JAKARTA, HUMAS MKRI Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) terhadap UUD 1945. Hal tersebut disampaikan Ketua MK Anwar Usman didampingi delapan hakim konstitusi dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 34/PUU-XIX/2021 pada Selasa (31/8/2021).
"Amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," tegas Anwar Usman.
Permohonan pengujian UU KPK diajukan oleh Muh. Yusuf Sahide, Direktur Eksekutif KPK Watch Indonesia. Yusuf mengujikan frasa dalam ketentuan Pasal 68B ayat (1) dan Pasal 69C UU KPK terhadap Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945. Pasal 69B ayat (1) UU KPK menyatakan, "Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan." Kemudian Pasal 69C UU KPK menyatakan, "Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku dapat diangkat menjadi pegawai aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Pemohon mendalilkan Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU KPK berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai NGO yang peduli terhadap kinerja KPK. Menurut Pemohon, ada potensi kerugian konstitusional yang akan dialami Pemohon akibat adanya alih status pegawai KPK yang dalam prosesnya telah didahului Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sehingga menyebabkan beberapa pegawai KPK tidak lolos dan hilangnya hak pegawai KPK mendapatkan imbalan secara adil.
Terhadap dalil tersebut, menurut Mahkamah, Pemohon tidak tepat mengutip dan menyandingkan permasalahan a quo yang dikaitkan dengan hak untuk mendapatkan imbalan yang layak sebagaimana diatur dalam Equal Remuneration Convention 1951. Karena konvensi tersebut lebih fokus kepada persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam persoalan remunerasi yang mencakup upah atau gaji.
Selain itu, Mahkamah berpendapat Pemohon telah keliru menafsirkan konsep negara hukum hanya dalam tatanan praktis desain pelaksanaan peralihan status pegawai KPK menjadi ASN. Menurut Mahkamah, sebagaimana telah Mahkamah pertimbangan dalam Putusan Perkara 70/PUU-XVII/2019 bahwa ketentuan perundang-undangan dimaksud adalah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan ASN, dalam hal ini adalah UU No. 5/2014 dan peraturan pelaksananya.
Mahkamah juga mencermati terkait adanya kekhususan bagi pegawai KPK dalam desain peralihan pegawai KPK ke ASN sebagaimana diatur dalam PP No. 41/2020. Menurut Mahkamah, hal tersebut adalah bentuk kekhususan yang justru bertujuan untuk memperkuat independensi KPK dengan tanpa menafikan adanya aturan lain terkait ASN yakni UU No. 5/2014 yang mengikat seluruh korps ASN.
Menurut Mahkamah, seharusnya hal ini juga menjadi pusat perhatian Pemohon, bahwa desain yang ada memang mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang merupakan bentuk perwujudan negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan sebagai bentuk adanya jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan dalil Pemohon mengenai pemberlakuan TWK telah mengakibatkan terlanggarnya hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut Mahkamah, hal ini tidak secara langsung berhubungan dengan kesempatan untuk menduduki jabatan publik in casu penyidik dan/atau penyelidik KPK atau hak untuk turut serta dalam pemerintahan melainkan lebih pada konteks due process of law dalam negara hukum yang demokratis. Artinya, dalil Pemohon tersebut baru dapat dipertimbangkan dapat diterima apabila dalam rangka due process of law terdapat norma yang menyebabkan Pemohon tidak memperoleh kepastian hukum yang adil dan diperlakukan secara berbeda dengan warga negara Indonesia lainnya yang berstatus sama dengan Pemohon in casu sebagian pegawai KPK yang tidak lolos TWK.
Menurut Mahkamah, Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 tidaklah dimaksudkan untuk menjamin seseorang yang telah menduduki jabatan apapun tidak dapat diberhentikan dengan alasan untuk menjamin dan melindungi kepastian hukum. Kepastian hukum yang dimaksud adalah kepastian hukum yang adil serta adanya perlakuan yang sama dalam arti setiap pegawai yang mengalami alih status mempunyai kesempatan yang sama menjadi ASN dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU KPK bukan hanya berlaku bagi Pemohon in casu pegawai KPK yang tidak lolos TWK melainkan juga untuk seluruh pegawai KPK. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, ketentuan a quo tidak mengandung ketentuan yang bersifat diskriminasi. Adanya fakta bahwa ada beberapa pegawai KPK yang tidak lolos TWK bukanlah persoalan konstitusionalitas norma. Mahkamah berpendapat, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU KPK bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
Alasan Berbeda
Empat Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Suhartoyo, Hakim Konstitusi Saldi Isra, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memiliki alasan berbeda (concurring opinion) dalam Putusan Nomor 34/PUU-XIX/2021 ini.
