JAKARTA, HUMAS MKRI - Hari ketiga kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara Bagi Guru PPKn Tingkat SD yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) secara daring pada Kamis (2/9/2021) diisi dengan paparan materi para narasumber. Hadir Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK, Fajar Laksono Soeroso yang menyampaikan materi “Mahkamah Konstitusi dan Hukum Acara Pengujian Undang-Undang”.
Dalam pertemuan itu Fajar menjelaskan “Historisitas Constitutional Judicial Review (CJR) dan Mahkamah Konstitusi (MK)” sebagai sejarah pengujian undang-undang dan MK di dunia. “Ini menjadi frame yang sangat penting ketika kita bicara dan berdiskusi mengenai Mahkamah Konstitusi,” ujar Fajar kepada 179 guru sebagai peserta daring.
Dijelaskan Fajar, CJR sudah dikenal secara konseptual dan praktik, jauh sebelum Indonesia memiliki Mahkamah Konstitusi. Sejarah CJR terjadi di Amerika Serikat pada 1803. Dari banyak perkara yang ditangani Mahkamah Agung Amerika Serikat kala itu, yang paling menonjol adalah perkara Marbury versus Madison. Pada 1800 ada momentum krusial Pemilihan Presiden Amerika Serikat yang memperhadapkan John Adams sebagai petahana dengan Thomas Jefferson sebagai kandidat presiden.
The Midnight Judges
Singkat cerita, John Adams kalah dalam pemilihan, sehingga Thomas Jefferson terpilih menjadi presiden baru. Selanjutnya ada sebuah kasus yang dikenal sebagai “The Midnight Judges”. Saat John Adams kalah dalam pemilihan, di akhir masa jabatannya, dia mengangkat kolega-koleganya untuk menjadi pejabat tinggi di Amerika Serikat, dalam hal ini hakim agung. John Adams menandatangani Surat Keputusan (SK) Pengangkatan Pejabat Tinggi tersebut sampai larut malam. “Inilah yang kita menyebutnya sebagai The Midnight Judges, yakni hakim-hakim yang diangkat dan SK-nya ditandatangani pada larut malam,” tutur Fajar.
Selanjutnya semua SK Pengangkatan tersebut dimasukkan ke dalam laci di ruang kerja John Adams, namun dia lupa membawa SK Pengangkatan tersebut dan tertinggal dalam laci ketika pulang. Ketika Thomas Jefferson memulai kerjanya sebagai presiden, ditemukanlah sejumlah SK Pengangkatan Pejabat Tinggi yang ditandatangani Adams. Alhasil Jefferson menahan sejumlah SK Pengangkatan Pejabat Tinggi, tidak memberikan kepada para pejabat yang bersangkutan.
Seiring berjalannya waktu, para pejabat tinggi yang diangkat Adams meminta kepada Jefferson agar memberikan SK Pengangkatan kepada mereka. Namun Jefferson tetap menahan SK Pengangkatan tersebut, yang mengakibatkan kemarahan salah seorang pejabat yang diangkat, namanya William Marbury. Maka Marbury menggugat ke Mahkamah Agung Amerika Serikat, karena ada satu norma dalam Judiciary Act yang menyebutkan kewenangan Mahkamah Agung untuk memerintahkan cabang kekuasaan yang lain, termasuk presiden untuk melakukan atau tidak melakukan satu tindakan hukum tertentu.
“Melalui norma itu, Marbury meminta Mahkamah Agung Amerika Serikat memerintahkan Jefferson untuk menyerahkan SK Pengangkatan Marbury dan SK Pengangkatan pejabat lainnya. Singkat cerita, Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat menolak permohonan Marbury. Tetapi yang lebih mengejutkan dan membuat gempar hukum di Amerika Serikat ketika itu, justru Mahkamah Agung Amerika Serikat membatalkan norma dalam Judicial Act yang menyebutkan kewenangan Mahkamah Agung untuk memerintahkan cabang kekuasaan yang lain, termasuk presiden untuk melakukan atau tidak melakukan satu tindakan hukum tertentu,” papar Fajar.
Putusan itulah pada 1803, kata Fajar, yang kemudian menjadi tonggak penting dalam gagasan CJR dan men menimbulkan perdebatan yang luar biasa, ada yang merasa puas dan tidak puas, merasa adil dan tidak adil terhadap putusan itu. Di sisi lain, ada yang memuji putusan itu adalah putusan terbaik sepanjang sejarah peradilan di Amerika Serikat. Mahkamah Agung Amerika Serikat dianggap benar-benar menjaga nilai-nilai Konstitusi, antara lain separation of power. Dari sinilah gagasan CJR muncul. Kasus Marbury versus Madison dianggap sebagai tonggak awal CJR pertama di dunia. Namun gagasan MK secara institusi, pertama kali terbentuk pada 1920 di Austria berdasarkan gagasan pakar hukum Hans Kelsen. Menurut Kelsen, perlunya sebuah lembaga peradilan Konstitusi yang terpisah dari Mahkamah Agung.
