JAKARTA, HUMAS MKRI – Negara konstitusional adalah negara yang terikat dengan kesepakatan bersama. Dengan demikian, konstitusionalisme dipahami sebagai cara pandang tentang negara kesepakatan.
Hal tersebut diungkapkan oleh Jimly Asshiddiqie pada hari kedua kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara (PPHKW) Bagi Civitas Akademika Universitas Kristen Maranatha, pada Rabu (15/9/2021) secara daring. Kegiatan ini diselenggarakan Mahkamah Konstitusi (MK) bekerja sama dengan Universitas Kristen Maranatha.
“Sebagai warga negara, kita punya hak dan kewajiban yang sama. Meskipun kita sebagai warga masyarakat, tidak boleh dipaksakan harus sama dalam semua hal. Sebagai warga masyarakat, kita boleh berbeda-beda keyakinan, keagamaan dan lainnya. Dibedakan untuk hal-hal yang sifatnya khusus saja, yang memerlukan perlakuan tidak sama," urai Jimly yang menyajikan materi Konstitusi dan Konstitusionalisme.
Diskriminasi Positif
Jimly mengatakan, Pasal 28H UUD 1945 menyebutkan adanya perlakuan yang disebut affirmative action dan affirmative policy. Affirmative action misalnya perlakuan kepada golongan perempuan maupun masyarakat adat tertentu yang tertinggal perkembangannya. Golongan semacam itu berhak atas perlakuan khusus, diskriminasi dalam pengertian positif, diskriminasi yang memang diharuskan. Harus ada perlakuan istimewa dari negara. Di luar itu, semua warga negara punya hak dan kewajiban yang sama.
Jimly melanjutkan, MK sebagai lembaga peradilan yang memutus pada tingkat pertama dan terakhir bertugas untuk mengawal, melindungi dan menjaga hak-hak konstitusional warga negara. Salah satu fungsi MK adalah mengawal konstitusi, agar konstitusi tidak hanya dipidatokan tetapi sungguh-sungguh dikawal. Contohnya, kalau ada undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, MK boleh membatalkan undang-undang tersebut.
"Begitu juga kalau lembaga negara bersengketa satu dengan yang lain, yang melerai adalah MK. Itu cara MK menjalankan fungsinya mengawal Konstitusi," jelas Jimly yang pernah menjabat Ketua MK pertama.
Fungsi lain MK, kata Jimly, yaitu mengawal demokrasi. Menurut Jimly, demokrasi selalu mengutamakan pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak, seperti dalam pemilihan umum (pemilu). Namun, suara terbanyak tidak selalu benar. Suara orang yang lebih banyak itu belum tentu merupakan keadilan dan kebenaran. Orang bersepakat atas nama kejahatan tetapi jumlahnya lebih banyak, maka dia yang menentukan. "That is democracy majority rule," ucap Jimly.
Oleh karena itu, menurut Jimly, majority rule harus diimbangi oleh minority right atau hak minoritas warga negara. Kemudian harus diimbangi juga oleh putusan pengadilan, meskipun hanya diputus oleh sembilan hakim, dalam hal ini Hakim MK.
“Sembilan Hakim MK boleh membatalkan undang-undang kalau bertentangan dengan UUD dan melanggar hak asasi manusia,” tegas Jimly.
Lebih lanjut Jimly menerangkan perbedaan hak asasi manusia dengan hak warga negara. Hak asasi manusia adalah hak semua manusia, terlepas sebagai warga negara atau bukan warga negara. Misalnya ada permohonan pengujian UU Narkoba yang diajukan terpidana mati berkewarganegaraan Australia ke MKRI. Terjadi pro-kontra mengenai boleh tidaknya warga negara asing berperkara di Indonesia. Namun mayoritas hakim berpendapat bahwa sebagian besar materi UUD 1945 memuat tentang perlindungan hak asasi manusia yang berlaku untuk semua manusia. Dengan demikian warga negara asing punya hak yang dilindungi dan dijamin oleh UUD 1945.
“Orang asing boleh menjadi Pemohon, sepanjang memenuhi syarat-syarat substantif yang dia perjuangkan sebagai hak konstitusionalnya. Termasuk dalam hal ini, hak untuk hidup, hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun seperti disebutkan dalam UUD 1945. MK menerima permohonan pengujian UU Narkoba, walaupun akhirnya substansi permohonan ditolak dan legal standing-nya diterima. Putusan itu menunjukkan bahwa MK menerima orang asing jadi Pemohon sepanjang dia mempersoalkan hak asasi manusia," tandas Jimly.
Berbeda dengan hak konstitusional warga negara yang menyangkut persoalan warga negara saja. Ada hak warga negara Indonesia yang bukan hak orang asing. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan secara eksplisit dan tegas, berkenaan dengan hak untuk bekerja sebagai hak warga negara. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pokok Pembukaan UUD 1945
Jimmy Z. Usfunan selaku pemateri berikutnya, memaparkan makalah Sistem Penyelenggaraan Negara Menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Terkait penyelenggaraan negara, Jimmy merujuk pada perspektif pokok-pokok Pembukaan UUD 1945. Alinea Pertama Pembukaan UUD 1945 menyebutkan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
"Alinea pertama pembukaan UUD 1945 merupakan pernyataan sikap manusia Indonesia bahwa penjajahan itu tidak sesuai dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan," kata Jimmy.
