Jakarta, Kompas - Mahkamah Agung atau MA tetap menganggap Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK tidak dapat mengaudit semua komponen biaya perkara meskipun laporan keuangannya terancam dinilai disclaimer. Ancaman Ketua BPK Anwar Nasution tidak mengikis kukuhnya pandangan MA terkait hal itu.
âMau diberi pendapat atau tidak (disclaimer), ya terserahlah,â ujur juru bicara MA, Djoko Sarwoko, Selasa (15/4) di Jakarta.
Sebelumnya, Ketua BPK Anwar Nasution menyatakan laporan keuangan MA tahun 2007 bisa disclaimer atau opininya tak menyatakan apa-apa jika bersikeras tidak bersedia diaudit. BPK tetap akan terus melakukan audit terhadap biaya perkara di MA meski rancangan peraturan pemerintah soal biaya perkara itu belum selesai (Kompas, 15/4).
MA, kata Djoko, tetap berpegang pada ketentuan Undang-undang (UU) tentang Hukum Acara Perdata, yang menyatakan biaya perkara merupakan uang titipan/ uang proses untuk penyelesaian perkara. Apabila BPK menganggap biaya perkara adalah uang negara, ia meminta agar ketentuan dalam UU Hukum Acara Perdata diubah dahulu.
âKalau BPK mau semua komponen biaya perkara itu jadi penerimaan negara bukan pajak (PNBP), ubah dulu UU. Keluarkan biaya perkara dari UU Hukum Acara Perdata,â ujarnya.
Menurut Djoko, solusi terbaik untuk hal itu sebenarnya sudah diupayakan melalui kesepakatan MA dengan BPK di Istana Negara, di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, September 2007. Saat itu disepakati perlu adanya payung hukum atau peraturan pemerintah (PP) sebagai turunan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. PP itu akan mengatur uang negara di lingkungan peradilan, termasuk biaya perkara apakah dikategorikan PNBP atau bukan.
Kehakiman antipengawasan
Mencuatnya kembali perseteruan antara MA dan BPK itu, terkait masalah biaya perkara, oleh dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zaenal Arifin Mochtar, dinilai sebagai wujud tidak efektifnya model penyelesaian masalah kenegaraan dengan kesepakatan yang dilakukan di Istana Negara.
Zaenal menambahkan, sikap MA yang tidak mau diaudit semakin mengukuhkan pandangan, tak satu pun lembaga pemegang kekuasaan kehakiman yang bersedia diawasi. Tak hanya MA yang menolak diawasi pengelolaan keuangannya, lembaga pemegang kekuasaan kehakiman lainnya, Mahkamah Konstitusi (MK), pun enggan diawasi. Ini terlihat dari putusan uji materi terhadap UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, terkait dengan pengawasan hakim konstitusi.
Terkait dengan biaya perkara, ujar Zaenal, uang itu sesungguhnya dapat dipandang sebagai uang negara dalam penafsiran luas. âKetika pencari keadilan membayarkan uang titipan kepada lembaga negara, prosesi penjagaannya seharusnya sama dengan uang negara yang diturunkan dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Apalagi sumber uang negara di APBN juga dari masyarakat,â ujarnya.
Hanya, lanjut Zaenal, MA tidak mau menggunakan penafsiran semacam itu. MA hanya percaya dengan konteks hukum acara perdata.
âSolusinya, masalah itu harus diselesaikan secara hukum. Penyelesaian secara adat dengan membuat kesepakatan tidak akan berhasil,â ujarnya. (ana)
Sumber: HU Kompas / Rabu, 16 April 2008
Foto: dok. Humas MK