JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menjadi narasumber Lokakarya Pendidikan Latihan Kemahiran Hukum (PLKH) secara virtual pada Kamis (26/8/2021). Lokakarya bertema “Praktikum Pendidikan Latihan Kemahiran Hukum dan Transformasi Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum di Indonesia” ini diselenggarakan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
“Pertanyaan yang sering muncul, apakah dalam tatanan politik hukum nasional, hukum Islam memiliki kedudukan dan peran dalam pembentukan peraturan perundang-undangan?” ujar Wahiduddin di awal pembicaraan.
Dikatakan Wahiduddin, Sila Pertama dari Pancasila, yakni Ketuhanan yang Maha Esa adalah dasar utama dan landasan sebagai tempat berpijak bagi terpeliharanya, terlaksananya dan berkembangnya ajaran serta aturan-aturan hukum agama Islam di Indonesia. Sila Pertama dari Pancasila menegaskan bahwa negara mengakui keesaan Tuhan. Pancasila mengakui dan menjamin penduduk Indonesia untuk melaksanakan aturan-aturan dan hukum agama sebagai konsekuensi tunduk pada aturan-aturan dan hukum-hukum agama yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
“Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa pada hakikatnya berisi amanat bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang bertentangan dengan agama atau bersifat menolak atau bermusuhan dengan agama. Ini saya kutip dari ucapan Mochtar Kusumaatmadja dalam Seminar Akbar 50 Tahun Badan Pembinaan Hukum Nasional. Mochtar Kusumaatmadja pernah menjadi menteri kehakiman dan menteri luar negeri. Sementara Ismail Saleh yang pernah menjabat sebagai menteri kehakiman, mengatakan bahwa tolak ukur upaya mengimplementasikan hukum Islam adalah Pancasila, UUD 1945 dan kebutuhan masyarakat,” ungkap Wahiduddin.
Jaminan Konstitusi
Sedangkan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kata Wahiduddin, negara menjamin hak-hak dasar manusia untuk melaksanakan ibadah agama masing-masing. Pengertian negara menjamin hak-hak tersebut ialah negara mengakui eksistensi, melindungi dan memberikan pelayanan kepada warga negara agar pelaksanaan ajaran dan hukum agama Islam dapat berjalan, baik melalui hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan ataupun melalui hukum tidak tertulis.
“Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 tidak membatasi lingkup materi dan substansi hukum agama Islam yang karena kebutuhan para pencari keadilan yang beragama Islam perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan,” ucap Wahiduddin yang juga mengatakan bahwa pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945 merupakan unsur religiusitas sekaligus dasar ontologi hukum di Indonesia yang mengakui eksistensi Tuhan.
Lebih lanjut Wahiduddin menyampaikan, ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang secara tegas dalam konsiderans, baik menimbang maupun mengingat. Dasar hukum mengingat dalam setiap peraturan perundang-undangan, mulai dari undang-undang sampai ke peraturan desa, dicantumkan kalau dasar hukum itu memberikan kewenangan dan memerintahkan untuk membuat atau membentuk peraturan perundang-undangan.
“Debat di DPR untuk masalah ini tidak sederhana. Apakah di undang-undang ini dasar hukum mengingatnya Pasal 29 ayat (1) atau ayat (2) UUD 1945, atau hanya Pasal 29 saja dari UUD 1945,” ucap Wahiduddin.
Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini Wahiduddin menguraikan sejumlah peraturan perundang-undangan yang mencantumkan dasar hukum mengingat, Pasal 29 UUD 1945. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kemudian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Perubahannya yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2019.
Berikutnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (sebelumnya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999). Juga Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh (sebelumnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 dan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2008).
Selanjutnya ada berbagai undang-undang yang materi muatannya sangat terkait dengan substansi hukum Islam, namun tidak mencantumkan Pasal 29 UUD 1945 sebagai dasar hukum mengingat. Misalnya, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2011 tentang Sistem Resi Gudang dan lain-lain. Termasuk juga berbagai peraturan lembaga, seperti dalam peraturan otoritas jasa keuangan maupun berbagai peraturan daerah atau qanun.
Sumber Hukum
Wahiduddin melanjutkan, menurut para ahli sosiologi, sumber hukum ialah faktor-faktor yang menentukan hukum positif, misalnya keadaan-keadaan ekonomi, pandangan agama, saat-saat psikologis. Penyelidikan tentang faktor-faktor tersebut menuntut kerja sama dari pelbagai ilmu pengetahuan lebih-lebih antar sejarah, hukum, agama, ekonomi, psikologi dan filsafat. Seperti dikatakan oleh L.J. van Apeldoorn, Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht, diterjemahkan oleh Soeharso, dengan judul Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, 1985, hlm. 76).
Secara konkret, sambung Wahiduddin, L.J. van Apeldoorn mengakui bahwa Burgerlijk Wetboek (BW) Belanda yang konkordan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang sampai berlaku di Belanda berasal dari agama Kristen. Di samping itu, terbuka ruang apresiatif yang cukup memadai bagi implementasi hukum Islam dalam spektrum tata hukum nasional. Peran akademisi, perguruan tinggi dan organisasi keagamaan untuk menggali, menginterpretasi, mengaktualisasi nilai, prinsip, muatan hukum Islam masuk dalam arus atau terserap dalam hukum nasional. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P