JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada Senin (23/8/2021). Permohonan diajukan oleh Arnoldus Belau, Pemimpin Redaksi Media Suara Papua, dan Perkumpulan Aliansi Jurnalis Independen. Para pemohon menguji norma Pasal 40 ayat (2b) UU ITE.
Sidang Perkara Nomor 81/PUU-XVIII/2020 ini digelar secara daring dari Ruang Sidang Pleno lt. 2 Gedung MK. Adapun agenda persidangan kali ini yakni mendengarkan keterangan DPR.
Anggota Komisi III DPR RI Supriansa dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, menyampaikan keterangan terhadap pokok permohonan para pemohon. Supriansa mengatakan, para pemohon mendalilkan ketentuan pasal tersebut membuat pemerintah dapat memutuskan akses elektronik secara sepihak dan menjadi pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak setiap orang mendapatkan informasi.
Menurut DPR, setiap orang termasuk para pemohon dalam melaksanakan hak konstitusionalnya telah dijamin dalam Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945. Namun dalam melaksanakan hak konstitusionalnya tersebut, tidak serta merta dilakukan tanpa adanya pembatasan tertentu agar tidak merugikan hak konstitusional orang lain yang juga dijamin dalam UUD 1945. Pembatasan tersebut, sambung Supriansa, telah diatur dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Selain itu, lanjut Supriansa, DPR memperhatikan substansi Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) UU ITE yang menjadi dasar pemutusan akses atas informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang melanggar hukum. Hal ini dikarenakan karakteristik informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang bergerak tanpa kenal batas, tempat dan waktu, maka pemerintah untuk melaksanakan kewajiban dalam mencegah penyebarluasan muatan yang dilarang adalah dengan melakukan tindakan dan bukan melalui keputusan. Hal tersebut karena harus ditindak dengan segera untuk melakukan pencegahan penyebarluasan yang dilarang kepada masyarakat luas.
Kemudian, pemaknaan konkret yang didalilkan para Pemohon dalam permohonannya merupakan kesalahan implementasi norma. Hal tersebut merupakan permasalahan implementasi norma dan sama sekali tidak terkait dengan inkonstitusionalitas norma pasal a quo.
“Jika Para Pemohon atau setiap orang pernah mengalami terhadap implementasi norma, maka dapat menyampaikannya kepada DPR sebagai wakil rakyat yang memiliki salah satu fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang yang dilakukan oleh pemerintah,” jelasnya.
Lebih lanjut Supriansa mengatakan, ketentuan pasal a quo merupakan kewenangan yang secara atribusi diberikan pembentuk UU kepada pemerintah untuk melakukan pemutusan akses atau memerintahkan penyelenggara untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik yang melanggar hukum. Menurut DPR, ketentuan a quo juga bersifat kumulatif dan alternatif yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah sendiri dan atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik. Oleh karena itu, berdasarkan pasal a quo pemerintah berwenang langsung melakukan pemutusan akses terhadap elektronik tanpa harus mengeluarkan keputusan tata usaha negara tertulis.
Terkait dengan pengajuan konstitusional bersyarat yang diajukan oleh Para Pemohon, DPR merujuk pada pendirian Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor 5/PUU-V/2007 Halaman 57 yang menyatakan bahwa Mahkamah bukanlah pembentuk undang-undang yang dapat menambah ketentuan undang-undang dengan cara menempatkan rumusan kata-kata pada undang-undang yang diuji. Namun demikian, Mahkamah dapat menghilangkan kata-kata yang terdapat dalam sebuah ketentuan undang-undang supaya norma yang mengakhirinya terdapat dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang, tidak bertentangan lagi dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sedangkan terhadap materi sama sekali baru yang harus ditambahkan dalam undang-undang merupakan tugas pembentuk undang-undang untuk merumuskannya.
