JAKARTA, HUMAS MKRI – Menjelang Pemilihan Umum pada 2024 mendatang, aturan mengenai pencalonan presiden dan wakil presiden kembali diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini sejumlah Pemohon yang berasal dari LSM maupun perseorangan menguji sebanyak 18 pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pasal-pasal yang diuji, yakni Pasal 221, Pasal 222, Pasal 223, Pasal 224, Pasal 225, Pasal 226, Pasal 227, Pasal 228, Pasal 229, Pasal 230, Pasal 231, Pasal 232, Pasal 233, Pasal 234, Pasal 235, Pasal 236, Pasal 237, serta Pasal 238 UU Pemilu.
Para Pemohon Perkara Nomor 44/PUU-XIX/2021 tersebut, yakni Martondi (Pemohon I) dan Naloanda (Pemohon II) selaku Ketua Umum dan Bendahara LSM Rumah Rakyat (Rura), M. Gontar Lubis (Pemohon III) dan Muhammad Yasid (Pemohon IV) selaku perseorangan warga negara yang berprofesi sebagai karyawan swasta dan wiraswasta.
Dalam sidang yang digelar pada Selasa (7/9/2021), M. Yunan Lubis selaku kuasa hukum para Pemohon menyatakan pasal-pasal yang diujikan bertentangan dengan UUD 1945. Menurut para Pemohon, sebagai warga negara pihaknya memiliki hak konstitusi untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum termasuk dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
“Namun pada norma tersebut hak konstitusi untuk dipilih hanya diperuntukkan bagi kelompok partai politik, sedangkan bagi rakyat yang bukan kelompok partai politik tidak terdapat norma yang mengaturnya. Akibatnya, para Pemohon berpotensi kehilangan peluang untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden,” jelas Yunan yang hadir dalam sidang secara virtual dengan didampingi Rizki Harma Nugraha, dan Toras selaku kuasa hukum lainnya.
Selain itu, para Pemohon berpandangan bahwa hak konstitusional warga negara untuk dipilih menjadi presiden dan wakil presiden yang ada pada UU 7/2017 tersebut, hanya memuat hak konstitusi dari sebagian rakyat yang tergabung dalam kelompok partai politik. Padahal, MK dalam Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 dan Nomor 102/PUU-VII/2009 menyatakan setiap rakyat warga negara Indonesia mempunyai hak konstitusi untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan UU Pemilu sepanjang ketentuan mengenai “Pengusulan Bakal Calon Presiden Dan Wakil Presiden Dan Penetapan Pasangan Presiden Dan Wakil Presiden” sebagaimana di atur pada BAB VI Pasal 221 sampai dengan Pasal 238.
Sistematika Permohonan
Majelis Sidang Panel ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Enny Nurbaningsih. Dalam nasihat Majelis Sidang Panel, Hakim Konstitusi Enny meminta para Pemohon mempelajari permohonan yang pernah diajukan para pihak ke MK. Mengingat permohonan yang diajukan belum ada benang merah permohonannya, mulai dari kewenangan Mahkamah, objek permohonan yang dimohonkan, kedudukan hukum para Pemohon, uraian terkait syarat-syarat kerugian konstitusional, hak-hak yang diberikan konstitusi sebagai warga negara, dan hak-hak yang dirugikan atas berlakunya suatu norma.
“Ini harus diuraikan hak dipilih dan memilih dari bukan partai politik itu apakah perseorangan atau independen. Sebab, ada banyak putusan MK yang berkait dengan permohononan yang meminta akomodasi calon perseorangan. Bangun argumentasinya terkait dengan nonparpol itu. Bagaimana jika di UU sudah ada ketentuan definitifnya. Di mana letak kerugiannya itu,” jelas Enny.
Dasar Pengujian
Terkait dengan permohonan yang diujikan adalah 1 Bab dalam UU 7/2017, Enny menyoroti bahwa pada permohonan belum termuat ketentuan dalam UUD 1945 yang menjadi landasan pengujian para Pmeohon. Oleh karena itu, para Pemohon harus menjelaskan pada alasan permohonan sehubungan dengan 15 pasal dengan banyak norma yang dinilainya bertentangan dengan pasal-pasal yang ada pada UUD 1945.
“Maka perlu dibuatkan secara jelas pasal-pasal yang ada di dalam UUD 1945 yang dilanggar oleh undang-undang yang diujikan ini. Tidak glondongan gini karena harus jelas satu per satu pasal yang diujikan pertentangannya. Jadi satu kesatuan semuanya hingga ke petitumnya,” terang Enny.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo mencermati bagian sistematika yang harus dipelajari para Pemohon dari Peraturan MK. Selain itu para Pemohon harus pula melakukan pengayaan lebih lanjut terhadap kedudukan hukumnya sehubungan dengan keinginan untuk dipilih sebagai kandidat calon presiden dan wakil presiden oleh pihak-pihak yang akan memilih.
“Selain keinginan, para Pemohon baiknya memberikan bukti yang mengawali Mahkamah atas kedudukan hukum para Pemohon sebagai calon-calon presiden dan wakil presiden untuk penguatan anggapan kerugian itu sudah tampak dari sekarang,” jelas Suhartoyo.
Berikutnya Hakim Konstitusi Saldi Isra memberikan nasihat tambahan berupa telah terdapat setidaknya 16 Putusan MK sebelumnya yang terkait dengan norma-norma yang diajukan para Pemohon. Oleh karena itu, para Pemohon diminta memikirkan inkonstitusional yang dimohonkan terhadap norma yang diajukan. Sebab MK menguji norma pada UU terhadap UUD 1945, sedangkan dalam perkara yang diajukannya adalah persoalan pengajuan perseorangan dalam pemilihan umum yang telah jelas dijamin pada konstitusi. Oleh karenanya, Saldi mempertanyakan argumentasi para Pemohon atas dasar permohonan ini.
“Selain itu, harus dipikirkan secara serius argumentasi yang membedakan dasar pengujiannya dengan 16 putusan MK terdahulu yang terkait dengan butir norma yang diajukan pada perkara ini karena itu pintu gerbang awal hakim untuk menelusuri perkara ini,” sebut Saldi.
Pada akhir persidangan, Hakim Konstitusi Saldi mengumumkan jika para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Diharapkan para Pemohon dapat memperbaiki permohonan dan menyerahkannya ke Kepaniteraan MK selambat-lambatnya pada Senin, 20 September 2021. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Raisa Ayudhita