JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) bekerja sama dengan Forum Diskusi menggelar Serial Diskusi dengan tema “UUD NRI Tahun 1945: Setelah 20 Tahun Perubahan” secara daring dan luring dari Aula Lantai Dasar Gedung MK pada Kamis (2/9/2021). Kegiatan ini diikuti oleh 20 orang perwakilan dari Forum Konstitusi dan para tokoh serta para pakar pemerhati ketatanegaraan. Perlu diketahui, Forum Konstitusi adalah suatu badan yang dibentuk oleh para mantan anggota Panitia Ad hoc I dan III MPR yang membahas amendemen UUD 1945. Tujuan forum ini adalah untuk memelihara, menyediakan penelitian, dan sosialisasi hasil amendemen konstitusi sehingga diharapkan dapat secara aktif memasyarakatkan UUD 1945.
Pada kesempatan ini, Ketua MK Anwar Usman hadir sebagai penceramah kunci sekaligus membuka secara resmi forum diskusi konsitusi. Dalam sambutan Anwar mengatakan bahwa amendemen UUD 1945 yang dilakukan kurun waktu 1999 – 2002 telah memberikan perubahan kuantitatif dan kualitiatif terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Disebutkan Anwar, ketika sebelum dilakukan amendemen, UUD 1945 hanya terdiri atas 71 butir ketentuan, dan setelahnya menjadi 199 butir, dengan naskah asli hanya 25 butir. Sementara itu, dari aspek kualitiatif pada masa sebelum amendemen maka penerapan prinsip kedaulatan rakyat bersifat tunggal, sedangkan setelah dilakukan amendemen prinsip kedaulatan rakyat dilakukan seiring dengan perubahan norma sehingga berimplikasi pada struktur ketatanegaraan di Indonesia.
“Salah satu di antara implikasinya, tidak ada lagi lembaga negara yang punya kedudukan tertinggi. Selain itu, MPR tidak lagi berwenang memilih dan mengangkat presiden. Karena kedudukan yang telah sejajar antara presiden dan MPR, maka berimplikasi pada upaya untuk memperkuat sistem presidensial dan negara demokratis yang berdasarkan asas hukum,”jelas Anwar dalam kegiatan yang dihadiri oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Harjono yang merupakan hakim Konstitusi periode 2003 – 2008 dan 2009 – 2013, Guru Besar Filsafat UGM Kaelan, Ketua Forum Konstitusi Andi Mattalatta, dan para pakar serta pemerhati bidang hukum ketatanegaraan lainnya.
Berikutnya Anwar menyebutkan bahwa terjadinya perubahan dari UUD 1945 sebenarnya didorong oleh peristiwa reformasi. Pada masa itu, sambung Anwar, dirasa perlu untuk dilakukan perubahan sebab norma yang ada tidak lagi cukup dan tidak cukup mampu menampung perkembangan kehidupan negara. Akibatnya, perubahan pun dilakukan oleh MPR dengan memberikan peluang terbuka kepada masyarakat melalui perwakilan di dewan untuk menyerap segala aspirasi agar kepentingan masyarakat tetap dapat diakomodasi dan dilindungi dalam konstitusi. Anwar melanjutkan, perubahan konstitusi yang ada ini dilakukan tidak menghilangkan naskah asli.
Sementara itu, terkait dengan wacana untuk melakukan amendemen secara terbatas untuk melahirkan kembali GBHN, Anwar dalam pandangannya memberikan beberapa catatan di antaranya situasi kebatinan yang terjadi pada masa reformasi 1998 berbeda dengan yang sekarang terjadi. Dulu, kata Anwar, rakyatlah yang menghendaki adanya perubahan karena norma yang ada tak lagi mampu mengikuti perkembangan yang ada.
Sedangkan sekarang, wacana yang ada cenderung merupakan aspirasi yang dinilai tergesa-gesa dari para wakil rakyat. Meski diakui Anwar bahwa para anggota dewan memiliki legitimasi atas rakyat dalam bernegara demokrasi, namun para wakil rakyat harus pula memiliki sensitivitas terhadap kebutuhan ralyat. “Jadi berbicara perubahan konstitusi tentu akan membawa dampak yang luas dan signifikan dalam kehidupan bernegara, maka hal ini harus dilakukan dengan melingkupi cakrawala berpikir yang luas dan dalam,” terang Anwar.
Tak Hanya Teks Yuridis
Pada kesempatan diskusi konstitusi ini, Kaelan selaku Guru Besar Filsafat UGM yang menjadi salah satu pemantik diskusi memberikan pandangannya dari sisi hukum normatif filosofis yang berkaitan dengan konstitusi. Menurutnya jika meletakkan konstitusi dalam konteks kajian hukum, maka akan muncul berbagai pertanyaan. Dari kajian ilmu yang dipahami Kaelan, ia melihat secara hukum bahwa pengubahan konstitusi seharusnya diatur dalam konstitusi itu sendiri. Lalu, sambung Kaelan, pengubahannya pun melalui prosedur yang diatur di luarnya.
Akan tetapi, dari pencermatannya pada dokumen MPR tentang amendemen yang ada pada UUD 1945 terlihat pasal-pasal yang mengalami perubahan ditandai dengan pemberian tanda bintang satu, dua, tiga, atau empat sesuai perubahan yang dilakukan pada tahun kesatu, kedua, ketiga atau keempat (baca: 1999, 2000, 2001, 2002). Jadi menurutnya, hampir meliputi 97% adanya perubahan dan baginya ini bukan amendemen tetapi mengganti UUD.
Lebih spesifik Kaelan menerangkan bahwa konstitusi menujukkan karakteristik sistem ketatanegaraan satu negara. Ia mendapati ada beberapa kekurangan dan kelebihan sebelum dan sesudah amendemen, baik pada amendeman 1999 sampai dengan 2002. Menurutnya UUD 1945 sesuai dengan Amendemen 2002 tidak memuat suatu kelahiran baru dari ciri-ciri negara bangsa. Konstitusi ini adalah identitas dan lambang nasional, namun ia tidak menunjukkan interrelasi dengan nilai-nilai proklamasi.
“Dari identitas ini sebenarnya perlu adanya eksistensi bangsa dan negara yang terus berlanjut. Sebab, konstitusi tak hanya teks yuridis, tetapi juga mencerminkan keadaan rakyat dan cermin budaya bangsa. Dan hal ini tidak ada dihasil amendemen UUD 1045 pada tahun 2002 ini,” terang Kaelan yang mengikuti kegiatan secara daring dari kediamannya.
Pada kegiatan ini, para peserta diskusi diajak mengulas secara tuntas dan jelas terkait dengan beberapa pokok bahasan, di antaranya konstitusionalitas perubahan atas UUD NRI Tahun 1945; perubahan MPR dari aspek kelembagaan, kewenangan dan keanggotaan; dan berbagai wacana mengenai pemantapan berlakunya UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi yang sah dan legitimate serta menghimpun berbagai gagasan menyangkut UUD NRI Tahun 1945 setelah 20 tahun perubahannya. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P