JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Saldi Isra membuka secara resmi “The 4th Indonesian Constitutional Court International Symposium (ICCIS 2021)” pada Rabu (15/9/2021) secara daring dari Gedung MK, Jakarta. Kegiatan berskala internasional ini mengangkat tema “Constitutional Court, Religion, and Constitutional Rights Protection” dengan menghadirkan 28 pemakalah dari berbagai negara, di antaranya Australia, India, Indonesia, Malaysia, Palestina, Singapura, Turki, dan Vietnam serta diikuti oleh sejumlah peserta simposium melalui aplikasi Zoom.
Dalam sambutannya, Saldi mengatakan bagi sebagian orang, tema yang diangkat pada simposium ini dapat saja terkesan sensitif karena membahas agama dalam kehidupan bernegara. Namun menurutnya, dalam konteks negara Indonesia agama merupakan suatu pilar penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, hal ini telah ada dan telah jadi bahasan sejak masa persiapan kemerdekaan Indonesia pada 1945. Sebagai analogi, Saldi menjabarkan ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang meski konstitusi Indonesia telah mengalami empat kali amendemen, namun ketentuan ini tetap dan tidak mengalami perubahan. Terkait dengan hal ini pula, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam kewenangannya untuk pengujian undang-undang pada 10 tahun lalu pernah menjatuhkan putusan terhadap Undang-Undang Penodaan Agama.
Dalam menjatuhkan putusannya, MK berpendapat tentang konsep hubungan negara dan agama di Indonesia. Bahwa Indonesia bukan negara agama yang hanya berdasarkan satu agama tertentu dan bukan negara sekuler yang tidak memperhatikan agama sama sekali. Maka, Indonesia adalah negara bangsa yang beragama dan memiliki kewajiban untuk melindungi setiap pemeluk agama dalam menjalankan ajaran dan ibadah masing-masing. Kewajiban atas perlindungan ini, sambung Saldi, termuat dengan jelas pada Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dam beberapa pasal lain dalam UUD 1945 yang memberikan jaminan konstitusional atas hak dan kebebasan beragama.
“Dengan kata lain secara konstitusional, di Indonesia telah tersedia peraturan tentang hak dan kebebasan beragama. Namun tantangannya saat ini adalah bagaimana hak dan kebebasan ini dapat ditegakkan dan dilindungi melalui mekanisme dan instrumen hukum yang tersedia,” kata Saldi.
Lebih jelas Saldi mengatakan bahwa dalam memberikan perlindungan terhadap hak dan kebebasan beragama ini adalah peradilan yang dalam praktik kehidupan bernegara diwujudkan dalam bentuk Mahkamah Konstitusi atau lembaga peradilan sejenis, seperti Mahkamah Agung dan Dewan Konstitusi. Lembaga ini dibentuk guna menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan hak dan kebebasan beragama. Namun, batasan atau ketentuan dari seberapa jauh hak dan kebebasan beragama tersebut dapat dilindungi, bergantung pada konsep dasar dan sistem ketatanegaraan yang dikembangkan oleh setiap negara.
“Oleh karena itu, melalui Simposium Internasional ini, terdapat peluang besar untuk membahas praktik terbaik dari berbagai negara, termasuk Indonesia mengenai bagaimana seharusnya lembaga peradilan menempatkan agama sebagai upaya memberikan perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara,” jelas Saldi.
Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia
Pada kesempatan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih turut hadir sebagai penceramah kunci dalam paparan berjudul “The Role of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia in the Protection of Freedom of Religion”. Ia mengatakan bahwa perlindungan kebebasan beragama di Indonesia dijamin dalam UUD 1945. Dalam Pembukaan UUD 1945, dituliskan Pancasila sebagai ideologi negara dengan sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila inilah kemudian yang menjadi dasar utama pengakuan religiusitas dalam sistem negara Indonesia. Selanjutnya, hal ini dituangkan dalam berbagai pengaturan hukum khususnya pembuatan undang-undang dan aktivitas politik di Indonesia.
