JAKARTA, HUMAS MKRI – Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
“Amar putusan mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 11/PUU-XIX/2021, Selasa (31/8/2021) di Ruang Sidang Pleno MK.
Permohonan diajukan oleh Herifuddin Daulay yang berprofesi sebagai guru honorer. Pemohon mengujikan Pasal 60 ayat (1) UU MK yang menyatakan, “Terhadap materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.”
Mahkamah dalam pertimbangan hukum menyatakan Pemohon telah keliru dalam memahami ketentuan norma a quo secara utuh karena persyaratan untuk mengajukan permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 60 ayat (2) UU MK bukanlah norma yang berdiri sendiri. Norma dimaksud harus dibaca dan dipahami bersamaan dengan norma yang termuat dalam Pasal 60 ayat (2) UU MK serta Pasal 78 Peraturan MK No. 2 Tahun 2021.
Oleh karena itu, dengan memahami secara utuh ketentuan dimaksud, kata Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul yang membacakan pertimbangan Mahkamah, maka tidak ada halangan bagi Pemohon untuk mengajukan pengujian materi muatan ayat, pasal, dan/atau dalam undang-undang yang telah diuji di MK dalam rangka Pemohon hendak menggunakan hak konstitusionalnya yaitu upaya bela negara sepanjang permohonan tersebut memenuhi norma a quo. Bahkan pengujian berulang dengan alasan sebagaimana ditentukan oleh ketentuan tersebut telah berulang kali diputuskan oleh Mahkamah. Dengan demikian, sebenarnya tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 60 UU MK sehingga Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Sebelumnya, Herifuddin Daulay menguji Pasal 60 ayat (1) UU No. 24/2003. Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang merasa dirugikan pasal a quo yang menyebutkan, “Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.”
Herifuddin mendalilkan, pasal a quo secara definitif telah membatasi adanya upaya pengajuan kembali suatu pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pemohon juga menegaskan kerugian hak konstitusional Pemohon dengan berlakunya Pasal 60 ayat (1) UU MK tentang tidak dapat diajukannya kembali materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji karena menghalangi hak dan/atau kewenangan Pemohon dalam melakukan bela negara.
Kerugian aktual yang diyakini Pemohon adalah Pemohon tidak dapat mengajukan permohonan pengujian suatu undang-undang yang menurut Pemohon telah membuka peluang atau dapat menjadi peluang Pemohon atau keturunan Pemohon akan kembali mengalami penjajahan dan/atau dipimpin oleh bangsa lain, bila Pemohon tidak melakukan kewajiban untuk menangkalnya berupa tindakan pencegahan yang dibenarkan undang-undang dan konstitusi. Dalam hal ini, pilihan Pemohon adalah memanfaatkan adanya hak oleh undang-undang untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dengan maksud agar dihapuskan atau dinyatakan tidak berkekuatan hukum.
Pemohon berpandangan, tindakan Pemohon dalam rangka mencegah terjadinya peluang kembali dijajah bangsa lain adalah merupakan kewajiban bela negara yang merupakan hak konstitusi Pemohon. Karena telah terdahului pengajuan pengujiannya oleh orang atau kelompok yang menghendaki terjajahnya dan atau terpimpinnya kembali bangsa Indonesia oleh bangsa lain, Pemohon melihat hal ini bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia yaitu agar bangsa Indonesia dapat memimpin dirinya sendiri.
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.