JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan menolak seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia). Demikian disampaikan Ketua Pleno Anwar Usman yang didampingi para hakim konstitusi dalam sidang pengucapan putusan Nomor 2/PUU-XIX/2021 pada Selasa (31/8/2021).
“Amar putusan, mengadili, dalam provisi, menolak permohonan provisi Pemohon. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Anwar Usman membacakan amar putusan.
Permohonan diajukan oleh Joshua Michael Djami, pegawai sebuah perusahaan finance. Joshua Pemohon melakukan pengujian materiil Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia dan penjelasannya.
Terhadap pokok persoalan yang diajukan Pemohon, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia pernah diajukan sebelumnya dan sudah diputus dalam Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019. Permohonan tersebut diajukan oleh Apriliani Dewi dan Sari Agung Prabowo. Amar Putusan MK saat itu mengabulkan permohonan a quo. Bahwa penarikan barang yang dibeli secara kredit namun terjadi penunggakan, tidak boleh dilakukan secara sendiri dan memaksa sehingga harus melalui pengadilan. Tetapi, Pemohon yang berprofesi sebagai kolektor internal, beranggapan bahwa penarikan barang bisa dilakukan tanpa melalui pengadilan.
Dasar hukumnya menurut Pemohon adalah Pasal 15 ayat (2) UU No. 42/1999, “Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Selain itu Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU a quo, “Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan & quot; kekuatan eksekutorial & quot; adalah langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.”
Mahkamah berpendapat, Pemohon tidak memahami secara utuh Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 dalam kaitannya dengan kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia. Adanya ketentuan tidak bolehnya pelaksanaan eksekusi dilakukan sendiri, melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri pada dasarnya telah memberikan keseimbangan posisi hukum antara debitur dan kreditur serta menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksaan eksekusi.
“Adapun pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri sesungguhnya hanyalah sebagai sebuah alternatif yang dapat dilakukan dalam hal tidak ada kesepakatan antara kreditur dan debitur baik berkaitan dengan wanprestasi maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur kepada kreditur. Sedangkan terhadap debitur yang telah mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia, maka eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan oleh kreditur atau bahkan debitur itu sendiri,” kata Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh yang membacakan pendapat Mahkamah.
Menurut Mahkamah, pertimbangan hukum dalam Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 telah mempertimbangkan secara juridis dan menjawab secara komprehensif isu konstitusionalitas yang dipermasalahkan Pemohon, khususnya berkaitan dengan eksekusi sertifikat jaminan fidusia.
Sebagaimana diketahui, Pemohon Perkara No. 2/PUU-XIX/2021 ini adalah Joshua Michael Djami, pegawai sebuah perusahaan finance. Pemohon melakukan pengujian materiil Pasal 15 ayat (2) UU No. 42/1999, “Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Selain itu Pemohon menguji Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU a quo, “Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan & quot; kekuatan eksekutorial & quot; adalah langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.”
Pemohon bekerja di perusahaan finance dengan jabatan kolektor internal dan telah bersertifikasi profesi bidang penagihan. Kendati demikian, Pemohon mengalami berbagai kesulitan semenjak ditafsirkannya undang-undang dalam perkara a quo. Permasalahan-permasalahan yang muncul, di antaranya berkurangnya pendapatan hingga sulitnya melakukan eksekusi terhadap barang jaminan fidusia akibat pemberi hak fidusia (debitur) kerap kali mengelak.
Pengujian undang-undang dalam perkara a quo sangat erat kaitannya dengan permasalahan penanganan dan regulasi eksekusi objek jaminan fidusia yang melibatkan kolektor, dalam hal regulasi, sumber daya tenaga manusia, maupun prosedur dan pengaturannya. Pemohon adalah kolektor yang bekerja di bidang penagihan dan eksekusi agunan, menjadi suatu kenyataan bahwa
Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan a quo.
Baca Juga:
Menyoal Eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia
Permohonan Uji UU Jaminan Fidusia Diperbaiki
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.