JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) pada Rabu (1/9/2021) secara virtual. Permohonan perkara yang teregistrasi Nomor 92/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Burhanudin, seorang dosen yang pernah mengikuti seleksi hakim ad hoc di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 2016. Adapun norma yang diujikan yakni Pasal 13 huruf a UU KY.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut, Mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan selaku ahli yang dihadirkan oleh KY mengatakan independensi hakim yang dicari bukan sesuatu konsep yang mandiri dalam arti berdiri sendiri. Tetapi independensi itu diberikan untuk bisa mencapai apa yang dikatakan nilai imparsialitas yang mendukung sikap hakim sebagai seorang yang netral dalam melalukan tugasnya yakni memeriksa dan memutus perkara.
“Jadi imparsialitas itu nilai yang berdiri untuk mendukung independensi dalam rangka sikap netral sebagai prinsip yang melekat dan harus tergambar dalam proses perkara dari awal sampai akhir. Tetapi independensi dan imparsialitas juga merupakan hal yang didukung atau tidak bisa terpisah dari integritas yang jujur yang bisa mencerminkan keseimbangan kepribadian tetapi seorang yang juga memiliki kompetensi, kerajinan dan kecakapan, keseksamaan dan tanggung jawab,“ ujar Maru.
Hal tersebut, terang Maru, dapat dijadikan tolok ukur bahwa mencari seorang hakim untuk melaksanakan tugas kehakiman bukanlah suatu tugas yang bisa sambil lalu atau disandingkan dengan tugas lain.
Definisi hakim karir dan hakim ad hoc, sambung Maru, merupakan suatu konteks baru dalam melihat penafsiran Pasal 13 UU KY. Menurutnya, dengan seluruh tafsiran yang demikian dengan melihat struktur lembaga tempat dimana hakim diseleksi akan ditempatkan dan beban tugas yang membutuhkan seluruh daya sehingga Pasal 13A UU KY itu tidak bertentangan dengan UUD. Karena secara logis UU KY diperintahkan oleh konstitusi untuk menjalankan kewenangan pada Pasal 13A UU KY tersebut.
Sementara ahli yang dihadirkan oleh KY selanjutnya yakni Zainal Arifin Mochtar yang merupakan ahli Hukum Tata Negara menyampaikan bahwa KY merupakan lembaga yang didesain untuk melakukan perbaikan kualitas hakim serta pengusulan hakim agung. Sehingga, secara moralitas hal tersebut dapat disesuaikan.
Lebih lanjut ia mengatakan, secara penafsiran tekstual, peran KY diamanatkan untuk mengusulkan calon hakim agung. Jadi memang yang paling penting dicerna itu hakim adalah hakim pada MA dan hakim pada peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkup peradilan umum, agama, militer dan lain sebagainya.
“Sebenarnya, hakim itu meliputi hakim dalam konteks keseluruhan termasuk hakim pada MA dan peradilan di bawahnya. Hanya saja yang menjadi pembeda dari konteks hakim agung dan hakim di peradilan di bawahnya. Nanti ini akan berkolerasi sejarahnya,“ ungkap Zainal secara daring.
Untuk diketahui, permohonan uji materi UU KY diajukan oleh Burhanudin, seorang dosen yang pernah mengikuti seleksi hakim ad hoc di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 2016. Adapun norma yang diujikan yakni Pasal 13 huruf a UU KY.
Dalam persidangan sebelumnya, Zainal Arifin Hoesein selaku kuasa Pemohon mengatakan bahwa Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY, khususnya frasa “dan hakim ad hoc”. Selain itu, aturan hukum dalam UU a quo yang menyamakan hakim ad hoc dengan Hakim Agung, merupakan pelanggaran konstitusional terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
Menurutnya hakim ad hoc pada MA tidak sama dengan hakim agung baik status, fungsi, dan kewenangan yang melekat pada jabatannya. Jabatan hakim ad hoc pada MA tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan jabatan hakim agung. Model seleksi terhadap hakim ad hoc, khususnya Tipikor yang dilakukan oleh MA yang diatur dalam UU Pengadilan Tipikor, sebelum berlakunya ketentuan UU KY, lebih memberikan jaminan kepastian hukum dan sesuai kompetensi seorang hakim ad hoc di bidang tertentu sebagaimana yang dibutuhkan oleh MA.
Lebih lanjut Zainal menjelaskan, Pengadilan Tipikior bernaung di MA sebagai pengadilan khusus di bawah lembaga peradilan umum. Menurutnya, kebijakan negara dalam menghadapi korupsi yang sudah menjadi kejahatan luar biasa adalah dengan membentuk lembaga negara independen, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Guna mendukung kinerja KPK, sambung Zainal, maka dibentuk pengadilan khusus yang diletakkan pada MA di bawah lembaga peradilan umum.
Ketentuan hakim ad hoc merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kewenangan MA baik yang ditentukan dalam UUD 1945 maupun UU Kekuasaan Kehakiman. Dengan adanya ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY, maka jelaslah bahwa Pembentuk Undang-Undang secara expressis verbis telah memperluas kewenangan KY yang semula hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung juga mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di MA. Dengan demikian, memperlakukan seleksi yang sama antara calon hakim MA dengan hakim ad hoc yang memiliki perbedaan baik secara struktural, maupun status merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai keadilan.
Selain itu mendasarkan ketentuan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, tanggal 7 Oktober 2015, maka telah ternyata ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY inkonstitusional, sehingga Pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY harus bertentangan secara konstitusional dengan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Baca Juga:
Menguji Kewenangan KY Mengusulkan Pengangkatan Hakim Ad Hoc
Penguji Kewenangan KY Perbaiki Kerugian Konstitusional
Pemerintah Belum Siap, Sidang Uji UU KY Ditunda
Pemerintah, MA, dan KY Tanggapi Soal Kewenangan KY dalam Seleksi Hakim Ad Hoc
DPR: Hakim Ad Hoc di MA Dapat Disamakan Dengan Hakim Agung
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.