JAKARTA, HUMAS MKRI Mahkamah Konstitusi (MK) Turki sebagai Permanent Secretariat (Center for Training and Human Resources Development) dari Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions (AACC) atau Asosiasi MK dan Lembaga Sejenis se-Asia, mengadakan "The 9th International Summer School" pada 7-8 September 2021. Tema yang diangkat yaitu "Current Problems in Execution of Judgments: Constitutional Justice" (Permasalahan Saat Ini dalam Eksekusi Putusan MK).
Kegiatan yang berlangsung secara virtual ini dibuka secara resmi oleh Presiden Mahkamah Konstitusi Turki, Zuhtu Arslan, pada Selasa (7/9/2021) sore waktu Indonesia. Pada kesempatan itu dilakukan sharing berbagai permasalahan dan kasus-kasus terkait eksekusi putusan peradilan konstitusi dari para peserta yang tergabung sebagai anggota AACC.
Paparan Makalah
Dua Peneliti Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), Ananthia Ayu Devitasari dan Muhammad Reza Winata menjadi peserta kegiatan ini. Selain melakukan diskusi dan sharing berbagai kasus, dua peneliti yang mewakili MKRI juga memaparkan makalah "The Binding Force of Constitutional Court of Indonesia Decisions: Key Issues and Future Challenges” (Kekuatan Mengikat dari Putusan MK Indonesia: Isu-Isu Kunci dan Tantangan-Tantangan ke Depan). Beragam pembahasan disampaikan, mulai dari kewenangan MKRI menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa konstitusionalitas lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu, serta kewajiban memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan perbuatan melanggar hukum.
Ananthia Ayu Devitasari menjelaskan, pelaksanaan putusan MK sangat dipengaruhi karakteristik putusan MK, khususnya sifat final dan mengikat putusan. Sifat putusan ini merujuk berdasarkan pengaturan pada Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 dan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi.
"Final artinya tidak ada upaya hukum yang dapat dilakukan untuk menguji kembali putusan MK. Sedangkan kekuatan mengikat memiliki konsekuensi hukum mengikat kepada setiap subjek hukum yakni warga negara, badan hukum, dan termasuk lembaga negara. Tetapi dalam praktik, terjadi beberapa penyimpangan putusan oleh lembaga negara lain yang menjadi tantangan terhadap efektivitas putusan," kata Ananthia.
Tidak Ada Lembaga Khusus
Salah satu penyebab tidak dipatuhinya putusan Mahkamah, menurut Peneliti MK Muhammad Reza Winata, tidak adanya lembaga khusus yang melaksanakan putusan, sehingga pelaksanaan putusan juga dipengaruhi tingkat kesadaran konstitusional lembaga negara lain untuk melaksanakan putusan.
Beberapa contoh penyimpangan terhadap putusan MK, seperti Surat Edaran Mahkamah Agung (MA) mengenai Peninjauan Kembali Hanya Sekali dan Putusan MA mengenai Calon Anggota DPD sebagai Pengurus Partai Politik. Padahal, ungkap Reza, idealnya setiap Putusan MK wajib dipatuhi oleh seluruh lembaga negara dalam rangka menegakkan doktrin constitutional supremacy dan separation of power.
Terhadap persoalan tersebut, beberapa rekomendasi untuk menegakkan putusan antara lain dengan meningkatkan edukasi dan kesadaran kolektif untuk taat pada Konstitusi, menguatkan koordinasi antara lembaga negara terkait putusan, memperluas kolaborasi dan keterlibatan masyarakat, khususnya akademisi dan organisasi masyarakat sipil untuk mendukung setiap putusan.
Idealnya, setiap penegakan hukum ataupun eksekusi terhadap putusan MK harus bisa dilaksanakan. Para pihak yang berperkara harus tunduk pada putusan MK untuk menghormati supremasi konstitusi. Di satu sisi, konteks ketidakpatuhan dan penyimpangan keputusan oleh pihak berperkara maupun para pemangku kepentingan lainnya telah muncul sebagai hambatan yang sangat signifikan terhadap implementasi keputusan yang efektif.
Di sisi lain, banyak pula putusan MK yang telah dilaksanakan dengan baik. Seperti putusan MK terkait sumber daya air, putusan MK terkait hutan adat, putusan MK terkait penggunaan e-KTP dalam Pemilu 2009.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.