JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjadi narasumber dalam kuliah umum yang bertema “Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia” pada Jumat (27/8/2021) secara daring. Acara tersebut terselenggara atas kerjasama Mahkamah Konstitusi (MK) dan Universitas Ekasakti Padang.
Dalam acara tersebut, Enny menyampaikan bahwa MK merupakan buah perjuangan dari reformasi. “Tanpa ada MK, kita tidak bisa menjadikan konstitusi sebagai hukum dasar tertinggi negara, karena tidak ada yang menguji,” kata Enny.
Enny menerangkan, Hans Kelsen sebagai bapak konstitusi menjadi pemikir pertama kali yang menempatkan konstitusi sebagai sistem ketatanegaraan. Sehingga inilah yang menjadi tolak ukur pertama kali munculnya MK yang sifatnya tidak menjadi satu dengan supreme court. MK menjelma menjadi lembaga tersendiri yang tersentralisasi dalam sistem ketatanegaraan kita.
“Bukan kelembagaan seperti di Amerika yang dilekatkan dengan supreme court, dimana supreme court tidak hanya bekerja sendiri tetapi terdesentralisasi sekian court-court yang ada di negara bagian untuk melakukan hal yang sama,” terang Enny.
Lebih lanjut Enny mengatakan, perjalanan bangsa Indonesia untuk lahirnya sebuah kelembagaan yang diberikan kewenangan untuk menegakkan konstitusi yang salah satunya dengan menguji undang-undang (UU) terhadap UUD 1945 yakni adanya referensi dari Moh. Yamin. Menurut Enny, Moh. Yamin mengusulkan perlu adanya Balai Agung yang diberi kewenangan untuk membanding UU.
“Yang dikhawatirkan ketika pembahasan waktu itu tidak ada kelembagaan yang diberikan kewenangan untuk membanding. Tetapi waktu itu kita masih dalam suasana kebatinan menolak paham Barat yang mana salah satu paham itu adalah trias politica. Adanya paham yang kemudian diberikan sesuatu sifat kebebasan yang tidak diinginkan oleh para pendiri kita. Oleh karena itu kemudian mayoritas tidak menyetujui apa yang sudah digagas oleh Moh. Yamin tersebut,” lanjut Enny dalam acara yang juga dihadiri oleh Rektor Universitas Ekasakti Otong Rosadi.
Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat usulan dari Ikatan Sarjana Indonesia (ISI) yang menyatakan Mahkamah Agung (MA) boleh diberikan kewenangan untuk melakukan judicial review. Dikatakan Enny, MA memang diberikan kewenangan tersebut, akan tetapi tidak bisa me-review sampai UU dan hanya sampai peraturan perundang-undangan di bawah UU.
Berikutnya, Enny menjelaskan mengenai prinsip-prinsip konstitusi pasca amendemen UUD 1945. Enny menyebutkan Pasal 1 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945 menegaskan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Sementara Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” Pembentuk UU juga menafsirkan konstitusi menurut aneka sudut pandang, kepentingan dan cara yang mungkin melanggar hak-hak konstitusional. Sedangkan Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.”
Setelah amendemen UUD 1945, jelas Enny, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman tersebut dilakukan oleh sebuah MA dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam UU. MK dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD. MK “mengubah legislasi” melalui putusan final (tak ada upaya hukum lain). MK hanya tunduk kepada konstitusi sebagai formulasi kedaulatan rakyat. MK sebagai penafsir dan pelindung konstitusi (interpreter and the guardian of the constitution) untuk diterapkan dan ditegakkan dalam menilai UU.
Enny pun menyebut kewenangan MK dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 yaitu berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Sementara dalam Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945, MK wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Sedangkan dalam Pasal 157 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016 menyebutkan perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh MK sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.