Pemohon. Setelah diperiksa Kepaniteraan MK, permohonan akan diregistrasi melalui Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Selanjutnya, Kepaniteraan MK akan melakukan telaah umum terhadap permohonan Pemohon, mengkaji substansi permohonan, pasal-pasal dan UU yang diuji dan sebagainya.
Tahap berikutnya, ujar Saldi, Kepaniteraan MK akan membawa permohonan Pemohon ke Ketua MK agar menunjuk panel hakim yang bertugas memeriksa awal permohonan Pemohon. Sebelum dilakukan sidang pendahuluan, panel hakim bersama para peneliti MK yang mendampingi, melakukan penelaahan terkait substansi permohonan, sistematika permohonan dan sebagainya. Setelah itu, barulah MK menyelenggarakan sidang pendahuluan dengan agenda pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan dalam sidang panel oleh tiga hakim konstitusi. Terhadap permohonan tersebut, dalam jangka waktu paling lambat 14 hari MK memberi kesempatan untuk dilakukan perbaikan atau kelengkapan. Karena pada hakikatnya bukan sengketa kepentingan, maka UU mewajibkan Mahkamah melalui hakim panel memberikan nasehat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonannya.
Setelah sidang pendahuluan, ada sidang perbaikan permohonan. Kemudian kalau permohonan berlanjut berdasarkan hasil Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) MK, maka akan diteruskan menuju sidang pleno atau pembuktian dengan menghadirkan Pemerintah, DPR, Ahli maupun saksi-saksi. Selanjutnya, permohonan Pemohon kembali dibahas dalam RPH, hingga akhirnya dilakukan sidang pengucapan putusan.
Teori Penyusunan Permohonan PUU
Selanjutnya hadir narasumber Panitera Pengganti MK Syukri Asy’ari memaparkan materi “Teknik Penyusunan Permohonan Pengujian Undang-Undang”. Sebelum melangkah ke praktik penyusunan permohonan Pengujian Undang-Undang (PUU), Syukri akan menyampaikan teori-teori penyusunan permohonan PUU, khususnya pengujian secara materiil.
“Perkara pengujian undang-undang adalah perkara yang hanya satu pihak, yang diuji adalah norma undang-undang. Ada Pemohon tetapi tidak ada Termohon atau lawan,” kata Syukri.
Syukri menjelaskan pengertian para pihak dalam sidang PUU, yakni Pemohon, Pemberi Keterangan dan Pihak Terkait. Ketiganya dapat diwakili oleh kuasa hukum berdasarkan surat kuasa khusus dan/atau didampingi oleh pendamping berdasarkan surat keterangan.
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya undang-undang, yaitu perorangan warga negara Indonesia atau termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, serta badan hukum publik atau privat, maupun lembaga negara,” papar Syukri.
Mengenai Pemberi Keterangan, jelas Syukri, MK dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Selain itu, Keterangan Pemberi Keterangan sekurang-kurangnya memuat uraian yang jelas mengenai fakta yang terjadi saat proses pembahasan dan/atau risalah rapat dari undang-undang atau perpu yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon, termasuk hal-hal lain yang dianggap perlu oleh Pemberi Keterangan atau yang diminta oleh Mahkamah.
Kemudian yang disebut Pihak Terkait adalah pihak yang berkepentingan langsung dan/atau tidak langsung dengan pokok permohonan. Pihak Terkait yang berkepentingan langsung adalah pihak yang hak dan/atau kewenangannya secara langsung terpengaruh kepentingannya oleh pokok permohonan. Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung adalah pihak yang hak, kewenangan, dan/atau kepentingannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya terhadap permohonan dimaksud.
Lebih lanjut Syukri memaparkan syarat-syarat pengajuan permohonan, yaitu permohonan dapat diajukan secara luring atau daring. Berkas permohonan sekurang-kurangnya terdiri atas: permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia sebanyak satu eksemplar asli yang ditandatangani oleh Pemohon/kuasa hukum, fotokopi identitas Pemohon/kuasa hukum dan surat kuasa serta AD/ART. Di samping itu, permohonan sekurang-kurangnya memuat identitas Pemohon dan/atau kuasa hukum, Kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum Pemohon, alasan permohonan (posita) dan petitum.
Usai paparan materi dari dua narasumber, berlanjut dengan kegiatan praktik penyusunan permohonan PUU. Para peserta kegiatan dibagi dalam kelompok-kelompok kelas terpisah untuk belajar menyusun sistematika dan format permohonan sesuai yang didapat dari materi sebelumnya. Setelah itu, para peserta melanjutkan tugas mandiri praktik penyusunan permohonan PUU terhadap UUD Negara Repulik Indonesia Tahun 1945.
Untuk diketahui, kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara (PPHKWN) Bagi Civitas Akademika Universitas Kristen Maranatha, terselenggara atas kerja sama MK dengan Universitas Kristen Maranatha. Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Ketua MK Anwar Usman pada Selasa (14/9/2021) malam secara daring di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua Bogor. Sejumlah narasumber hadir secara daring untuk menyampaikan materi dalam kegiatan PPHKWN yang berlangsung selama empat hari, mulai Selasa-Jumat, 14-17 September 2021.
Baca juga:
Ketua MK Resmi Buka PPHKWN bagi UK Maranatha
Hak Asasi Manusia dan Hak Warga Negara Menurut Jimly Asshiddiqie
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.