JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Pasal 14 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Rabu (8/9/2021) secara daring. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 41/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Otto Cornelis Kaligis (OC Kaligis) yang merupakan Warga Binaan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas I A, Sukamiskin, Bandung.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, OC menyampaikan perbaikan permohonan. OC Kaligis mengungkapkan adanya surat KPK yang ditujukan kepadanya tanggal 16 Juni 2020. Berdasarkan Bukti P-2 surat tersebut, OC sama sekali tidak bisa mendapatkan remisi berdasarkan PP Nomor 99/2012. OC menegaskan bahwa dia bukan justice collaborator.
“Dan karenanya dalam permohonan perbaikan saya, pertama-tama untuk mengatakan bahwa ini bukan nebis in idem, Permohonan saya itu berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Huruf I mengenai Remisi, dihubungkan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” tegas OC dalam persidangan secara daring.
Lebih lanjut OC mengatakan, khusus mengenai PP Nomor 99/2012 mengacu kepada UU No. 12 Tahun 1995. Menurutnya, dalam UU tersebut masalah pokok yang menjadi haknya selaku Pemohon adalah norma yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf i berisi mengenai Remisi.
Untuk diketahui, pada sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK, pada Kamis (26/8/2021), OC Kaligis menyampaikan kerugian konstitusional yang dialaminya. OC mengatakan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengupayakan dirinya mendapatkan remisi.
Namun, upaya remisi ini terhalang dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 (PP 99/2012) tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (PP 32/1999). OC menjelaskan bahwa ia bukan seorang pelaku akan tetapi dihukum selama 10 tahun.
“Saya bukan pelaku, tapi dihukum 10 tahun. Putusan dari Mahkamah Agung sendiri mengenai saya sebagai bukan pelaku. Pelaku utamanya hanya dihukum 2 tahun, saya merasakan ada disparitas, sedangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 dikatakan dalam pasal yang dasarnya adalah Pancasila dan konstitusi, jelas saya diperlakukan bertentangan dengan Pasal 27, asas equality before the law. Karena itu, saya mencoba mencari keadilan di Mahkamah Konstitusi, padahal dalam pandangan saya PP Nomor 99 itu bertentangan dengan konstitusi, bertentangan dengan TAP MPR Nomor 3 Tahun 2000 mengenai katakanlah urutan daripada undang-undang,” jelasnya.
Dalam permohonannya, OC menilai Pemerintah melalui PP 99/2012 mengabaikan amanah tujuan hukum (doelmatighrechts) mengenai pokok pikiran konsepstual pemasyarakatan yang telah ditegaskan sebagai landasan dasar hukum UU Pemasyarakatan sebagaimana tertuang dalam bagian penjelasan umum, di antaranya mengabaikan fungsi pemidanaan yang merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan. Pemerintah menekankan pada unsur balas dendam khususnya pada tindak pidana tertentu yang salah satunya adalah tindak pidana korupsi. Pendekatan unsur balas dendam tersebut menunjukan pemerintah masih berpedoman pada ciri khas doktrin sistem pemenjaraan yang berlaku dalam hukum kolonial belanda.
Selain itu, menurut OC, PP 99/2012 merupakan peraturan teknis yang telah menyimpang dengan membatasi substansi hak hukum (legal rights) dan hak konstitusional (constitutional rights) mengenai perlunya diperketat syarat dan tata cara pemberian remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Pembatasan bersyarat terhadap substansi hukum pada ketentuan hak hukum (legal rights) dan hak konstitusional (constitutional rights) Pemohon dalam PP 99/2012 bertentangan dengan Rumusan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945.
Dalam petitum permohonan, OC meminta MK untuk menyatakan Ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dimaknai pemberian remisi berlaku secara diskriminatif. Kalaupun keberadaan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan dipandang perlu utuk dipertahankan, maka harus dimaknai bahwa pemberian remisi tersebut berlaku secara umum, tanpa diskriminasi. Kemudian ia juga meminta Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan harus dimaknai berlaku untuk seluruh narapidana, dengan syarat berkelakuan baik, sudah menjalani masa pidana sedikit-dikitnya 6 (enam) bulan, tidak dipidana dengan pidana penjara seumur hidup dan tidak dipidana dengan hukuman mati.
Baca juga:
OC Kaligis Anggap Remisi Napi Diskriminatif
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.