JAKARTA, HUMAS MKRI - Bahasa yang digunakan dalam penyusunan perundang-undangan harus tegas, jelas, dan mudah dimengerti. Selain itu, bahasanya pun tidak menggunakan kata atau frasa yang dalam suatu norma dalam substansinya tidak jelas penggunaannya. Perlu dipahami bahwa bahasa perundang-undangan itu punya ciri khusus, yakni memilki kejernihan, kelugasan, dan keserasian yang sesuai pula dengan kebutuhan hukum.
Penjelasan tersebut disampaikan oleh Hernadi selaku Kasubdit Harmonisasi Bidang Pertahanan dan Keamanan Kemenkumham yang dihadirkan pada Bimbingan Teknis Legal Drafting APHTN HAN Angkatan II, Kamis (26/8/2021). Kegiatan ini diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN).
Melalui paparan berjudul “Ragam Bahasa Peraturan Perundang-undangan” ini, Hernadi mengajak para peserta bimtek untuk mencermati ciri bahasa perundang-undangan. Menurutnya, bahasa yang digunakan dalam penyusunan suatu norma tersebut tunduk pada kaidah bahasa Indonesia, baik pada penyusunan kata dan Teknik yang digunakan dalam RUU atau RPP tidak lepas dari kaidah tata bahasa Indonesia. Termasuk jika seorang penyusun perundang-undangan ingin memperluas pengertian dalam sebuah undang-undang. Ia perlu melakukan pencermatan kata-kata dan pilihan katanya.
“Dalam suatu perundang-undangan seorang penyusun tidak boleh menggunakan istilah berbeda untuk menjelaskan suatu pengertian yang sama. Contohnya penggunaan kata upah, gaji, atau pendapatan. Jika dalam suatu norma kita menyebutkan kata gaji, maka di dalam penggunaannya pada suatu ayat atau pasal dalam suatu perundang-undnagan harus konsisten dari awal hingga akhir,” jelas Hernadi dalam kegiatan yang dimoderatori oleh Pengurus Pusat APHTN HAN Rifandy Ritonga secara virtual.
Selanjutnya, Hernadi menerangkan tentang penggunaan bahasa asing dalam merancang perundang-undangan yang dinilainya tidak mudah. Ia meminta agar para penyusun perlu terlebih dahulu mengetahui penyerapan kata-kata yang dipilih tersebut telah disesuaikan dnegan kaidah bahasa Indonesia. Sehingga dapat digunakan dengan syarat mempunyai konotasi yang cocok, lebih singkat dibandingkan dengan padanan bahasa Indonesia, mempunyai corak internasional, lebih memudahkan tercapainya kesepakatan, dan lebih mudah dipahami. Hernadi menegaskan kembali bahwa pilihan kata atau istilah dalam penyusunan perundang-undangan dalam pembentukan katanya harus berpedoman pada morfologi bahasa Indonesia dan pedoman umum pembentukan istilah.
“Jadi dalam melakukan pilihan kata itu harus tepat dan sesuai. Dan sebagai perancang perundang-undangan harus hati-hati dalam memilih ragam bahasa serta mempedomani peraturan bagaimana menuangkannya menjadi sebuah norma dalam peraturan perundang-undangan yang baik,” nasihat Hernadi pada 100 orang peserta bimtek secara daring dari kediamannya.
Pada hari keempat ini, setelah mendapatkan serangkaian materi para peserta bimtek dibentuk dalam kelompok-kelompok belajar yang terdiri atas 24 kelompok. Di dalam kelompok ini, para peserta bimtek akan dibantu oleh pembimbing yang telah ditentukan panitia penyelenggara guna melakukan Pelatihan Penyusunan Peraturan Perundang-undangan. Sebagai informasi, kegiatan ini pun digelar selama lima hari, yakni sejak Senin hingga Jumat (23 – 27/8/2021) mendatang secara daring dari kediaman para peserta anggota APHTN HAN di seluruh Indonesia. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P