JAKARTA, HUMAS MKRI - Berdasarkan teleologi hukum harmonisasi, tujuannya adalah meminimalkan egosektoral, menguatkan koordinasi dan kebersamaan, mencegah deharmonisasi, dan memingkatkan kualitas perundang-undangan yang akan dihasilkan. Untuk itu, dalam metode harmonisasi ini harus dilakukan dengan menyelaraskan dengan Pancasila, UUD 1945, perundang-undangan yang lebih tinggi atau setingkat dengan norma yang akan disusun.
Hal tersebut dikatakan oleh Roberia selaku narasumber yang dihadirkan pada heri ketiga Bimbingan Teknis Legal Drafting APHTN HAN Angkatan II yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN), pada Rabu (25/8/2021).
Di hadapan 100 peserta bimtek secara daring ini, Roberia mengulas secara rinci bagaimana seorang penyusun perundang-undangan dapat menyelaraskan teknik penyusunan sehingga menghasilkan kesepakatan terhadap substansi yang diatur sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 51 ayat (4) Perpres 87 Tahun 2014. Dalam paparan berjudul “Pengharmonisasian Peraturan Perundang-undangan” ini, Roberia mengatakan bahwa hakikat dari peraturan perundang-undangan adalah hal yang mengatur, melindungi, dan memberikan jaminan hak dan kewajiban sehingga tercipta rasa aman dan nyaman. Sehingga perundang-undangan itu dapat pula untuk memberikan kepastian hukum sehingga kepastian tersebut menjadi berstatus pasti.
Dalam kegiatan yang dimoderatori oleh Lily Bauw dari Fakultas Universitas Cendrawasih ini, Roberia mengungkapkan bahwa unsur dari sebuah perundang-undangan terdiri atas peraturan tertulis, memuat norma yang mengikat secara umum, dibentuk/ditetapkan oleh Lembaga negara/pejabat yang berwenang, dan melalui prosedur yang ditetapkan dalam perundang-undangan.
“Oleh karenanya, dalam melakukan harmonisasi perundang-undangan itu perlu dilakukan pemahaman juga terhadap apa itu sistem hukum, politik, ekonomi, sosial, dan sistem pemerintahan sebelum benar-benar melakukan penyusunan terhadap sebuah perundang-undangan,” terang Roberia yang saat ini menjabat sebagai Plt. Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan I Kementerian Hukum dan HAM RI.
Hasil Penelitian Hukum
Pada kesempatan berikutnya, Tyas Dian Anggraeni selaku Kasubbid Penelitian Kebutuhan Hukum di Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional memberikan materi mengenai Teknik Penyusunan Naskah Akademik. Menurutnya, kegiatan penyusunan naskah akademik lebih kepada praktik dan melalui bimtek ini, ia berharap dapat memberikan masukan pada masalah yang dihadapi di lapangan oleh para penyusun perundnag-undangan. Lebih dalam lagi Tyas menerangkan bahwa sesuai dengan teknik pembentukan naskah akademik, kegelisahan yang sama hadir dalam pembentukan perundang-undangan tersebut adalah terkait masalah materi, proses pembentukan, dan kelembagaannya.
“Banyak pengaturan dalam perundang-undangan yang tidak harmonis dan tidak bisa diimplementasikan. Bahwa masalah kelembagaan termasuk bagian dari masalah paling rumit dalam menghadapi persoalan pengaturan penyusunan perundang-undangan karena ada egosektoral dan tarik menarik kepentingan. Sehingga perundang-undangan yang dibuat justru tidak ada keberlakuan hukumnya” jelas Tyas dalam kegiatan yang dimoderatori oleh Vieta Cornelis dari Universitas Dr. Soetomo.
Lebih dalam Tyas mengatakan bahwa melalui arahan presiden, maka pembentukan regulasi haruslah mempermudah rakyat mencapai cita-cita, memberikan rasa aman, memudahkan semua orang untuk mendapatkan haknya, dan mampu mendorong semua orang berinovasi menuju Indonesia maju. Untuk itu, perlu dipahami dengan saksama bahwa naskah akademik itu adalah hasil penelitian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Jadi, hasilnya nanti bersifat merekomendasikan membentuk UU, memperbaiki UU, dan memperbaiki program. Bahwa adanya anggapan naskah akademik itu bermakna telah dilakukan kajian atau menperdengarkan penyusunan perundang-undangan dihadapan para akademisi adalah kekeliruan. Padahal, terang Tyas, yang dapat menyusun naskah akademik itu adalah pemrakarsa, baik DPR maupun pemerintah.
“Jika pada pemerintah dapat kita lihat lagi Perpres 87 tahun 2014 tentang peraturan pelaksanaan UU 12 Tahun 2011. Maka pemrakarsa itu adalah menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian yang mengajukan usul penyusunan RUU, RPP, dan perundang-undangan lainnya. Jadi, akademisi dilibatkan membantu pemrakarsa karena pemrakarsa bukan master segala ilmu. Tetapi bukan sebagai pembuat naskah akademiknya,” terang Tyas.
Pada hari ketiga ini, para peserta bimtek juga disuguhi dengan materi sehubungan dengan teknik penyusunan naskah akademik dari beberapa narasumber lainnya. Sebagai informasi, kegiatan ini pun digelar selama lima hari, yakni sejak Senin hingga Jumat (23 – 27/8/2021) mendatang secara daring dari kediaman para peserta anggota APHTN HAN di seluruh Indonesia. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P