JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (8/9/2021). Agenda sidang permohonan Perkara Nomor 20/PUU-XIX/2021 adalah mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah.
Anggota Komisi III DPR Supriansa menanggapi dalil Pemohon bahwa seolah-olah pengangkatan dan penetapan jenjang akademik tertentu termasuk pengangkatan guru besar merupakan kewenangan menteri dan bukan kewenangan satuan pendidikan tinggi.
“Terhadap dalil tersebut, DPR berpandangan bahwa UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai pendidikan nasional. Pendidikan dilaksanakan oleh satuan pendidikan yang merupakan kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan,” papar Supriansa mewakili DPR.
Baca juga: Dosen FMIPA UI Uji Ketentuan Pengangkatan Guru Besar
Sesuai Ketentuan Peraturan
Pengaturan terkait dengan dosen pada UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) menyebutkan pengangkatan dan penempatan dosen tenaga kependidikan oleh pemerintah, kata Supriansa, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan oleh badan penyelenggara, dilaksanakan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Badan penyelenggara tersebut mewajibkan memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada dosen dan tenaga kependidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah memberikan tunjangan jabatan akademik, tunjangan profesi, dan tunjangan kehormatan kepada dosen tetap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terkait dengan jenjang jabatan akademik dosen tetap, lanjut Supriansa, terdiri atas asisten ahli, lektor-lektor kepala dan profesor. Bahkan secara jelas dalam ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Dikti dinyatakan jenjang akademik dosen tidak tetap diatur dan ditetapkan oleh penyelenggara perguruan tinggi. UU Dikti dengan sangat jelas membedakan pengaturan mengenai jenjang jabatan akademik bagi dosen tetap dan dosen tidak tetap di lembaga pendidikan tinggi.
Selanjutnya, DPR menanggapi dalil Pemohon soal frasa dalam Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen telah menimbulkan multitafsir. Karena menteri pendidikan dan kebudayaan kemudian membuat peraturan yang membuat kewenangan kepada dirinya yang bertentangan dengan substansi atau maksud dalam Pasal 50 ayat (4) tersebut.
“DPR berpendapat, Pemohon tidak menyebutkan Ketentuan Pasal 48 ayat (4) UU No. 14/2005 secara lengkap, sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman bagi masyarakat yang membaca permohonan tersebut. Ketentuan tersebut selengkapnya menyatakan pengaturan kewenangan tentang jenjang jabatan akademik dan dosen tidak tetap ditetapkan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga jelas, kewenangan jenjang jabatan akademik dan dosen tidak tetap ditetapkan oleh setiap satuan pendidikan tinggi berdasarkan Pasal 48 ayat (4) UU No. 14/2005,” tegas Supriansa.
DPR menegaskan, secara keseluruhan dalil-dalil Pemohon lebih banyak mempersoalkan penerapan norma-norma dalam peraturan di bawah undang-undang, sehingga tidaklah benar bahwa Pemohon melakukan pengujian undang-undang ke MK dengan dalil-dalil Pemohon.
Jaminan Konstitusional
Sementara itu, Pemerintah diwakili oleh Chatarina Muliana Girsang selaku Staf Ahli Mendikbud Bidang Regulasi Pendidikan dan Kebudayaan. Menurut Pemerintah, Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya ketentuan norma yang diujikan Pemohon ke MK.
“Hak-hak Pemohon sama sekali tidak dirugikan, dikurangi dengan berlakunya Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen. UUD 1945 dan UU Guru dan Dosen telah memberikan jaminan konstitusional terhadap tugas keprofesionalitasan dosen, memperoleh penghasilan, mendapatkan promosi dan penghargaan, memperoleh perlindungan, memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, memiliki kebebasan akademik, kebebasan berserikat dalam organisasi,” ungkap Chatarina.
Pemerintah menegaskan bahwa Pemohon keliru dalam menafsirkan Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen. Pemohon mendalilkan, seharusnya menurut Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen, pengangkatan dan penetapan jenjang jabatan akademik tertentu termasuk guru besar merupakan kewenangan satuan pendidikan tinggi atau universitas atau rektor karena adanya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 92 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Dosen.
Pemerintah berpandangan bahwa pada dasarnya Peraturan Menteri tersebut diterbitkan dalam rangka melaksanakan kewenangan berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1), Pasal 72 ayat (6) UU Dikti dan Pasal 70 UU Guru dan Dosen, Permendikbud No. 92 Tahun 2014 tidak berdiri sendiri. Karena dalam rangka menindak-lanjuti Permenpan No. 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya.
“Oleh karena berdasarkan Permendikbud No. 92 Tahun 2014 tidak terjadi pengambil-alihan wewenang apa pun oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pendidikan,” jelas Chatarina.
Baca juga: Dosen FMIPA UI Perbaiki Permohonan Uji Materi Aturan Pengangkatan Guru Besar
Sebelumnya, Sri Mardiyati selaku Pemohon menguji Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen yang menyebutkan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan."
Pemohon berprofesi sebagai dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (UI). Jabatan terakhir Pemohon adalah lektor kepala. Pemohon diusulkan oleh Rektor UI kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk diangkat sebagai guru besar atau profesor pada 2019, setelah melalui proses panjang di internal UI, termasuk penilaian karya ilmiah oleh guru besar di bidang matematika dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun usulan tersebut ditolak oleh menteri pendidikan dan kebudayaan, dalam hal ini direktorat jenderal pendidikan tinggi. Dengan alasan, karya ilmiah tidak memenuhi syarat. Padahal pihak UI sudah menyetujui dan telah mengesahkan hasil validasi atas karya ilmiah Pemohon.
Pemohon mendalilkan, seharusnya menurut Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen, pengangkatan dan penetapan jenjang jabatan akademik tertentu termasuk guru besar merupakan kewenangan satuan pendidikan tinggi atau universitas atau rektor. Tetapi karena adanya Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Tahun 2019 yang ditetapkan oleh menteri, maka kewenangan untuk mengangkat dan menetapkan jabatan akademik tersebut menjadi kewenangan direktorat pendidikan tinggi.
Pemohon beranggapan, hal itu terjadi karena dalam Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen disebutkan adanya frasa bahwa pengangkatan dan penetapan guru besar ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adanya frasa ini telah menimbulkan multitafsir. Karena menteri pendidikan dan kebudayaan kemudian membuat peraturan yang membuat kewenangan kepada dirinya yang bertentangan dengan substansi atau maksud dalam Pasal 50 ayat (4) tersebut.
Pemohon beranggapan, hal itu terjadi karena dalam Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen disebutkan adanya frasa bahwa pengangkatan dan penetapan guru besar ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adanya frasa ini telah menimbulkan multitafsir. Karena menteri pendidikan dan kebudayaan kemudian membuat peraturan yang membuat kewenangan kepada dirinya yang bertentangan dengan substansi atau maksud dalam Pasal 50 ayat (4) tersebut. Untuk itulah, dalam petitumnya, Pemohon meminta pembatalan Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen. (*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : Tiara Agustina