Alasan berbeda dimaksud di antaranya menyatakan bahwa Putusan MK No.70/PUU-XVII/2019 secara tegas menyatakan bagi pegawai KPK secara hukum menjadi pegawai ASN karena berlakunya UU KPK. Oleh karenanya dalam UU KPK ditentukan waktu untuk dilakukannya penyesuaian peralihan status kepegawaian KPK paling lama 2 (dua) tahun sejak UU berlaku.
"Artinya, bagi pegawai KPK, menjadi pegawai ASN bukan atas keinginan sendiri, tetapi merupakan perintah undang-undang, in casu UU 19/2019. Lebih tegas lagi, berdasarkan UU 19/2019 peralihan status menjadi pegawai ASN merupakan hak hukum bagi penyelidik, penyidik, dan pegawai KPK," ujar Saldi yang membacakan alasan berbeda.
Mendasarkan pada kepastian hukum, norma dalam Pasal 69B dan Pasal 69C UU KPK seharusnya semangatnya secara sungguh-sungguh dimaknai sebagai pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara, in casu hak konstitusional penyelidik, penyidik dan pegawai KPK untuk dialihkan statusnya sebagai pegawai ASN sesuai dengan Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945. Dalam konteks demikian, sekalipun permohonan a quo ditolak, namun pertimbangan hukumnya dapat dijadikan momentum untuk menegaskan pendirian Mahkamah ihwal peralihan status penyelidik, penyidik, pegawai KPK secara hukum menjadi pegawai ASN sebagai hak yang harus dipenuhi sebagaimana semangat Putusan MK No. 70/PUU-XVII/2019.
Sebagaimana diketahui, Pemohon adalah M. Yusuf Kahide yang menguji Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU KPK. Pemohon berprofesi sebagai advokat dan konsultan hukum serta sebagai Direktur Eksekutif NGO/LSM KPK Watch Indonesia.
Pemohon mendalilkan hasil penilaian Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) telah dijadikan dasar serta ukuran baru serta melakukan seleksi untuk menentukan dapat tidaknya pegawai KPK termasuk Pemohon diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Padahal tidak ada satupun aturan dalam peraturan perundangan baik UU KPK maupun Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Pegawai Aparatur Sipil (PP 41/2020) yang mensyaratkan adanya TWK.
Adapun Pasal 5 ayat (4) Peraturan Perkom 1/2021 yang mewajibkan pegawai KPK untuk mengikuti seleksi melalui proses asesmen yang kemudian menjadikan syarat lolos atau tidak lolos assessment tersebut. Sebagai konseskuensi dari digunakannya hasil penilaian TWK sebagai dasar serta ukuran baru untuk menentukan Pemohon dan bahkan pegawai KPK lainnya diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) maka terdapat perluasan penggunaan kata dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dalam Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU KPK dengan menambahkan proses yang setara dengan seleksi dalam peralihan status pegawai.
Pemohon mendalilkan, ketentuan Pasal 69 ayat (3) UU KPK telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945. Jaminan konstitusi tersebut menjelaskan dua hak mendasar dalam hubungan kerja bagi warga negara yaitu imbalan yang adil dan perlakuan yang layak dalam hubungan kerja. Adil tersebut dapat ditafsirkan pada adanya persamaan pendapatan untuk jenis pekerjaan yang persis tanpa adanya diskriminasi dengan membedakan suku, ras, agama, pandangan politik, asal daerah serta jenis kelamin sesuai dengan prinsip dalam Discrimination (Employment and Occupation) Convention 1958 yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia.
Baca juga:
Asesmen TWK Pegawai KPK Kembali Dipersoalkan
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.