Dikatakan oleh Enny bahwa sejak kemerdekaan Indonesia, UUD 1945 telah melindungi kebebasan beragama di Indonesia dan berlanjut pada masa pemerintahan Orde Baru di 1998, hingga amendemen UUD 1945 sebanyak empat kali pada periode 1999-2002. Pada amendemen UUD 1945 ini, konstitusi Indonesia ini menandakan komitmen kuat untuk memberikan perlindungan kebebasan beragama dengan mencantumkannya pada bab tentang hak asasi manusia.
Berikutnya Enny menyebutkan selain ketentuan tersebut, ketentuan konstitusional pokok tentang kebebasan beragama juga diatur secara normatif dalam Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam konstitusi tersebut, Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 memuat pengakuan atas hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap orang, sedangkan pada Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 UUD 1945 memuat penegasan atas peran yang harus dilakukan oleh negara dalam hal ini pemerintah untuk menjamin setiap warga negara agar merdeka dalam memeluk agama.
“Ketentuan konstitusional tersebut berdampak signifikan terhadap perkembangan demokrasi konstitusional di Indonesia hingga saat ini. Namun, ketentuan konstitusional tersebut dianggap tidak cukup untuk melindungi hak-hak dasar warga negara. Untuk itu, Indonesia juga memberlakukan beberapa undang-undang terkait perlindungan kebebasan beragama” tegas Enny.
Putusan tentang Kebebasan Beragama
Terhadap ketentuan kebebasan beragama ini, Enny mengaitkannnya dengan keberadaan MKRI sejak 2003 dalam memutuskan kasus-kasus terkait kebebasan beragama. Dalam perannya, MK memilih untuk mengambil langkah aktif dengan memberikan keleluasaan yang seluas-luasnya bagi perlindungan kebebasan beragama di Indonesia. sebagi contoh Enny menggambarkan sebuah pengujian undang-undang (PUU) yang pernah diajukan ke MK pada 2017 terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Hukum Administrasi Kependudukan.
Berdasarkan perkara ini, MK membuka jalan bagi penganut kepercayaan asli Indonesia untuk diakui secara resmi oleh pemerintah. Singkat cerita atas berbagai perkara tentang kebebasan beragama ini, MK mengisyaratkan bahwa Indonesia merupakan negara yang memungkinkan adanya hubungan timbal balik antara negara dan agama. Bahwa memungkinkan bagi negara untuk mengatur kegiatan umat beragama, sementara pada saat yang sama agama-agama yang diakui oleh negara akan memiliki kesempatan untuk mempengaruhi kebijakan negara.
“Maka pada hal ini MKRI perlu meningkatkan perannya dalam menjamin kebebasan beragama khususnya dalam melindungi kebebasan beragama. Sebab, peradilan yang independen seperti MKRI sangat diperlukan untuk menjadikan konstitusionalisme berjalan dengan sebaik-baiknya,” jelas Enny.
Pada akhir ceramah, Enny menyatakan harapannya jika dalam kegiatan simposium internasional dapat dijadikan sarana dan wadah untuk lebih memahami isu-isu yang berkaitan dengan pengakuan dan penengakan kebebesan beragama bagi pengembangan demokrasi konstitusional serta perlindungan hak-hak konstitusional di Indonesia dan dunia. Sehingga dengan diskusi dan ajang bertukar pikiran dalam forum ini dapat ditemukan cara-cara yang efektif untuk memecahkan tantangan modern terkait kebebasan beragama.
Untuk diketahui, acara ini berlangsung selama dua hari, yakni Rabu – Kamis (15 – 16/9/2021) berlangsung secara daring dan luring dari Bandung, Jawa Barat. sebelumnya MKRI telah menyelenggarakan tiga kali simposium internasional serupa, yakni ICCIS 2017 di Solo; ICCIS 2018 di Yogyakarta; dan ICCIS 2019 di Bali. Karena pandemi COVID-19, ICCIS ke-4 diadakan secara daring dan luring. ICCIS adalah forum akademik global tahunan untuk diskusi gagasan dalam hukum tata negara. Fokus tahun ini adalah isu-isu tentang agama dalam konteks hak konstitusional. Sebelumnya, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara dan Pengelolaan Perpustakaan (P4) membuka kesempatan bagi para akademisi untuk mengirimkan artikel sesuai tema. Artikel terpilih dari ICCIS ke-4 akan diterbitkan oleh jurnal akademik Mahkamah Konstitusi, Constitutional Review.(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P