BANDUNG, HUMAS MKRI – Konferensi ke-2 Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Dewan Konstitusi dari Negara-Negara Anggota dan Peninjau Organisasi Kerja Sama Islam (The 2nd Conference of the Judicial Conference of Constitutional and Supreme Courts/Councils of the OIC Member States/ Observer States (J-OIC) dibuka dengan penyampaian materi dari sepuluh negara, yakni Turki, Kazahstan, Malaysia, Indonesia, Azerbaijan, Yordania, Irak, Aljazair, Mesir, Thailand, dan Mozambik. Acara yang digelar pada Kamis (16/9/2021) di Bandung, Jawa Barat, berlangsung dengan diikuti oleh 32 negara (30 negara mengikuti secara daring dan 2 negara mengikuti secara luring). Konferensi ini mengusung tema mengenai “Hak Asasi Manusia dan Konstitusionalisme: Kontribusi Peradilan di Negeri Muslim”.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) yang diwakili oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyampaikan peran peradilan agama dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia menyebut Indonesia memiliki penduduk mayoritas beragama Islam. Islam memberikan warna dalam memaknai nilai Ketuhanan. Namun, dengan kekuatan sebagai mayoritas tidak berarti bahwa pendekatan yang diambil adalah dominasi, tetapi justru dengan moderasi.
“Muslim Indonesia sadar dan paham bahwa pendekatan yang tepat digunakan adalah untuk menjadi rahmat bagi semesta (rahmatan lil’alamin). Menjadi rahmat berarti bahwa muslim tidak hanya bergerak untuk kepentingan kelompok muslim semata. Akan tetapi, bagaimana segala tindak tanduk dan kegiatan yang dilakukan memiliki manfaat bagi yang lain dan berguna untuk semua,” papar Wahiduddin dengan menggunakan bahasa Arab dalam penyampaiannya.
Di Indonesia, lanjut Wahiduddin, persoalan perdata yang dialami Muslim, seperti dalam masalah keluarga (perceraian, waris dan wasiat) berada dalam kewenangan Peradilan Agama. Oleh karena itu, peradilan agama pun sering diasosiasikan sebagai family court. Dalam perkembangannya, lingkup kewenangan peradilan agama pun diperluas hingga dalam hal-hal tertentu menangani permasalahan ekonomi syariah, seiring dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah. Di Aceh, pemerintah pusat juga membuka kemungkinan berlakunya hukum jinayat yang berlaku khusus di Provinsi tersebut untuk mengakomodasi keinginan dari masyarakat setempat.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, jelas Wahiduddin, terdapat beberapa perkara pengujian konstitusionalitas yang berkaitan dengan kebijakan Pemerintah perihal fiqh syariah dan lingkup kewenangan Peradilan Agama. Sebagai contoh, dalam Putusan pengujian UU Peradilan Agama. Pemohon meminta kepada MK untuk memperluas lingkup kewenangan Peradilan Agama dengan memasukkan perkara pidana sebagai bagian dari yurisdiksinya.
“MK menolak permintaan Pemohon dengan pendirian bahwa ‘… Indonesia bukan negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu, namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada individu dan masyarakat,” ujar Wahiduddin.
Baca juga: Presiden Joko Widodo Buka Secara Resmi Konferensi Ke-2 J-OIC 2021
Menegakkan Demokrasi di Turki
Sementara itu, Ketua Mahkamah Konstitusi Turki Zühtü Arslan menyampaikan peran Mahkamah Konstitusi Turki dalam perlindungan dan memajukan demokrasi. Ia mengakui adanya MK Turki semula bertujuan untuk melindungi nilai dan prinsip dasar dalam konstitusi. “Demokrasi merupakan nilai dasar dari Konstitusi Turki,” ujarnya.
Menurut Zühtü, keberadaan MK Turki untuk menjamin perlindungan hak-hak dasar dan kebebasan yang merupakan suatu keharusan bagi masyarakat demokratis. Oleh karena itu, tugas utama negara demokratis adalah melindungi dan memajukan hak dan kebebasan tersebut.
“Dengan kata lain, negara harus menahan diri dari intervensi sewenang-wenang hak dan kebebasan masyarakat. Dan juga harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi hak-hak tersebut secara efektif. Peran MK dalam memajukan demokrasi dapat dilacak melalui putusannya tentang hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan dan hak untuk terlibat dalam kegiatan politik. Bagi Mahkamah, hak-hak politik ini merupakan salah satu elemen yang tak terpisahkan dari demokrasi pluralis dan partisipatif,” papar Zühtü.
Baca juga: Jelang Konferensi Kedua, Empat Negara Bahas Keberlangsungan J-OIC
Peran Peradilan Malaysia
Sementara itu, Tun Tengku Maimun Tuan Mat yang merupakan Ketua Mahkamah Federal Malaysia menyampaikan bahwa akses terhadap keadilan adalah komponen inti dari supremasi hukum. Kemudian, lembaga peradilan berfungsi sebagai ‘kendaraan’ bagi warga negara agar suara mereka didengar, hak-hak dijalankan dan untuk meminta pertanggungjawaban entitas atas keputusannya. Hal ini dengan sendirinya menonjolkan peran pengadilan dalam melindungi hak-hak sosial, ekonomi dan budaya bagi masyarakat di Malaysia.
