JAKARTA, HUMAS MKRI - Dalam konteks pengisian jabatan kekuasaan kehakiman, secara teoritik sangat dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan, meskipun praktik menunjukkan adanya perkembangan pengisian jabatan yang tidak lagi seutuhnya tunduk pada sistem hukum. Hal ini disampaikan secara daring oleh pakar Hukum Tata Negara I Gde Pantja Astawa selaku Ahli Pemohon dalam sidang perkara pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).
Sidang digelar secara daring di Ruang Sidang Pleno MK pada Rabu, (15/09/2021) dipimpin Ketua MK Anwar Usman. Sebanyak tiga perkara diperiksa sekaligus dalam persidangan, yakni perkara Nomor 90/PUU-XVIII/2020, Nomor 96/PUU-XVIII/2020, dan perkara Nomor 100/PUU-XVIII/2020.
I Gde Pantja Astawa yang hadir sebagai Ahli Pemohon perkara Nomor 96/PUU-XVIII/2020, lebih lanjut mengatakan, persyaratan serta prosedur dan mekanisme pengisian jabatan hakim, termasuk hakim konstitusi bertujuan untuk menghasilkan hakim yang baik. Dalam hal ini, Aharon Barak dalam “The Judge in Democracy” menjelaskan sejumlah kriteria mengenai hakim yang baik.
“Ini kalau kita berbicara a good judge keseluruhan kriteria tersebut sesungguhnya dalam rangka pencapaian fungsi utama hakim, yaitu memeriksa dan memutus perkara. Untuk mencapainya, hakim harus menggunakan hukum yang tepat bagi perkara yang dihadapkan kepadanya, baik melalui penerapan peraturan perundang-undangan maupun melalui pembentukan hukum baru,” kata Astawa.
Astawa menjelaskan, secara hukum tidak ada masalah dengan persyaratan batas usia minimal untuk dapat diangkat sebagai hakim konstitusi dan batas usia pensiun sebagai hakim konstitusi. Menurutnya, perubahan persyaratan ini merupakan hal yang wajar.
“Artinya, adalah wajar dan sah-sah saja adanya perubahan terhadap persyaratan batas minimal usia dan dapat diangkat sebagai Hakim Konstitusi dan batas usia pensiun hakim konstitusi,” lanjut Astawa.
Masalah hukumnya justru timbul bila beberapa ketentuan tersebut diletakkan dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 87 UU MK. Menurut Astawa, ketentuan Pasal 87 UU MK tidak konsisten dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) dan ayat (3A) juncto Pasal 15 ayat (2) huruf b, dan Pasal 23 huruf c UU MK.
“Kalau mendasarkan diri pada prinsip bahwa hukum itu adalah sebuah sistem, maka undang- undang sebagai hukum tertulis adalah juga sebuah sistem. Artinya, ada kesatuan norma atas objek yang diatur dalam undang-undang tersebut. Semua norma atas objek yang diatur dalam undang-undang semua norma pasal-pasal yang ada dalam satu undang- undang tentu saja saling berkorelasi, berhubungan, dan tidak saling menegasi satu dengan yang lain, sehingga menunjukkan konsistensinya sebagai satu kesatuan norma,” jelas Astawa.
Dalam hal ini, sambung Astawa, Pasal 4 ayat (3) dengan jelas dan tegas menentukan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggota hakim konstitusi untuk masa jabatan selama lima tahun terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Hal terpenting dan mendasari rumusan norma Pasal 4 ayat (3) di atas adalah terletak pada frasa “dipilih” dan frasa “tanggal pengangkatan”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang dipilih dari dan oleh hakim konstitusi, dimulai dari tanggal pengangkatannya.
Oleh karena masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK selama lima tahun terhitung sejak tanggal pengangkatannya, maka pengakhirannya pun harus dihitung sejak atau pada saat diangkatnya Ketua dan Wakil Ketua MK yang baru. Atas dasar itu, sambung Astawa, seharusnya Ketua dan Wakil Ketua MK yang sedang menjabat saat ini mengakhiri masa jabatannya sebagai Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai diangkatnya Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang baru, terlepas dari terpilihnya kembali atau tidak terpilihnya pemangku jabatan yang sama sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang baru.
“Inilah sejatinya ratio legis dan logika hukum yang terkandung dalam Ketentuan Pasal 4 ayat (3),” jelasnya.
Namun, menurut Astawa, dalam konteks Pasal 87A rumusan norma yang terkandung di dalamnya menentukan lain, yaitu hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua dan Wakil Ketua MK tetap menjabat sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan tersebut. Rumusan Norma Pasal 87 huruf a selain menunjukkan inkonsistensinya dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) juga bersifat ambigu, tidak jelas arti dan maksud tujuannya, dan interpretatif. Rumusannya dapat ditafsirkan dalam berbagai arti, khususnya frasa “tetap menjabat” dan frasa “berdasarkan ketentuan undang- undang”.
Begitu juga halnya Pasal 87 huruf b UU MK. Ketentuan a quo merupakan aturan atau ketentuan peralihan yang bersifat temporer atau sementara waktu (transitory law). Secara substansial ketentuan peralihan mengandung muatan politik hukum, yaitu untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum dan politik seleksi. Mencegah kekosongan hukum dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dan ketertiban hukum, sedangkan politik seleksi dimaksudkan untuk menyesuaikan penerapan hukum lama dengan dasar-dasar, suasana, dan tuntutan baru.
Bukan Kepentingan MK
Pada kesempatan yang sama, Pemohon perkara Nomor 100/PUU-XVIII/2020 menghadirkan Zainal Arifin Mochtar sebagai Ahli. Zainal mengatakan MK sebenarnya membutuhkan beberapa sentuhan terhadap substansi yang dikerjakan oleh MK itu sendiri. Misalnya dalam konteks penguatan konsep-konsep tertentu di dalam pengujian undang-undang di MK.