Sejarah pengujian undang-undang di Indonesia, ungkap Fajar, terjadi di masa kemerdekaan. Kala itu Mohammad Yamin dalam rapat BPUPK melontarkan gagasan lembaga pembanding undang-undang atau penguji undang-undang. Namun ide Yamin ditolak Soepomo. Alasannya, Indonesia saat itu belum memiliki sarjana hukum dalam upaya mewujudkan lembaga pengujian undang-undang. Selain itu Indonesia tidak menganut Trias Politica.
Bertahun-tahun kemudian, pasca reformasi, saat dilakukan amendemen UUD 1945 tercetus kembali ide agar Indonesia membentuk lembaga peradilan Konstitusi terpisah dari Mahkamah Agung. Singkat cerita, MK Republik Indonesia dibentuk pada 13 Agustus 2003 dengan memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban, yang kewenangan utamanya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Mengenai pengujian undang-undang, ungkap Fajar, termaktub dalam UU MK No. 9 Tahun 2020 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang yang antara lain menyebutkan adanya obyek permohonan yakni undang-undang atau perpu. Kemudian para pihak yang meliputi Pemohon, Pemberi Keterangan dan Pihak Terkait.
Sedangkan persidangan pengujian undang-undang dimulai dengan sidang pemeriksaan pendahuluan, sidang perbaikan, sidang pemeriksaan perkara, hingga sidang pengucapan putusan. Dalam situasi pandemi Covid-19, MK tetap menyelenggarakan persidangan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 1 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Persidangan Jarak Jauh, yang meliputi sidang luring, daring, luring-daring.
Teknik Penyusunan Permohonan Uji UU
Selanjutnya hadir Panitera Pengganti MK Achmad Edi Subiyanto dengan materi “Teknik Penyusunan Permohonan Pengujian Undang-Undang”. Hal ini berkaitan dengan kewenangan utama MK menguji undang-undang terhadap UUD.
“Saya berharap materi ini dapat dipahami bapak dan ibu sekalian, serta bermanfaat kepada siapapun yang ingin memahami teknik penyusunan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945,” kata Edi.
Dalam persidangan MK, ujar Edi, ada yang disebut sebagai para pihak yakni Pemohon, Pemberi Keterangan dan Pihak Terkait. Ketiganya dapat diwakili oleh kuasa hukum berdasarkan surat kuasa khusus dan/atau didampingi oleh pendamping berdasarkan surat keterangan.
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya undang-undang, yaitu perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama), kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, serta badan hukum publik atau privat, maupun lembaga negara.
Terkait Pemberi Keterangan, jelas Edi, Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Selain itu, Keterangan Pemberi Keterangan sekurang-kurangnya memuat uraian yang jelas mengenai fakta yang terjadi saat proses pembahasan dan/atau risalah rapat dari undang-undang atau perpu yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon, termasuk hal-hal lain yang dianggap perlu oleh Pemberi Keterangan atau yang diminta oleh Mahkamah.
Kemudian Pihak Terkait adalah pihak yang berkepentingan langsung dan/atau tidak langsung dengan pokok permohonan. Pihak Terkait yang berkepentingan langsung adalah pihak yang hak dan/atau kewenangannya secara langsung terpengaruh kepentingannya oleh pokok permohonan. Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung adalah pihak yang hak, kewenangan, dan/atau kepentingannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya terhadap permohonan dimaksud.
Lebih lanjut Edi menguraikan syarat-syarat pengajuan permohonan, yaitu permohonan dapat diajukan secara luring atau daring. Berkas permohonan sekurang-kurangnya terdiri atas: permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia sebanyak satu eksemplar asli yang ditandatangani oleh Pemohon/kuasa hukum, fotokopi identitas Pemohon/kuasa hukum dan surat kuasa serta AD/ART. Di samping itu, permohonan sekurang-kurangnya memuat identitas Pemohon dan/atau kuasa hukum, Kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum Pemohon, alasan permohonan (posita) dan petitum.
Usai dilakukan paparan dari dua narasumber, berlanjut dengan kegiatan praktik penyusunan permohonan pengujian undang-undang. Para peserta kegiatan dibagi dalam kelompok-kelompok kelas terpisah untuk belajar menyusun sistematika dan format permohonan sesuai yang didapat dari materi sebelumnya. Setelah itu, para peserta melanjutkan tugas mandiri praktik penyusunan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD Negara Repulik Indonesia Tahun 1945.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P