“Warga negara beralih ke Pengadilan untuk memperjuangkan hak-hak dasar mereka dan Pemerintah beralih ke pengadilan untuk menafsirkan undang-undang. Mewujudkan nilai-nilai independensi peradilan dan supremasi hukum. Kekuasaan kehakiman kemudian mengemban tugas untuk melaksanakan tanggung jawabnya secara holistik dalam melindungi hak-hak sosial, ekonomi dan budaya dalam masyarakatnya masing-masing,” papar Maimun.
Maimun menjelaskan bahwa Malaysia selalu menganut konsep wasatiyya atau moderasi, yang menjunjung tinggi nilai saling menghormati, pengertian, dan toleransi. Sebagai bangsa multi-etnis dan multi-agama, Malaysia memegang nilai-nilai tersebut dengan erat. “Kami percaya bahwa wasatiyya dapat dan harus berkontribusi pada melindungi nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi serta hak ekonomi, sosial, dan berbudaya warga negara Malaysia,” ujarnya.
Konsitusi Menjamin Hak Muslim Thailand
Sedangkan Hakim MK Thailand Noppadon Theppitak dalam presentasinya menyampaikan pembahasan berjudul “Constitutionalism, Human Rights, and Judicial Justice in a Non-Muslim State: Thailand”. Dalam paparan ini, Noppadon menyebutkan bahwa Thailand merupakan negara Buddhis dengan 93,5% penduduknya beragama Buddha, sedangkan 5,4% adalah penduduk muslim. Namun, angka ini tidak menyiratkan perlakuan diskriminasi terhadap kelompok Muslim Thailand karena Konsitusi Thailand menjamin keberadaan mereka sama dengan kelompok agama mayoritas.
Lebih jauh Noppadon mengatakan bahwa meskipun jumlah Muslim Thailand relatif kecil, namun mereka tergolong kelompok agama kedua terbesar di Thailand. Para Muslim Thailand ini, diperlakukan sama dalam sistem yang sama dalam konstitusionalisme. Muslim Thailand menempati empat provinsi di wilayah Thailand, yakni Pattani, Narathiwat, Yala, dan Satun. Untuk empat wilayah ini pada 1946 telah berlaku hukum Islam sehingga masalah perdata di wilayah tersebut diadili sesuai dengan hukum Islam.
“Pada intinya Konstitusi Thailand menyatakan bahwa setiap orang dapat menikmati kebebasan penuh untuk memeluk suatu agama termasuk kebebasan untuk mempraktikkan segala bentuk ibadah. Dengan ketentuan dalam melakukannya tidak membahayakan keselamatan negara dan tidak pula bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan yang baik. Akibatnya, Muslim Thailand di Thailand dan bagi setiap orang yang termasuk agama tertentu dapat menikmati hak yang sama dan melaksanakan kewajiban yang sama seperti orang Thailand Buddha, “ sampai Noppadon.
Dalam kesempatan itu, hadir pula sebagai pembicara, yakni Malinovskiy Victor mewakili Konsil Konstitusi Kazakhstan, Ketua Mahkamah Konstitusi Azerbaijan Farhad Abdullayev, Presiden Mahkamah Konstitusi Yordania Hisham Al-Tal, Ketua Konsil Konstitusi Aljazair Kamel Fenniche, Ketua Mahkamah Konstitusi Agung Mesir Saeed Marey Amr, serta Hakim Dewan Konstitusi Mozambik Albano Macie.
Untuk diketahui, konferensi Judicial Organization of Islamic Cooperation (JOIC) merupakan kesepakatan dari Deklarasi Istanbul pada 14 – 15 Desember 2018 silam. Deklarasi Istanbul (Istanbul Declaration) menyepakati 3 (tiga) hal, yaitu (1) seluruh peserta sepakat untuk menyelenggarakan konferensi secara periodik untuk membahas tentang Konstitusi dan Hak Asasi Manusia guna mempromosikan penegakkan hukum dan Hak Asasi Manusia; (2) pembentukan working group untuk membahas bentuk dan langkah ke depan forum ini; dan (3) bersepakat untuk menyelenggarakan konferensi berikutnya dengan Indonesia sebagi tuan rumah.
Sesuai dengan mandat Deklarasi Istanbul tersebut, Indonesia melalui Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) menyelenggarakan tuan rumah pertemuan JOIC pada 15 – 17 September 2021 di Bandung Jawa Barat. Konferensi ini diselenggarakan secara hybrid (luring dan daring) dengan mengusung tema “Human Rights and Constitutionalism: The Contribution of Judiciary in Moslem Countries” (Hak Asasi Manusia dan Konstitusionalisme: Kontribusi Peradilan di Negeri Muslim). Dengan Sub-tema, yakni Leason learned: The Role of Judiciary to Promote Humanity and Democracy (Pelajaran mengenai Peran Lembaga Peradilan dalam Mempromosikan Kemanusiaan dan Demokrasi) serta The Protection the Social, Economics and Cultural Rights in Pluralistic Society (Perlindungan Hak Sosial, Ekonomi, dan Berbudaya dalam Masyarakat Plural). Kegiatan ini diikuti oleh 32 negara, sebanyak 30 negara hadir secara daring dan hanya Pakistan dan Turki yang hadir secara luring.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P