JAKARTA, HUMAS MKRI – Hari kedua kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara Bagi Guru PPKn Tingkat SD yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) secara daring pada Rabu (1/9/2021) diisi dengan paparan materi tiga narasumber yaitu Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Guru Besar Universitas Hasanuddin Judhariksawan, serta Pakar Hukum Tata Negara Ni’matul Huda.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyajikan materi “Konstitusi dan Konstitusionalisme”. Dikatakan Arief, tidak ada negara manapun yang hampir-hampir tidak memiliki Konstitusi, dalam bahasa Inggris disebut Constitution. “Konstitusi memiliki pengertian yang lebih luas dari Undang-Undang Dasar. Karena Konstitusi bisa dari yang tertulis dan tidak tertulis. Konstitusi tertulis adalah Undang-Undang Dasar,” jelas Arief.
Dikatakan Arief, Indonesia memiliki Konstitusi tertulis yaitu UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Konstitusi tidak tertulis yakni Konvensi sebagai praktik ketatanegaraan yang dilakukan secara berulang-ulang dan menjadi dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh Konvensi adalah Pidato Presiden RI setiap 16 Agustus di depan seluruh rakyat Indonesi yang menyampaikan program-program yang telah dilakukan lembaga legislatif, eksekutif dan judikatif selama satu tahun. “Itu adalah Konvensi Ketatanegaraan,” kata Arief.
Secara sederhana, ujar Arief, Konstitusi dimaknai sebagai hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan negara. “Sering orang mencontohkan negara Inggris menerapkan Konstitusi tidak tertulis. Artinya, bukan tidak tertulis sama sekali, tapi tidak terkodifikasi tapi tersebar di beberapa tulisan. Indonesia menggunakan Konstitusi tertulis, terkodifikasi dalam satu naskah. Dalam hal ini UUD 1945,” ungkap Arief.
Terkait Konstitusi, Arief menyebut adanya Teori Kontrak Sosial yang dianut tiga tokoh besar yaitu John Locke, JJ Rousseau, Thomas Hobbes. Namun pemikiran yang dihasilkan masing-masing tokoh tersebut berbeda-beda. Pandangan Thomas Hobbes menghasilkan pemikiran mengenai negara yang absolut. Sedangkan Rousseau menghasilkan paham demokrasi. Kemudian John Locke menghasilkan negara yang berpaham Konstitusionalisme. John Locke adalah orang pertama yang mengatakan adanya hak asasi manusia.
Lebih lanjut Arief menjelaskan tujuan Konstitusi yaitu memelihara ketertiban dan ketenteraman, mempertahankan kekuasaan, serta mengurus hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan umum. Lainnya, Arief menguraikan pengertian nilai Konstitusi sebagai hasil atas pelaksanaan norma-norma dalam suatu Konstitusi dalam kenyataan praktik.
“Nilai Konstitusi mencakup nilai normatif, yakni kalau Konstitusi dipahami, diakui, diterima oleh masyarakat. Juga ada nilai nominal, jika norma Konstitusi tidak dipakai sama sekali sebagai referensi atau rujukan dalam pengambilan keputusan. Selain itu ada nilai semantik, jika norma Konstitusi hanya dihargai di atas kertas dan dijadikan jargon atau semboyan sebagai alat pembenaran belaka,” urai Arief.
Baca juga: Ketua MK: Pentingnya Penanaman Nilai-Nilai Pancasila dan Konstitusi Sejak Dini
Hak Konstitusional dalam UUD 1945
Sementara itu Guru Besar Universitas Hasanuddin, Judhariksawan memaparkan materi “Jaminan Hak Konstitusional Warga Negara dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945”. Mengawali pertemuan, Judhariksawan menjelaskan pengertian hak konstitusional (constitutional rights).
“Tidak satu definisi yang baku mengenai hak konstitusional. Saya memberikan perspektif ini dalam rangka memberikan kesepahaman antara saya dengan teman-teman peserta,” kata Judhariksawan kepada para guru.
Judhariksawan menerangkan pengertian hak konstitusional (constitutional rights) sebagai seperangkat hak bagi warga negara yang disepakati, diatur dan dijamin pemenuhannya berdasarkan konstitusi negara. Kata ‘seperangkat’ sudah lazim dipakai untuk membuat semacam akumulasi atau jumlah dari beberapa kondisi yang diatur.
“Seperangkat hak ini yang memang diberikan kepada warga negara. Misalnya di Indonesia, ada peraturan bagaimana memperoleh kewarganegaraan. Mengapa seseorang bisa memperoleh kewarganegaraan. Seperangkat hak ini diatur dan dijamin pemenuhannya dalam UUD 1945,” ucap Judhariksawan yang juga menjelaskan hak konstitusional tidak hanya apa yang ada dalam Konstitusi, pengertiannya lebih luas, namun juga ada dalam peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut, Judhariksawan mengungkapkan hak-hak konstitusional dalam UUD 1945 yang meliputi tanggung jawab negara, hak-hak warga negara dan hak asasi manusia. Tanggung jawab negara adalah melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia, serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945, alinea IV.
Sedangkan hak-hak warga negara, kata Judhariksawan, disebutkan dalam Pasal 27 UUD 1945 bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Selain itu, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Kemudian hak asasi manusia merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Seperti termaktub dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Penyelenggaraan Negara
Selanjutnya hadir pakar hukum tata negara Ni’matul Huda dengan materi “Sistem Penyelenggaraan Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945”. Ni’matul menerangkan mengenai Cita Hukum Indonesia. Menurutnya, cita hukum bangsa Indonesia berakar dalam Pancasila, yang oleh para Pendiri Negara Republik Indonesia ditetapkan sebagai landasan kefilsafatan dalam menata kerangka dan struktur dasar organisasi negara sebagaimana yang dirumuskan dalam UUD NRI Tahun 1945.
“Pancasila adalah pandangan hidup bangsa Indonesia yang mengungkapkan pandangan bangsa Indonesia tentang hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan sesama manusia, serta manusia dan alam semesta yang berintikan keyakinan tentang tempat manusia individual dalam masyarakat dan alam semesta. Cita hukum Pancasila harus mencerminkan tujuan menegara dan seperangkat nilai dasar yang tercantum, baik dalam pembukaan maupun batang tubuh UUD NRI Tahun 1945,” ungkap Ni’matul.
Selanjutnya, Ni’matul menerangkan terjadinya reduksi kekuasaan Presiden setelah amendemen UUD NRI Tahun 1945 pada 1999-2002, yakni kekuasaan legislasi berkurang, adanya pembatasan masa jabatan/periodesasi Presiden dan dapat di-impeach. Kemudian Presiden tidak dapat membekukan/membubarkan DPR, serta hak prerogratif presiden berkurang.
Lainnya, Ni’matul menjelaskan penguatan kewenangan DPR pasca amendemen UUD NRI Tahun 1945, antara lain sebagai pemegang kekuasaan legislasi, memiliki hak-hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat. Selain itu anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas, serta mengusulkan impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Kegiatan peningkatan pemahaman ini berlangsung pada Selasa – Jumat (31/8/2021 – 3/9/2021) mendatang. Dalam kegiatan yang diikuti oleh 200 peserta tersebut hadir sejumlah narasumber, di antaranya hakim konstitusi, akademisi, panitera pengganti, dan lainnya. Para narasumber tersebut membahas mengenai hukum, konstitusi, dan Mahkamah Konstitusi. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P