JAKARTA, HUMAS MKRI Hakim Konstitusi Suhartoyo menjadi narasumber Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) secara virtual pada Sabtu (4/9/2021) siang. Kegiatan ini merupakan kerja sama Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam As-Syafiiyah dengan DPC Peradi Jakarta Barat.
Suhartoyo menyajikan materi “Beracara di Mahkamah Konstitusi”. Memulai pertemuan, Suhartoyo mengatakan Hukum Acara MK sangat tergantung dengan kewenangan yang dimiliki oleh MK.
“Kewenangan MK adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kedua, MK memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Ketiga, MK memutus pembubaran partai politik. Keempat, MK memutus Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian ada lagi kewenangan MK memutus pendapat DPR mengenai adanya dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran tindak pidana. Juga ada kewenangan tambahan dari MK yaitu mengadili perkara-perkara sengketa pemilihan kepala daerah. Kewenangan mengadili perkara pemilihan kepala daerah tidak diturunkan dari Konstitusi,” papar Suhartoyo.
Seluruh kewenangan MK tersebut sesuai dengan Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945, UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun tidak termasuk kewenangan tambahan MK yakni mengadili perkara-perkara sengketa pemilihan kepala daerah.
Beda Hukum Acara
Suhartoyo mengungkapkan perbedaan Hukum Acara MK dalam menjalankan kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD dengan hukum acara ketika MK menjalankan kewenangan-kewenangan lainnya.
“Ketika MK melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD, hukum acara yang digunakan cukup signifikan perbedaannya dengan ketika MK menjalankan kewenangan-kewenangannya yang lain,” lanjut Suhartoyo.
Dijelaskan Suhartoyo, ketika MK menjalankan kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD, sifat perkaranya tidak ada para pihak. Artinya, ada Pemohon tetapi tidak ada Termohon atau Tergugat. Berbeda ketika MK menjalankan kewenangan-kewenangannya selain menguji undang-undang, sifat perkaranya ada pihak Pemohon dan Termohon, ada sengketa kepentingan.
Lebih lanjut Suhartoyo menerangkan secara rinci seluruh kewenangan MK. Dalam pengujian undang-undang terhadap UUD, terdapat dua model atau dua objek pengujian. Pertama, pengujian formil yang berkaitan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Kedua, pengujian materiil sebagai pengujian UU yang berkenaan dengan substansi UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Suhartoyo juga menerangkan sejumlah alasan pemohon menguji UU ke MK, antara lain hak-hak konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya UU, kerugian konstitusionalnya bersifat spesifik, aktual dan potensial. Selain itu, harus ada korelasi, hubungan sebab akibat antara hak konstitusional yang dijamin oleh UUD dengan berlakunya UU.
Sedangkan kewenangan MK memutus sengketa konstitusional lembaga negara, adalah lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Seperti MA, MPR, DPR, BPK, DPD. Kemudian kewenangan MK memutus pembubaran partai politik, kata Suhartoyo, Pemohonnya adalah Pemerintah yang dapat diwakili Jaksa Agung dan/atau Menteri yang ditugasi oleh Presiden untuk itu. Termohonnya adalah parpol yang diwakili pimpinan parpol dan dapat diwakili kuasa hukumnya.
Selanjutnya ada kewenangan MK memutus Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dijelaskan Suhartoyo, para pihaknya adalah pasangan calon presiden sebagai Pemohon dan KPU sebagai Termohon. Kemudian ada Pihak Terkait dan Bawaslu. Sedangkan objek permohonan perselisihan hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah penetapan perolehan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi penentuan pasangan calon yang masuk putaran kedua Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta terpilihnya pasangan calon sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Berikutnya, kewenangan MK memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan perbuatan melanggar hukum atau pidana. Pihak yang menjadi Pemohon adalah DPR yang wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonan mengenai dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan perbuatan melanggar hukum, atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945.
Pengajuan Permohonan
Selanjutnya, Suhartoyo memaparkan yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan MK adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara. Suhartoyo juga menjelaskan mengenai pemberian kuasa untuk persidangan di MK. Pemohon dan atau Termohon dapat didampingi atau diwakili kuasa hukum. Sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa. Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat. Esensinya agar memberi kemudahan pada access to justice untuk masyarakat yang memang tidak mampu untuk membayar advokat, sepanjang yang bersangkutan menguasai dengan baik Hukum Acara MK. Selain itu, di MK dikenal adanya pendamping yang mengerti Hukum Acara MK, sepanjang bisa membantu kepentingan- kepentingan prinsipal dengan membuat surat keterangan kepada MK.
Mengenai sistematika permohonan, ungkap Suhartoyo. terdiri atas identitas Pemohon, kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita, petitum. Permohonan untuk berperkara ke MK dapat dilakukan secara offline maupun secara online.
Lebih lanjut Suhartoyo menyinggung tahap persidangan di MK, dimulai dari sidang pemeriksaan
pendahuluan yang dihadiri Pemohon dan/atau kuasanya serta dipandu Panel Hakim MK yang terdiri dari tiga Hakim Konstitusi yang wajib memberikan nasihat dan masukan kepada Pemohon. Setelah itu, ada sidang perbaikan permohonan yang masih dipandu dengan Panel Hakim MK. Tahap berikutnya, sidang pembuktian untuk mendatangkan ahli, pihak Pemerintah, DPR, MPR atau lembaga-lembaga lainnya untuk memberikan keterangan. Termasuk juga menghadirkan para saksi.
Tahap akhir adalah sidang pengucapan putusan. Dalam sidang pengujian undang-undang tidak menghadirkan pihak Termohon karena objeknya pengujian undang-undang. Berbeda dengan sidang perselisihan hasil pemilu maupun pilkada yang menghadirkan pihak Pemohon, Termohon, Bawaslu, Pihak Terkait.
Suhartoyo menambahkan, putusan MK bersifat erga omnes. Meskipun permohonan dimohonkan oleh perseorangan atau individu, namun keberlakuan putusan bersifat umum dan mempengaruhi hukum di Indonesia.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.