BANDUNG, HUMAS MKRI - Dalam konsep hubungan antara negara dan agama, Indonesia bukanlah negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu. Penduduk Indonesia memeluk agama yang berbeda-beda. Indonesia juga bukan negara sekuler yang sama sekali tidak memperhatikan agama. Namun, sesuai dengan sila pertama Pancasila, Indonesia merupakan negara berketuhanan yang memiliki kewajiban untuk melindungi setiap pemeluk agama dalam menjalankan ajarannya masing-masing.
Demikian sambutan yang disampaikan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo secara daring dalam pembukaan secara resmi Konferensi ke-2 Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Dewan Konstitusi dari Negara-Negara Anggota dan Peninjau Organisasi Kerja Sama Islam (The 2nd Conference of the Judicial Conference of Constitutional and Supreme Courts/Councils of the OIC Member States/ Observer States (J-OIC) pada Kamis (16/9/2021). Lebih lanjut Presiden Republik Indonesia ke-7 ini mengatakan, bahwa Indonesia juga menempatkan hukum Islam menjadi salah satu dari sumber materiil lainnya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum nasional.
“Dalam sistem kekuasaan kehakiman, Indonesia juga memiliki pengadilan agama yang diperuntukkan khusus untuk penyelesaian hukum kekeluargaan bagi pemeluk agama Islam dan sengketa ekonomi syariah,” sampai Presiden RI ini dihadapan 32 negara peserta Konferensi Internasional yang digelar secara daring dan luring dari Bandung, Jawa Barat.
Kontribusi Pengadilan Negara-Negara OKI
Sementara itu, Ketua MK Anwar Usman dalam pembukaan konferensi internasional ini menyampaikan bahwa gagasan untuk membentuk sebuah forum lembaga peradilan bagi negara-negara yang tergabung di dalam OKI teah dimulai pada 2007 pada masa Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie saat hadir pada perayaan ulang tahun MK Turki ke-45. Namun gagasan tersebut belum terwujud hingga akhirnya pada 2018 gagasan ini kembali diutarakan agar lembaga sejenis yang tergabung di dalam OKI dapat menjadi pionir untuk membangun sistem peradilan dan ketatanegaraan yang baik di tengah masyarakat internasional.
“Oleh karena itu, dalam konferensi ke-2 JOIC ini, tema yang diangkat mengenai kontribusi pengadilan negara-negara OKI dalam konteks Konstitusionalisme dan Hak Asasi Manusia. Hal terpenting lainnya yang juga dapat dilakukan di dalam forum konferensi ini adalah meluruskan pandangan sebagian kecil orang, yang beranggapan penduduk muslim dengan keyakinannya, tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM. Dengan berbagi pandangan tentang praktik dan konsepsi yang berlaku di negara masing-masing, forum ini dapat memberikan pemahaman yang utuh tentang konsep dan praktik konstitusionalisme dan HAM, serta penerapannya oleh lembaga peradilan di negara-negara anggota OKI,” kata Anwar dalam kegiatan yang turut dihadiri para Hakim Konstitusi dan delegasi dari Turki dan Pakistan dari Bandung, Jawa Barat serta Menko Polhukam RI Mahfud MD dan para mitra kerja sama dalam negeri secara daring.
Memajukan Konstitusi dan Konstitusionalisme
Sementara itu, Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum dalam sambutannya menyatakan harapanya agar konferensi ini dapat menjadi forum kerja sama guna mempromosikan, menguatkan, memajukan konstitusi dan konstitualisme di masing masing negara perserta konferensi ini. Selain itu, konferensi ini diharapkan dapat menjadi salah satu forum penting untuk meningkatkan kualitas putusan mahkamah konstitusi. Sebab, di dalamnya nanti para delegasi negara dapat bertukar pikiran atau pengalaman dengan institusi sejenis dari mancanegara untuk membahas hal-hal terkait konstitusionalisme.
“Saya berharap melalui konferensi ini dapat meningkatkan peran MK dalam menegakkan perlindungan hak asasi manusia serta mempererat hubungan kerja sama antarlembaga peradilan negara-negara anggota OKI,” jelas Uu Ruzhanul Ulum di hadapan 32 negara peserta konferensi yang hadir secara virtual dari negara masing-masing.
Untuk diketahui, konferensi Judicial Organization of Islamic Cooperation (JOIC) merupakan kesepakatan dari Deklarasi Istanbul pada 14 – 15 Desember 2018 silam. Deklarasi Istanbul (Istanbul Declaration) menyepakati 3 (tiga) hal, yaitu (1) seluruh peserta sepakat untuk menyelenggarakan konferensi secara periodik untuk membahas tentang Konstitusi dan Hak Asasi Manusia guna mempromosikan penegakkan hukum dan Hak Asasi Manusia; (2) pembentukan working group untuk membahas bentuk dan langkah ke depan forum ini; dan (3) bersepakat untuk menyelenggarakan konferensi berikutnya dengan Indonesia sebagi tuan rumah.
Sesuai dengan mandat Deklarasi Istanbul tersebut, Indonesia melalui Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) menyelenggarakan tuan rumah pertemuan JOIC pada 15 – 17 September 2021 di Bandung Jawa Barat. Konferensi ini diselenggarakan secara hybrid (luring dan daring) dengan mengusung tema “Human Rights and Constitutionalism: The Contribution of Judiciary in Moslem Countries” (Hak Asasi Manusia dan Konstitusionalisme: Kontribusi Peradilan di Negeri Muslim. Dengan Sub-tema, yakni Leason learned: The Role of Judiciary to Promote Humanity and Democracy (Pelajaran mengenai Peran Lembaga Peradilan dalam Mempromosikan Kemanusiaan dan Demokrasi) serta The Protection the Social, Economics and Cultural Rights in Pluralistic Society (Perlindungan Hak Sosial, Ekonomi, dan Berbudaya dalam Masyarakat Plural). Kegiatan ini diikuti oleh 32 negara, sebanyak 30 negara hadir secara daring dan hanya Pakistan dan Turki yang hadir secara luring.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P