JAKARTA, HUMAS MKRI - Salah satu perangkat utama yang wajib dimiliki Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah kewenangan pengambilalihan agunan nasabah yang mengalami kredit macet. Kewenangan ini menjadi penting dan mendesak dalam situasi pandemi Covid-19 dengan PPKM level 4 saat ini.
Hal ini disampaikan oleh I Goesti Viraguna Bagoes Oka dalam sidang lanjutan uji materiil Pasal 12A ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan). Sidang kelima Perkara Nomor 102/PUU-XVIII/2020 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (18/8/2021). Perkara ini dimohonkan oleh Pribadi Budiono yang merupakan Direktur Utama PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Lestari Bali.
“Dalam rangka mewujudkan BPR yang hati-hati, sehat dan tepercaya maka salah satu perangkat utama yang wajib dimiliki BPR adalah kewenangan dalam menangani kredit macet yang efektif melalui kewenangan pengambil-alihan agunan,” jelas Goesti yang pernah menjabat sebagai Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali tersebut.
Baca juga: Menyoal Konstitusionalitas Aturan Hanya Bank Umum yang Bisa Ambil Alih Agunan
Diperlakukan Sama dengan Bank Umum
Goesti yang hadir sebagai Ahli Pemohon pun menyampaikan seyogianya BPR diperlakukan sama dengan bank umum dalam hal kewenangan dapat membeli sebagian atau seluruh agunan baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan dengan tetap mengacu kepada UU perbankan. Hal itu, lanjutnya, dikarenakan BPR sebagai bank dalam menjalankan fungsinya dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan kepada bank. Bank—termasuk BPR—harus konsisten dalam melakukan peraturan undang-undang perbankan sesuai asas profesionalisme dan itikad baik. Pada dasarnya, lanjut Goesti, pemberian kredit oleh BPR perlu menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan aktiva produktif termasuk aset yang diambil alih atau AYDA yang juga berlaku pada bank umum.
“Ketentuan Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan masih ditafsirkan atau dimaknai berbeda oleh instansi penyelenggara lelang. Sehingga penegasan klausul mengenai pemaknaan Pasal 12A ayat (1) untuk bank umum dan BPR harus diatur dalam UU,” ujar Goesti dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto tersebut.
Baca juga: DPR: BPR Dapat Beli Agunan Nasabah Melalui Lelang
Selain itu, sambung Goesti, ketentuan dalam Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan masih ditafsirkan dan dimaknai berbeda oleh instansi penyelenggara lelang, khususnya terkait dengan akta dan dokumen oleh BPR. Menurutnya, penegasan klausula mengenai pemaknaan Pasal 12A ayat (1) untuk bank umum dan BPR harus diatur dalam undang‑undang. Ia menambahkan seharusnya keberadaan Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan dimaknai dengan menggunakan logika sebagai kebijakan terbuka (open policy).
“Karena BPR sebagai bank menghimpun dana masyarakat dan juga melakukan kegiatan penyaluran kredit pada masyarakat, wajib memiliki perangkat mitigasi risiko berupa opsi bagi BPR untuk membeli agunan nasabah ketika terjadi kredit macet,” papar Goesti.
Baca juga: Pemohon Uji UU Perbankan Perbaiki Permohonan
Diskriminatif
Dalam sidang yang sama, MK juga mendengarkan keterangan Ahli Pemohon lainnya, yakni Yohanes Usfunan. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana tersebut mengatakan pengaturan dalam Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan termasuk diskriminatif. Menurutnya, dalam ketentuan tersebut hanya memberikan wewenang diskresi pembelian agunan nasabah kepada bank umum tanpa melibatkan BPR. Padahal, sambungnya, berdasarkan UU Perbankan tujuan dan tanggung jawab yang diberikan pada bank umum maupan BPR sama dalam penyelenggaraan aktivitas perekonomian dan usaha perbankan lainnya.
“Diskriminasi perlakuan tersebut dapat ditelusuri dari pemberian wewenang diskresi kepada bank umum. bank umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, dan seterusnya. Konsekuensi dari pengaturan diskriminatif ini bertentangan dengan konstitusi,” ungkap Yohanes.
Baca juga: Bank Indonesia: AYDA sebagai Penyelesaian Kredit Macet
Yohanes menyampaikan tujuan perbankan Indonesia untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional, serta peningkatan kesehatan rakyat sesuai cita-cita Bangsa Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Alinea IV. Perwujudan cita-cita tersebut memerlukan dukungan finansial yang tidak bisa terlepas dari fungsi perbankan Indonesia, termasuk BPR. Atas dasar itu, perlakuan yang bersifat diskriminatif terhadap BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dan harus dibatalkan.
“Diskriminasi sebagaimana disebutkan Pasal 12A ayat (1), dikategorikan sebagai suatu tindakan pelecehan atau pengucilan terhadap BPR dalam urusan pembelian agunan yang berakibat mengurangi atau menghambat penggunaan hak BPR untuk membeli agunan itu. Dengan demikian, hal ini merupakan tindakan pelanggaran hukum yang secara konstitusional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Adapun Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang dianggap disimpangi oleh Pasal 12A ayat (1) ini yakni Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan seterusnya, Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 33 ayat (4). Pasal 28 ayat (1), yang mana berisi ‘Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan sama di hadapan hukum’,” urai Yohanes.
Pada sidang sebelumnya, Pribadi Budiono yang merupakan Direktur Utama PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Lestari Bali mengajukan pengujian Pasal 12 ayat (1) UU Perbankan mengenai aturan yang hanya memperbolehkan bank umum mengambil alih agunan nasabah kredit macet dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon mengungkapkan mengalami kerugian dengan adanya pemberlakuan frasa “Bank Umum” dalam UU Perbankan. Hal ini karena aturan tersebut hanya memperbolehkan bank umum yang dapat mengambil alih agunan nasabah debitur macet melalui lelang. Sementara hak yang sama tidak dimiliki oleh BPR. Hal ini menyebabkan perlakuan diskriminatif dan ketidakadilan untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan layaknya sama dengan Pihak Bank Umum untuk dapat mengambil alih agunan nasabahnya melalui lelang untuk menyelesaikan masalah kredit macet nasabah. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Andhini S.F