BANDUNG, HUMAS MKRI - Jelang sesi terakhir The 4th Indonesian Constitutional Court International Symposium (ICCIS) 2021, hadir tiga pemakalah yakni Cekli Setya Pratiwi dari The Institute of Human Rights and Peace Studies, Mahidol University, Thailand dengan makalah berjudul “Rethinking the Constitutionality of Flawed Indonesia's Anti-Blasphemy Law”. Kemudian Khairil Azmin Mokhtar dari International Islamic University of Malaysia degan pesentasi berjudul “Unmasking The Devil: The Role of The Court and Islamic Religious Authorities in the Battle against Religious Extremism and Terrorism in Malaysia”. Berikutnya ada Tri Sulistianing Astuti dari School of Government and Public Policy Indonesia, Indonesia dengan bahasan penelitian berjudul “Satire Expression and Blasphemy: Finding Its Proportionality in Indonesian Religious Society”.
Khairil Azmin Mokhtar dari International Islamic University of Malaysia dalam presentasinya mengulas peran pengadilan dan otoritas keagamaan Islam dalam memerangi ekstremisme agama dan terorisme di Malaysia. Dalam penelitian ini, Khairil menggunakan pendekatan hukum dengan menganalisis konstitusi, undang-undang, peraturan darurat dan kasus pengadilan, serta bahan sekunder yang relevan. Khairil menyampaikan bahwa Malaysia merupakan negara yang bangga dengan karakternya yang memiliki keberagaman agama, etnis, dan budaya. Sehingga, kebasan beragama merupakan aspek penting dari negara demokrasi serta dijamin dan dilindungi oleh Konstitusi Federal.
Dalam pandangan Khairil, Malaysia awalnya melihat ekstremisme agama berawal dari ajaran sesat sebab agama digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan ketidakpercayaan di antara rakyat dan untuk melemahkan pemerintah yang dipilih secara demokratis. Ini terjadi akibat dari salah tafsir tentang agama Islam menurut ideologi beberapa kelompok. Namun kemudian Malaysia mengadopsi strategi kontra-terorisme holistik praktis untuk memusnahkan organisasi teroris dan untuk mengalahkan ideologi ekstremis dalam bentuk potensial. Pendekatan ini memberikan langkah-langkah yang sepadan dan reaksi proporsional terhadap kegiatan terkait terorisme.
“Kemudian lembaga penegak hukum bersama dengan pengadilan dan otoritas agama Islam terus bekerja sama untuk mengalahkan tidak hanya organisasi teroris, tetapi juga ideologinya.Dengan demikian perang melawan ekstremisme agama dan terorisme di Malaysia dapat berkelanjutan dan efektif,” jelas Khairil dalam simposium internasional yang dimoderatori oleh M. Mahrus Ali selaku Peneliti dari MKRI.
Penerapan HAM terhadap Peninjauan UU Penistaan Agama
Pada makalah yang dipresentasikan ini, Cekli Setya Pratiwi fokus membahas dan mengkaji konstitusionalisme UU Penistaan Agama yang berulang kali tergambar dalam Putusan MKRI Nomor 140/PUU-VII/2009; 84/PUU-X/2012; dan 76/PUU-XVI/2018. Menurutnya, MKRI mengakui ketentuan isi dari UU Penistaan Agama tersebut bersifat multitafsir namun pada saat bersamaan menyatakan konstitusional. Karena hak beragama yang termuat dalam UU ini sejalan dengan Pasal 28J UUD 1945. Justru jika uU ini dicabut akan menimbulkan kekosongan hukum.
Kendati kajian tentang UU ini telah banyak dilakukan, Cekil mengakui ketidakjelasan putusan MKRI terhadap norma ini merupakan preseden hukum baru yang belum digali secara mendalam oleh penelitian-penelitian sebelumnya. Banyak negara mengadopsi ketentuan HAM internasional, termasuk meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik dan dokumen turunannya. Sehingga, menjadi pertanyaan bagaimana kemudian pengadilan menerapkan norma dan prinsip HAM tersebut secara penuh dan tepat ketika meninjau UU yang perlu dianalisis lebih lanjut tersebut.
“Maka kajian ini dimulai dengan mengkaji apakah konsepsi persinggungan antara hak atas kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama dan berkeyakinan serta konsepsi pembatasan hak asasi manusia yang sah telah sepenuhnya diabadikan dalam putusan MK. Kegagalan untuk mengakui prinsip inti non-diskriminasi dalam menghormati kebebasan beragama dan batasan standarnya memungkinkan negara untuk membatasi hak tersebut secara berlebihan. Sehingga perlu untuk kembali meninjau konstitusionalitas UU Penistaan Agama secara lebih lanjut,” kata Cekil yang merupakan Dosen di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang.
Satir dan Kebebasan Beragama
Sementara itu, Tri Sulistianing Astuti dari School of Government and Public Policy Indonesia dalam paparannya membahas tentang kebebasan berpendapat dan beragama yang merupakan hak dasar semua orang dalam negara demokrasi. Menurutnya, kebebasan berpendapat memberikan media untuk menemukan kebenaran dalam bentuk sindiran atau satire sebagai ekspresi. Namun diakuinya beberapa ungkapan sindiran tentang pencarian kebenaran tersebut dapat saja menimbulkan hal yang merusak dalam masyarakat beragama. Sebagai contoh, Tri menyebutkan Satire Kartun Charlie Hebdo yang menjadi perdebatan.
Dalam tulisan ini, Tri membatasi pertanyaan penelitiannya pada dua pertanyaan. Pertama, bagaimana kebebasan berpendapat dan kebebasan beragama berbaur dalam ekspresi sindiran. Kedua, bagaimana pemerintah membuat batasan satir agama berdasarkan uji proporsionalitas bagi umat beragama Indonesia karena isu-isu keagamaan ini sangat mudah disalahgunakan dan menghasilkan kekerasan.
“Kesimpulannya, ekspresi sindiran agama harus dibatasi dalam penodaan agama berdasarkan proporsionalitas dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Hal in mempertimbangkan isi dan tujuan sindiran, peran penulis, konteks politik dengan menghormati etika, ras, dan lainnya. Bahwa isu sensitif di kalangan umat beragama di Indonesia dan pembatasan sindiran tersebut harus diatur dalam undang-undang untuk menghindari kesalahpahaman satir agama menjadi penodaan agama dalam keputusan peradilan,” jelas Tri.
Acara simposium internasional yang telah berlangsung selama dua hari, yakni Rabu – Kamis (15 – 16/9/2021) berlangsung secara daring dan luring dari Bandung, Jawa Barat. Sebelumnya MKRI telah menyelenggarakan tiga kali simposium internasional serupa, yakni ICCIS 2017 di Solo; ICCIS 2018 di Yogyakarta; dan ICCIS 2019 di Bali. Karena pandemi COVID-19, ICCIS ke-4 diadakan secara daring dan luring. ICCIS meripakan forum akademik global tahunan untuk diskusi gagasan dalam hukum tata negara. Fokus pembahasan pada ICCIS 2021 ini adalah isu-isu tentang agama dalam konteks hak konstitusional. Sebelumnya, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara dan Pengelolaan Perpustakaan (P4) membuka kesempatan bagi para akademisi untuk mengirimkan artikel sesuai tema. Artikel terpilih dari ICCIS ke-4 akan diterbitkan oleh jurnal akademik Mahkamah Konstitusi, Constitutional Review. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Tiara Agustina