“Tetapi entah apa yang dipikirkan oleh pembentuk undang-undang tidak dilakukan sama sekali. Lalu menyentuh sesuatu yang sebenarnya tidak banyak dibincangkan,” kata Zainal secara daring.
Zainal pun mempertanyakan tujuan di balik Perubahan Ketiga UU MK. Menurutnya, perubahan UU MK bukan untuk kepentingan MK sebagai lembaga.
“Mari kita lacak kembali, apa sih sebenarnya tujuan besar di balik perubahan undang-undang? Dan menurut saya, mudah membahasakannya bahwa tidak untuk kepentingan Mahkamah Konstitusi ya, secara kelembagaan ya,” ungkap Zainal.
Menurut Zainal, soal masa jabatan sedari awal sebaiknya memang dilakukan tidak secara langsung melekat pada tahun yang sama, tetapi dilakukan secara perspektif. Hal ini menurutnya untuk menghindari konflik kepentingan.
Berkaitan dengan seleksi hakim konstitusi, sambung Zainal, ia berharap dilakukannya batasan-batasan berkaitan dengan seleksi hakim konstitusi, agar tidak terjadi perdebatan mengenai asas-asas transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel.
“Dalam putusan MK yang terdahulu, telah membedakan bahwa ada namanya masa jabatan lima tahunan dan lain-lain sebagainya dan itu menjadi pembeda dari Hakim Agung. Akan tetapi, paling tidak, ada serangkaian konstruksi dan konsepsi soal makna transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel itu, supaya tidak secara serampangan dilakukan, papar Zainal.
Untuk diketahui, permohonan perkara Nomor 90/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh Allan Fatchan G.W. yang berprofesi sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Pemohon menyatakan Pasal 15 ayat (2) huruf d, Pasal 22, Pasal 23 ayat (1) huruf d, Pasal 26 ayat (1) huruf b, dan Pasal 87 huruf b UU MK bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 24 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945. Pemohon berpandangan bahwa proses pembentukan UU MK secara formil telah melanggar dan bertentangan dengan ketentuan terkait tata cara pembentukan undang-undang yang diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) sebagai undang-undang pelaksana dari ketentuan Pasal 22A UUD 1945. Pemohon menilai ketentuan yang ada pada Pasal 15 ayat (2) huruf d terkait perubahan kriteria usia dengan menambah dari usia 47 tahun menjadi usia 55 tahun tersebut tidak memiliki urgensi yang nyata. Bahkan menurut Pemohon, hal tersebut bertentangan dengan Putusan MK Nomor 7/PUU-XI/2013 sehingga pembentuk undang-undang justru telah melanggar hak warga negara atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum atas ketentuan norma ini.
Sementara itu, permohonan Perkara Nomor 96/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Priyanto yang berprofesi sebagai advokat. Ia mendalilkan Pasal 87 huruf a dan huruf b UU MK bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3) UUD 1945. Menurutnya, pada norma tersebut telah mengubah persyaratan mejadi hakim konstitusi dari usia minimal 47 tahun menjadi 55 tahun dan tanpa adanya batas usia maksimal. Selain itu, pada norma ini juga termuat sedikit perubahan terkait dasar sarjana strata satu yang berlatar pendidikan bidang hukum. Sebelumnya persyaratan ini diperuntukkan baik strata satu maupun magister pun harus berlatar belakang bidang hukum. Dalam pengakuan Pemohon, dirinya bermaksud untuk menjadi hakim konstitusi mengingat dirinya memenuhi seluruh persyaratan yang ditentukan. Namn dengan adanya perubahan UU MK ini, maksud dari Pemohon terkendala dan bahkan tidak mungkin terwujud nantinya.
Berikutnya, permohonan Perkara Nomor 100/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh para peneliti dan dosen. Para Pemohon yaitu R. Violla Reinida Hafidz, M. Ihsan Mualana, Rahmah Mutiara, Korneles Materay, Beni Kurnia Ilahi, Giri Ahmad Taufik, dan Putra Perdana Ahmad Saifulloh.
Para Pemohon mendalilkan Pasal 15 ayat (2) huruf d dan huruf h, Pasal 18 ayat (1), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 23 ayat (1). Pasal 59 ayat (2), dan Pasal 87 UU MK bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon mengatakan pembentuk undang-undang telah melakukan penyelundupan hukum dengan dalih menindaklanjuti putusan MK. Menurut para Pemohon, revisi UU MK tidak memenuhi syarat carry over karena pembentuk undang-undang melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Menurut Pemohon, revisi UU MK juga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan hanya merupakan formalitas belaka. Proses pembahasannya dilakukan secara tertutup dengan tidak melibatkan publik. Selain itu, Revisi UU MK berdasar hukum undang-undang yang invalid. Sedangkan untuk pengujian materil, para Pemohon mempersoalkan limitasi latar belakang calon hakim usulan Mahkamah Agung dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h UU MK dan kedudukan calon hakim konstitusi sebagai representasi internal lembaga pengusul. Para Pemohon juga mendalilkan penafsiran konstitusional terhadap sistem rekrutmen hakim konstitusi dalam Pasal 19 UU MK beserta Penjelasannya dan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU MK. Ditambah pula para Pemohon juga mempersoalkan penafsiran konstitusional usia minimal menjadi hakim konstitusi dan masa bakti hakim konstitusi.
Baca juga:
UU MK Dianggap Tutup Kesempatan Pemohon Jadi Hakim Konstitusi
Sejumlah Peneliti dan Dosen Uji Formil Pembentukan UU MK
Dua Ahli Pemohon Paparkan Pendapat Soal Perubahan Ketiga UU MK
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.