Sedangkan Alinea Kedua Pembukaan UUD 1945 menyebutkan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
"Alinea Kedua Pembukaan UUD 1945 menunjukkan kondisi bangsa Indonesia yang siap atas kemerdekaan, untuk mewujudkan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur," jelas Jimmy.
Selanjutnya, Alinea Ketiga Pembukaan UUD 1945 menyebutkan, atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
"Hal tersebut sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa. Ini menunjukkan religiusitas manusia Indonesia yang selalu beriman, menyembah dan mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa. Karena RahmatNya, sehingga kemerdekaan Indonesia bisa terwujudkan," imbuh Jimmy.
Sedangkan Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 menyebutkan, kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
"Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 memuat tujuan negara, tujuan pemerintahan, negara yang berkedaulatan rakyat dan penyelenggaraan negara yang berdasarkan Pancasila," tandas Jimmy.
Berikutnya, Jimmy menerangkan pokok-pokok pembukaan menurut RM. AB. Kusuma melalui cara pandang Apostel yang meliputi futurology, dalam konteks ini terlihat pada Alinea Pertama dan Alinea Kedua Pembukaan UUD 1945 yang menunjukkan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
"Hal itu merupakan jembatan emas dari konteks masa lalu yang kemudian dimunculkan satu harapan. Itu adalah futurology kalau dalam pemikiran AB. Kusuma yang mengutip Apostel," ujar Jimmy selaku pakar hukum tata negara dan pengajar di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Selain itu, terang Jimmy, AB. Kusuma menyebut adanya values atau nilai-nilai dalam alinea pertama, kedua, ketiga dan keempat Pembukaan UUD 1945. Ada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, persatuan, kebebasan, serta nilai-nilai Pancasila. Hal lain, AB. Kusuma mengutip pemikiran Apostel mengenai praxeology yakni tindakan untuk mencapai satu tujuan, seperti disebut dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial..."
Menjunjung Tinggi HAM
Hesti Armiwulan hadir sebagai pemateri berikutnya dengan makalah Jaminan Hak Konstitusional Warga Negara dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hesti memulai pertemuan dengan menyamakan persepsi dengan peserta daring, terkait penyebutan Konstitusi Republik Indonesia.
"Kalau kita menyebut UUD kita sebelum perubahan pada 1999-2002, kita menyebutnya sebagai UUD 1945. Setelah perubahan UUD 1945, dalam Ketetapan MPR ditegaskan bahwa UUD 1945 yang telah dilakukan perubahan, penyebutan secara resmi adalah UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945," jelas Hesti yang juga mengatakan bahwa berbagai peraturan perundang-undangan menyebut Konstitusi Indonesia sebagai UUD Negara Republik Indonesia.
Dikatakan Hesti, pembahasan mengenai hak konstitusional warga negara tidak ditemukan secara detail pada UUD 1945 sebelum perubahan. Hak konstitusional warga negara secara detail dan komprehensif terdapat dalam UUD 1945 setelah perubahan atau UUD Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945.
Terkait hak asasi manusia, Hesti menerangkan dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa hak asasi manusia selalu dihubungkan dengan kebebasan dasar manusia, human right and fundamental freedom. Hal itu menjadi satu kesatuan. Namun dalam perbincangan sehari-hari, seringkali dikatakan hak asasi manusia terpisah dengan kebebasan dasar manusia. Padahal menurut Hesti, hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia merupakan hakikat keberadaan manusia.
"Untuk bisa memahami ini, kita tidak bisa menemukan dalam UUD 1945, tapi dalam Pasal 1 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Pasal ini menyebutkan setiap orang dilahirkan merdeka, memiliki harkat, martabat, hak yang sama dan dikaruniai akal dan hati nurani, hendaknya satu sama lain bergaul dalam persaudaraan. Inilah hakikat hak asasi manusia," terang Hesti.
Mengenai tanggung jawab negara terhadap hak asasi manusia, ungkap Hesti, disebutkan dalam Pasal 2 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Bahwa negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada manusia dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan.
Kemudian dalam Pasal 28I Ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Hesti juga menjelaskan wujud tanggung jawab negara, yaitu untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Selain itu, negara telah menjamin perlindungan hak asasi manusia apabila telah diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, sesuai dengan Pasal 28I Ayat (5) UUD NRI Tahun 1945.
Untuk diketaui, kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara (PPHKWN) Bagi Civitas Akademika Universitas Kristen Maranatha, terselenggara atas kerja sama MK dengan Universitas Kristen Maranatha. Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Ketua MK Anwar Usman pada Selasa (14/9/2021) malam secara daring di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua Bogor. Sejumlah narasumber hadir secara daring untuk menyampaikan materi dalam kegiatan PPHKWN yang berlangsung selama empat hari, mulai Selasa-Jumat, 14-17 September 2021.
Baca juga:
Ketua MK Resmi Buka PPHKWN bagi UK Maranatha
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.