Bandung, HUMAS MKRI - Pada hari terakhir The 4th Indonesian Constitutional Court International Symposium (ICCIS) 2021 keempat tampil dua pembicara dari Indonesia dan satu pembicara dari Australia. Panel Sesi kelima pada diskusi ini dimoderatori oleh Peneliti Mahkamah Konstitusi, Ananthia Ayu Devitasari. Melalui kegiatan bertema “Constitutional Court, Religion and Constitutional Rights Protection” ini, Kerstin Steiner memaparkan studi kasus tentang perbedaan penerapan perlindungan hak dalam Sistem Hukum Anglo di wilayah Singapura, Malaysia, dan Brunei. Dalam makalah berjudul “Religion, Rights and Constitutions in Southeast Asia” ini, Kerstin mengulas pluralisme hukum di Asia Tenggara. Pada paparannya, Kerstin juga mengaitkan pembahasan dengan hubungan agama dengan negara yang diakomodasi dalam Konstitusi. Dalam penulisan studi kasus ini, ia menggunakan teori dari Hirschi yang menetapkan tiga prototipe dalam konseptualisasi sekularisme konstitusional.
“Bahwa pengesahan negara terhadap agama sebagai sumber warisan nasional dan penanda identitas kolektif dan pendirian agama yang kuat atau disebut juga konstitusionalisme Islam”, jika di Singapura dapat berjalan karena adanya sistem interaktif dan sekularisme konstitusional, di Malaysia karena adanya sistem otonom dan dukungan negara, sedangkan di Brunei karena adanya sistem otonom dan konstitusionalisme Islam itu sendiri,” jelas Kerstin pada simposium internasional hari kedua ICCIS Ke-4 yang digelar secara daring dan luring di Bandung Jawa Barat pada Kamis (16/9/2021).
Tidak Mengadopsi Islam dalam Konstitusi
Berikutnya Andy Omara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada memaparkan makalah berjudul “Why Not an Islamic State? Constitutional Debate Concerning State-Religion Relation in a Muslim Majority Country.” Pada makalahnya, Andy menjelaskan alasan-alasan konstitusi Indonesia tidak menyebutkan atau tidak mendeklarasikan Indonesia sebagai negara Islam. Kendati pada faktanya Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat di Indonesia, bukan berarti konstitusi menyebutkan Islam sebagai agama resmi.
Menurut Andy, beberapa perancang konstitusi menyarankan untuk mengadopsi Islam dalam konstitusi, namun ide ini tidak mudah untuk diwujudkan. Sebab, di Indonesia tak hanya Muslim sehingga memasukkan Islam ke dalam konstitusi akan menimbulkan pertanyaan bagi yang bukan Muslim. Hal ini pernah diawali pada Piagam Djakarta namun ditolak. Dengan kata lain, ketentuan agama-negara dalam konstitusi tetap abstrak dan umum tanpa mengacu pada Islam.
“Konstitusi sejatinya adalah dokumen penting untuk menentukan hubungan antara negara dan agama. Tidak jarang dalam konstitusi mengatur hubungan antara otoritas agama dan negara. Walaupun pengungkapan identitas agama tersebut menunjukkan pengakuan konstitusional terhadap agama, namun hal ini harus ditelaah sangat hati-hati karena dapat berpotensi mempengaruhi hak dari para penganut agama minoritas,” jelas Andy.
Pembentukan Konstitusi Agama
Pada kesempatan berikutnya, Ahmad Rofii dari IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Indonesia menyampaikan makalah berjudul “Is the Indonesian Constitution Religious? The Religious Values Clause and Constitutional Interpretation.” Pada tulisannya, Ahmad mengkaji persoalan mempertanyakan konsep agama dalam Konstitusi Indonesia yang merupakan pembentukan konstitusi agama. terhadap masalah ini, ia menitikberatkan pada adopsi klausul nilai-nilai agama dalam Bab Hak Asasi Manusia. Pada tulisan ini penulis melakukan analisis secara kritis putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Perkawinan Beda Agama sebagai contoh bagaimana teori yang diterima itu disahkan dan diartikulasikan dalam perkara perkawinan.
“Penggunaan kata-kata 'nilai-nilai agama' menunjukkan inklusivitas dan generalitas maknanya. Makna yang wajar dari kata-kata tersebut harus mengacu pada nilai-nilai agama yang cukup umum dan universal. Sehingga dapat diterima secara wajar oleh berbagai tradisi agama. Selain itu, nilai agama bukanlah nilai yang berdiri sendiri. Dan berdasarkan asas supremasi konstitusi, acuan nilai-nilai agama tersebut memerlukan kesesuaian dengan nilai dan prinsip konstitusi,” sampai Ahmad.
Kegiatan Simposium Internasional ini digelar selama dua hari, yakni Rabu – Kamis (15 – 16/9/2021) secara daring dan luring dari Bandung, Jawa Barat. Sebelum kali keempat kegiatan ini, MKRI telah menyelenggarakan tiga kali simposium internasional serupa, yakni ICCIS 2017 di Solo; ICCIS 2018 di Yogyakarta; dan ICCIS 2019 di Bali. Karena pandemi COVID-19, ICCIS ke-4 pun diadakan secara daring dan luring. ICCIS merupakan forum akademik global tahunan untuk diskusi gagasan dalam hukum tata negara. Pada 2021 ini, diskusi yang dipilih berfokus pada isu-isu tentang agama dalam konteks hak konstitusional. Sebelum presentasi pada hari ini, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara dan Pengelolaan Perpustakaan (P4) membuka kesempatan bagi para akademisi untuk mengirimkan artikel sesuai tema. Artikel yang terpilih dari ICCIS ke-4 ini nantinya akan diterbitkan oleh jurnal akademik Mahkamah Konstitusi, Constitutional Review.
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Tiara Agustina