SUMATERA BARAT, HUMAS MKRI - Dua Hakim Konstitusi yakni Manahan MP. Sitompul dan Suhartoyo menjadi narasumber dalam kegiatan Ceramah Konstitusi yang diselenggarakan oleh Kepolisian Daerah Sumatera Barat (Polda Sumbar), Jumat (26/8/2021) siang di Markas Kepolisian Daerah Sumbar (Mapolda Sumbar). Kegiatan ini dilakukan atas kerja sama MK dan Polda Sumbar dalam upaya meningkatkan kemampuan penyidik jajaran Polda Sumbar terkait perubahan KUHP dan KUHAP melalui putusan MK.
Mengawali pembahasannya, Manahan menyampaikan keberadaan MK diatur dalam UUD 1945 yakni dalam Pasal 24 ayat (2). Dalam pasal tersebut, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah MK.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, sambung Manahan, kewenangan MK adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, dalam Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 kewajiban MK yakni memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Dalam perkembangannya, MK memiliki kewenangan tambahan yang mana pasca Putusan No. 97/PUU-XI/2013, Lahir Pasal 157 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur tentang kewenangan MK dalam memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. “Pilkada itu dasarnya bukan UUD tetapi UU saja. Nah jadi kewenangan itu diberikan UU “ujarnya.
Menurut Manahan, dari kewenangan tersebut, MK sering disebut sebagai The Guardian of Constitutiontional (pengawal konstitusi). Selain itu The Guardian of Democracy (pengawal demokrasi), The Guardian of State Ideology (menjamin produk hukum yang dibuat undang-undang berkesesuaian dan tidak bertentangan dengan pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa) The Protector of Human Rights (pelindung hak-hak asasi manusia), The Protector of Citizen’s Constitutional Rights (pelindung hak-hak konstitusional warga negara) dan The Final Interpreter of Constitution (penafsir akhir konstitusi). Terakhir, sambung Manahan, MK harus progresif yang artinya MK harus bergerak maju.
Manahan juga menjelaskan bahwa hakim dalam memutus harus sesuai dengan nilai yang diyakininya melalui penafsiran hukum, walaupun putusan yang didasarkan pada penafsiran dan keyakinan demikian mungkin berlawanan dengan mereka yang memiliki kekuasaan politik dan administrasi.
Penafsiran hukum yang digunakan oleh MK dalam proses pengujian undang-undang pidana dengan UUD 1945 sangat tergantung pada pilihan penafsiran oleh hakim. Untuk menentukan bahwa suatu norma pidana bias atau multitafsir, menggunakan abstraksi secara deskriptif atau menggunakan penafsiran secara gramatikal atas norma yang diujikan.
“MK menganut hukum progresif, bahwa sebuah konsep hukum tidak terkungkung oleh teks undang-undang semata melainkan rasa keadilan yang hidup di masyarakat dan hukum yang berkemanfaatan, “ujar Manahan.
Menurut Manahan, putusan MK tidak hanya menyatakan suatu unsur/frasa/ayat/pasal dalam undang-undang pidana bertentangan dengan UUD 1945 akan tetapi juga dapat melahirkan norma baru dengan cara menyatakan bahwa suatu norma pidana/tindak pidana tidak memiliki kekuatan mengikat, menghapus ancaman pidana bahkan dalam beberapa putusan, memperluas cakupan norma yang sudah ada atau membatasi penafsiran suatu norma pidana.
Sehingga dampak dari putusan-putusan MK antara lain adalah lahirnya makna baru atas norma hukum pidana dalam unsur tindak pidana, perubahan rumusan pasal, termasuk perubahan kualifikasi delik dalam tindak pidana, bahkan melahirkan norma baru.
Kemudian, Manahan juga mengatakan bahwa pengujian KUHAP merupakan pengujian terbanyak di MK yakni sebanyak 70 perkara. Dari 70 perkara, 11 perkara yang dikabulkan oleh MK.
Implikasi Putusan
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan putusan MK dapat berimplikasi pada perubahan norma hukum pidana khususnya rumusan tindak pidana maupun perubahan delik dalam tindak pidana termasuk tidak berlakunya suatu norma hukum pidana (dekriminalisasi).
Dalam Putusan MK No. 006/PUU-V/2007, sambung Suhartoyo, pasal penghinaan terhadap pemerintahan di muka umum bukan merupakan tindak pidana. Adapun Pertimbangan Mahkamah pada putusan tersebut berisi Kualifikasi delik atau tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 154 dan 155 KUHP adalah delik formil yang cukup hanya mempersyaratkan terpenuhinya unsur adanya perbuatan yang dilarang (strafbare handeling) tanpa mengaitkan dengan akibat dari suatu perbuatan. Akibatnya, rumusan pasal a quo menimbulkan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan karena secara mudah dapat ditafsirkan menurut selera penguasa.
Presiden dan Wakil Presiden tidaklah boleh mendapatkan perlakuan privilege hukum secara diskriminatif berbeda dengan kedudukan rakyat banyak selaku pemegang kedaulatan tertinggi, kecuali secara prosedural dalam rangka mendukung fungsinya privilege tertentu dapat diberikan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Adanya ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal a quo menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.
Ancaman pidana Pasal 134 paling lama enam tahun penjara dapat dipergunakan untuk menghambat proses demokrasi khususnya akses bagi jabatan publik yang mensyaratkan seseorang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P