JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Suhartoyo menjadi narasumber dalam acara Bimbingan Teknis Pendidikan Khusus Advokat Bidang Hukum Polda Metro Jaya 2021 yang diselenggarakan oleh Polda Metro Jaya bekerja sama dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) pada Selasa (31/8/2021) sore. Dalam kegiatan yang dilakukan secara virtual tersebut, Suhartoyo menyampaikan materi “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” dari ruang kerjanya di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
“Bicara beracara di MK sama halnya dengan penanganan perkara secara umum baik pidana. Di MK ada hukum formilnya, hukum acaranya. Hukum acara MK adalah hukum yang mengatur tentang tata beracara di MK,” ujar Suhartoyo dalam acara yang dihadiri 46 peserta yang merupakan anggota kepolisian dan mahasiswa.
Dikatakan Suhartoyo, setiap UU yang harus ditegakkan di MK bisa menjadi hukum materiilnya. “Jadi hukum materiil di MK kalau gitu bisa tidak terhitung karena semua UU yang ada di Indonesia bisa menjadi obyek pengujian UU terhadap UUD di MK. Setiap UU bisa menjadi hukum materilnya hukum acara MK,” jelasnya.
Kewenangan utama Mahkamah Konstitusi, ungkap Suhartoyo, menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi juga berwenang memutus kewenangan konstitusional lembaga negara. Kewenangan Mahkamah Konstitusi berikutnya, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilu. Sedangkan kewajiban Mahkamah Konstitusi, memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran Presiden atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
“Kemudian ada kewenangan tambahan Mahkamah Konstitusi yaitu menyelesaikan sengketa pilkada yang diturunkan bukan dari Konstitusi, tetapi yang diturunkan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Kewenangan tambahan ini sifatnya sementara sampai dibentuk peradilan khusus menangani sengketa pilkada,” urai Suhartoyo.
Suhartoyo menyampaikan, hukum acara MK apabila dikaitkan dengan empat kewenangan, satu kewajiban dan satu kewenangan tambahan MK, membawa konsekuensi yuridis yang berbeda-beda antara semua kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi tersebut.
“Hukum acara MK yang dijadikan dasar untuk mengajukan perkara yang berkaitan dengan empat kewenangan MK, kewajiban dan kewenangan tambahan hukum acaranya sedikit berbeda. Kalo pengujian UU terhadap UUD hukum acaranya mempunyai karakter yang sedikit berbeda dengan ketika MK menjalankan kewenangan lainnya,” tegas Suhartoyo.
Hukum Acara
Dikatakan Suhartoyo, berkaitan dengan kewenangan dan fungsi pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar itu hukum acaranya hanya ada pemohon dan tidak ditemukan adanya termohon. Namun dalam hukum acara yang mengatur MK menjalankan kewenangannya yang lain terdapat pemohon dan termohon.
“Dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 ada karakter yang berbeda hukum acaranya, tidak ada pihak lawan, ada pemohon tetapi tidak ada termohon, namun ada pihak Pemerintah dan DPR yang diminta keterangan berkaitan dengan undang-undang yang dibentuk. MK memanggil Pemerintah dan DPR untuk menjelaskan bagaimana sejarahnya, original intent dari undang-undang yang diterbitkan. Berbeda dengan perkara sengketa konstitusional lembaga negara, ada pemohon dan termohon. Begitu juga dengan perkara pembubaran parpol dan perselisihan hasil pemilu, ada pemohon dan termohon,” papar Suhartoyo.
Pengujian Materiil dan Formil
Suhartoyo menegaskan, ada dua jenis pengujian undang-undang di MK yaitu secara materiil dan formil. Secara materiil, pengujian undang-undang yang berkenaan dengan materi, isi undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pengujian materiil juga disebut pengujian substansi. Sedangkan secara formil, pengujian undang-undang tentang tata cara atau prosedur pembentukan undang-undang.
Selanjutnya yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan MK, ungkap Suhartoyo, pertama adalah perorangan warga negara. Sampai saat ini, menurutnya, MK dalam tatanan empirik maupun yurisprudensi belum pernah memberikan kedudukan hukum bagi warga negara asing.
“Kecuali warga negara asing yang mewakili kepentingan badan hukum publik atau privat yang berkedudukan di Indonesia. Dengan catatan, warga negara asing itu merupakan direksi badan hukum publik atau privat yang bersangkutan,” kata Suhartoyo yang menyebutkan ada dua jenis permohonan di MK yakni datang langsung mendaftar ke MK (offline) maupun secara online. Berikutnya, pihak yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan di MK adalah kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara.
Kemudian mengenai pemberian kuasa untuk persidangan di MK, ujar Suhartoyo, pemohon dan atau termohon dapat didampingi kuasa, sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa. Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat, sepanjang menguasai dengan baik tentang Hukum Acara MK. "Di MK dikenal adanya pendamping, sepanjang bisa membantu kepentingan-kepentingan prinsipal dengan membuat surat keterangan kepada MK,” ucap Suhartoyo yang juga menerangkan format pengujian undang-undang yaitu terdiri atas identitas pemohon, kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita dan petitum.
Mengenai persidangan di MK, sambung Suhartoyo, ada sidang pemeriksaan pendahuluan dimana majelis hakim wajib memberikan nasihat kepada pemohon, lalu sidang perbaikan permohonan, lanjut ke sidang pembuktian dengan mendatangkan saksi, ahli dan lainnya serta sidang pengucapan putusan. Bersidang di MK bisa melalui video conference maupun aplikasi zoom.
Selain itu, Suhartoyo juga menerangkan sejumlah alasan pemohon menguji undang-undang ke MK, antara lain hak-hak konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang, kerugian konstitusionalnya bersifat spesifik, aktual dan potensial. Selain itu harus ada korelasi, hubungan sebab akibat antara hak konstitusional yang dijamin oleh UUD dengan berlakunya undang-undang.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P