BANDUNG, HUMAS MKRI – Pada sesi lanjutan dalam The 4th Indonesian Constitutional Court International Symposium (ICCIS) atau ICCIS 2021 hadir akademisi dari tiga negara, yakni Bangladesh, Indonesia, dan India. ICCIS 2021 ini mengangkat tema “Constitutional Court, Religion and Constitutional Rights Protection” (Mahkamah Konstitusi, Agama, dan Perlindungan Hak Konstitusional). Acara yang berlangsung selama dua hari, yakni Rabu – Kamis (15 – 16/9/2021) berlangsung secara daring dan luring dari Bandung, Jawa Barat.
Muhammad Ekramul Haque yang merupakan Dosen Fakultas Hukum University of Dhaka, Bangladesh menyampaikan materi “Secularism to State Religion: Constitutional Right to Freedom of Religion in Bangladesh” (Sekularisme terhadap Agama Negara: Hak Konstitusional untuk Kebebasan Beragama di Bangladesh). Ia menuturkan agama yang diakui negara, sekularisme, dan Islamisasi dalam konstitusi Bangladesh saling terhubung dengan amendemen konstitusi.
Ekramul menjelaskan sekularisme telah dicantumkan sebagai prinsip dasar Konstitusi Bangladesh Tahun 1972 terutama dalam Pembukaan. Akan tetapi, dalam praktiknya, sekularisme belum diterapkan. Barulah pada 1977, dengan dilakukannya amendemen kembali, maka dicantumkan kata “bismillah” dan mengganti kata “sekularisme” menjadi “Kepercayaan dan keyakinan mutlak kepada Allah SWT”. Barulah pada amendemen ke-15, sekularisme diperkenalkan kembali ke semula (Konstitusi Tahun 1972) sebagai agama baru yang diakui oleh negara dan mematenkannya.
“Tentang kebebasan beragama di Bangladesh, tetap sama dalam semua fase sekularisme dan Islamisasi. Dengan demikian, tampak bahwa meskipun asas ketatanegaraan tentang sekularisme telah mengalami banyak perubahan pada tahapan yang berbeda, ketentuan tentang kebebasan beragama dalam Konstitusi tetap sama di semua periode,” ujarnya.
Baca juga: Hakim Konstitusi Saldi Isra Buka Secara Resmi ICCIS 2021
Konstitusionalisme Islam
Sementara itu, M. Siddiq Armia yang merupakan Guru Besar Fakultas Hukum dan Syari’ah UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, membahas materi mengenai keterkaitan konstitusionalisme Islam dan Mahkamah Konstitusi. Ia menjelaskan bahwa terdapat tujuh prinsip hukum Islam, yakni melindungi agama (Hifz ad-Din), melindung jiwa dan raga (Hifz Nafs), melindungi pikiran dan mental (Hifz ‘Aql), melindungi geneasi penerus (Hifz Nasab), melindungi harta (Hifz al-Maal), melindungi masyarakat (Ummah), dan melindungi lingkungan.
Dalam tulisannya, Siddiq menyebut MKRI yang merupakan lembaga negara telah menerapkan konstitusionalisme Islam dalam setiap putusannya. Salah satunya prinsip melindungi generasi penerus (Hifz Nasab) dan melindungi harta (Hifz al-Maal).Dengan adanya kewenangan MKRI, telah jelas bahwa MKRI dapat menerapkan konstitusionalisme Islam dan juga memperluas kewenangan MKRI sebagai negative legislator dan positive legislator. “Sayangnya, sebagai lembaga negara dalam kekuasaan kehakiman, MKRI tidak dapat sepenuhnya untuk memastikan setiap lembaga negara menjalankan apa yang sudah diputuskan MK,” jelasnya.
Baca juga: ICCIS ke-4 Bahas Keterkaitan MK, Agama, dan Perlindungan Hak Konstitusional
Antara India dan Indonesia
Kemudian, pembicara ketiga dalam sesi 2, yakni Neha Tripathi dan Anubhav Kumar yang berasal dari Maharashtra National Law University, Aurangabad, India. Keduanya menyajikan materi yang berjudul “Constitutional Tale of Religious Freedom: Comparative Study In Reference To India And Indonesia” (Sejarah Konstitusional dari Kebebasan Beragama: Perbandingan Studi Antara India dengan Indonesia). Menurut keduanya, India dan Indonesia membawa keragaman budaya, sosial dan agama dalam proses pembentukan konstitusi. Dengan aspirasi memelihara persatuan, maka adanya pengakuan konstitusi terhadap kebebasan beragama sebagai aspek integral dari hak asasi manusia. Kebebasan beragama juga merupakan hal penting sebagai bagian dari desain konstitusional.
Pada sisi lain, India secara konstitusional telah memproklamasikan diri sebagai negara sekuler. Berbeda dengan Konstitusi Indonesia yang berdasarkan pada kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa. India memiliki mayoritas penduduk beragama Hindu dengan kehadiran agama-agama lain seperti Islam, Kristen, Sikhisme, Jainisme, Budha dengan sekularisme sebagai struktur dasar. Konstitusi India menjamin setiap kebebasan beragama individu tunduk pada pembatasan konstitusional. Sementara Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim dengan kehadiran agama lain, dalam konstitusinya mengacu pada istilah “agama” dalam berbagai ketentuan, tetapi tidak ada yang menyatakan Islam sebagai agama negara.
“Sesuai dengan hukum di Indonesia, ada enam agama yang diakui secara resmi, namun ada kelompok minoritas pribumi lainnya yang berada di luar lingkup enam agama yang diakui secara resmi. Meskipun ada kebebasan untuk memilih dan menjalankan agama sendiri sesuai dengan Konstitusi Indonesia, namun pengakuan resmi terhadap agama tertentu membatasi pelaksanaan dan pengakuan kebebasan beragama,” papar Anubhav Kumar.
Baca juga: I Dewa Gede Palguna: Pancasila Merupakan Representasi Kehidupan Beragama di Indonesia
Untuk diketahui, sebelumnya MKRI telah menyelenggarakan tiga kali simposium internasional serupa, yakni ICCIS 2017 di Solo; ICCIS 2018 di Yogyakarta; dan ICCIS 2019 di Bali. Karena pandemi COVID-19, ICCIS ke-4 diadakan secara daring dan luring. ICCIS adalah forum akademik global tahunan untuk diskusi gagasan dalam hukum tata negara. Fokus tahun ini adalah isu-isu tentang agama dalam konteks hak konstitusional. Sebelumnya, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara dan Pengelolaan Perpustakaan (P4) membuka kesempatan bagi para akademisi untuk mengirimkan artikel sesuai tema. Artikel terpilih dari ICCIS ke-4 akan diterbitkan oleh jurnal akademik Mahkamah Konstitusi, Constitutional Review.(*)
Penulis: Lulu Anjarsari P
Editor: Tiara Agustina