Supriansa juga menegaskan, dalam rangka melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan informasi elektronik dan transaksi elektronik, diperlukan peran penegasan dari pemerintah dalam mencegah penyebarluasan konten ilegal dengan melakukan tindakan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum. Hal tersebut agar tidak dapat diakses dari yuridiksi Indonesia serta dibutuhkan kewenangan bagi penyidik untuk mendapatkan informasi yang terdapat dalam penyelenggaraan sistem elektronik untuk kepentingan penegakkan hukum tindak pidana di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik.
“Mengingat era digital saat ini, semakin maraknya media online maka diperlukan data untuk memudahkan masyarakat mengenali media mana yang dikelola secara bertanggung jawab dan media yang dikelola dengan tujuan praktis tertentu tanpa melaksanakan atau melandaskan fungsi pers sebagaimana mestinya,” terang Supriansa secara daring.
Pendataan pers, sambung Supriansa, dilakukan berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf g UU Pers merupakan fungsi Dewan Pers yang secara konkret dilakukan setiap tahun dengan cara menyediakan formulir pendaftaran pers dalam situs Dewan Pers dan meminta perusahaan pers untuk mengisi formulir tersebut yang kemudian dikirimkan kepada Dewan Pers. Oleh karena itu, penting bagi suatu media, pers online atau cyber untuk terdaftar di Dewan Pers guna menjamin profesionalisme pers, kemerdekaan pers dan mematuhi kode etik jurnalistik.
Supriansa mengungkapkan, berdasarkan pencarian DPR dalam situs Dewan Pers, suarapapua.com tidak ditemukan dalam data perusahaan pers yang telah terverifikasi dan terdaftar di Dewan Pers.
Untuk diketahui, para Pemohon merasa dirugikan akibat kewenangan yang dimiliki Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE. Menurut Pemohon, Pasal 40 ayat (2b) memberikan kewenangan yang luas kepada Pemerintah untuk mengambil kewenangan Pengadilan dalam menegakkan hukum dan keadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus atas tafsir dari informasi dan/atau dokumen elektronik yang melanggar hukum.
Pemohon menilai seharusnya kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutus sebuah perkara adalah milik hakim sebagaimana telah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 25 UU 48/2009. Selain itu, kewenangan Pemerintah untuk melakukan pemutusan akses adalah bentuk dari pembatasan kebebasan berekspresi dan kebebasan informasi. Kewenangan ini pula, menurut Pemohon, butuh diawasi secara ketat oleh pengadilan. Hal tersebut sebagai bentuk membatasi penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pihak Pemerintah.
Menurut para Pemohon, kewenangan Pemerintah melakukan tafsir secara sepihak atas sebuah informasi dan/atau dokumen elektronik bermuatan konten yang melanggar hukum, bertentangan dengan ketentuan due process of law. Selain itu, Pemohon menganggap jika pasal yang diuji dibiarkan sumir dan tidak jelasnya ukuran informasi dan/atau dokumen elektronik yang dianggap melanggar hukum tersebut, maka hal ini berdampak pada pemberian kewenangan yang absolut kepada Pemerintah untuk mengontrol dan memonopoli akses informasi. Hal demikian membuat sulit publik untuk menerima dan menyampaikan informasi dalam rangka partisipasi melakukan pengawasan kepada Pemerintah melalui lembaga Peradilan. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan ketentuan Pasal 40 ayat (2b) UU ITE dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Baca juga:
Sempat Alami Pemblokiran, Redaksi Suara Papua dan AJI Gugat UU ITE
Redaksi Suara Papua dan AJI Perbaiki Permohonan Uji UU ITE
Pemerintah: Warga Negara Dapat Ajukan Upaya Administratif Atas Tindakan Pemblokiran
Oce Madril: Kewenangan Pemerintah Memutus Akses Internet Terbatas
Pentingnya Regulasi Pemutusan Akses Internet
Tindakan Berdasar Hukum dan Melalui Prosedur
Ifdhal Kasim: Penyalahgunaan Internet Mengotori Ruang Publik
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.