BANDUNG, HUMAS MKRI - Sesi ketujuh “The 4th Indonesian Constitutional Court International Symposium (ICCIS) atau ICCIS 2021” menghadirkan Muzayyin Ahyar, Ni’matul Huda, dan Zainal Muttaqie. Sesi ini dimoderatori oleh Peneliti Mahkamah Konstitusi Irfan Nurrahman secara daring, pada Kamis (16/09/2021).
Guru Besar FH UII Ni’matul Huda mengatakan, sila pertama Pancasila sudah memayungi seluruh agama, dan tidak hanya dominasi milik ummat Islam. Meski ada gerakan yang ingin mendirikan negara Islam, namun tidak mencapai kompromi menjadi negara Islam. Menurutnya, toleransi antarumat beragama menjadi kunci. Mayoritas tidak boleh menekan yang minoritas. Demikian juga sebaliknya tidak perlu mengunggulkan minoritas sehingga menekan mayoritas.
Ni’matul menyampaikan jika mempelajari sejarah, jika beberapa negara menyatakan secara resmi agamanya, tapi Indonesia tidak secara spesifik menyebut agama tertentu. Indonesia tidak perlu memaksakan kehendak dalam konteks kenegaraan karena keberagamannya. Dikatakan olehnya, ketika amendemen Undang-Undang Dasar 1945 juga muncul keinginan untuk menetapkan Islam sebagai ideologi, namun itu juga tidak terjadi.
Sementara Muzayyin Ahyar yang merupakan akademisi dari Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris mengatakan, Indonesia beruntung tidak pernah mengalami konflik sosial pasca demokratisasi, seperti yang terjadi di negara Islam lainnya. Menurutnya, Indonesia memiliki tiga elemen Islam yang selalu berada di tengah, pertama organisasi besar keagamaan baik Nahdlatul Ulama maupun Muhammadiyah yang selalu memposisikan berada di tengah. Terakhir, Indonesia memiliki Pancasila yang selalu menjaga kita tidak berada pada titik ekstrim.
Persoalan Pengakuan Terhadap Penghayat
Selanjutnya, Zaenal Muttaqin yang merupakan akademisi dari UIN Raden Mas Said Surakarta/Indonesia, dalam pemaparannya mengulas putusan MK yang memberikan kembali hak konstitusional dan pengakuan terhadap warga penganut aliran kepercayaan atau kaum penghayat. Menurutnya, pengakuan terhadap aliran penghayat, yang dianut oleh sebagian warga sebagai agama lokal Indonesia. Ditambahkannya, agama aliran penghayat atau kepercayaan semakin memiliki legalitas yang kuat pasca putusan Mahkamah Konstitusi nomor 97/PUU-XIV/2016 dalam pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Dalam pengujian tersebut, pemohon yang terdiri dari sejumlah penganut aliran kepercayaan mempersoalkan tidak adanya aliran kepercayaan dalam kolom agama kartu tanda penduduk sehingga mereka kesulitan untuk mendapatkan pelayanan administrasi di berbagai sektor. Selain itu, Zaenal mengaku kesulitan untuk mendapatkan data penganut aliran kepercayaan, karena Badan Pusat Statistik tidak memiliki data penganut aliran kepercayaan pada sensus 2020.
Lebih lanjut Zaenal mengungkapkan hingga saat ini masih ada masalah terhadap penghayat yang masih mengalami stigmatisasi sebagai atheis, komunis, masih mengalami persekusi dan diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan Badan Koodinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) masih melihat penghayat sebagai sesuatu yang berbeda.
Untuk diketahui, sebelumnya MKRI telah menyelenggarakan tiga kali simposium internasional serupa, yakni ICCIS 2017 di Solo; ICCIS 2018 di Yogyakarta; dan ICCIS 2019 di Bali. Karena pandemi COVID-19, ICCIS ke-4 diadakan secara daring dan luring. ICCIS adalah forum akademik global tahunan untuk diskusi gagasan dalam hukum tata negara. Fokus tahun ini adalah isu-isu tentang agama dalam konteks hak konstitusional. Sebelumnya, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara dan Pengelolaan Perpustakaan (P4) membuka kesempatan bagi para akademisi untuk mengirimkan artikel sesuai tema. Artikel terpilih dari ICCIS ke-4 akan diterbitkan oleh jurnal akademik Mahkamah Konstitusi, Constitutional Review.(*)
Penulis: Ilham W.M
Editor: Lulu Anjarsari P