JAKARTA, HUMAS MKRI Sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) secara daring pada Senin (16/8/2021). Para Pemohon Perkara Nomor 33/PUU-XIX/2021 ini adalah Nurhasanah (Pemohon I) dan Khoerul Huda (Pemohon II) didampingi tim kuasa hukum Zul Armain Aziz dkk.
Para Pemohon menyampaikan beberapa perbaikan, di antaranya mengurangi norma yang diuji sesuai nasihat Panel Hakim pada sidang pendahuluan. Juga dalam Kewenangan Mahkamah, para Pemohon telah memasukkan UU No. 7 Tahun 2020. Berikutnya, sistematika permohonan dibuat sesuai format dalam Peraturan MK No. 2 Tahun 2021.
“Selain itu, para Pemohon menguraikan kebertentangan antara pasal yang diuji dengan batu uji dalam UUD 1945 dalam dimensi tekstual, kontekstual maupun subtansial," kata Zul Armain Aziz salah seorang kuasa Pemohon.
Untuk diketahui, Para Pemohon melakukan pengujian materiil Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) UU OJK. Pasal 53 ayat (1) UU OJK menyatakan, “Setiap Orang yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, atau menghambat pelaksanaan kewenangan OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan/atau Pasal 30 ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)." Kemudian Pasal 53 ayat (2) UU OJK menyatakan, "Apabila pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) atau paling banyak Rp.45.000.000.000,00 (empat puluh lima miliar rupiah)."
Berikutnya, Pasal 54 ayat (1) UU OJK menyatakan, "Setiap Orang yang dengan sengaja mengabaikan dan/atau tidak melaksanakan perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf d atau tugas untuk menggunakan pengelola statuter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)." Terakhir, Pasal 54 ayat (2) UU OJK menyatakan, "Apabila pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi, korporasi dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) atau paling banyak Rp.45.000.000.000,00 (empat puluh lima miliar rupiah)."
Para Pemohon adalah pemegang polis Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 yang badan usahanya berbentuk usaha bersama sehingga pemegang polis adalah pemilik dari badan usaha tersebut. Selain itu, para Pemohon juga merangkap sebagai anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912.
Kuasa hukum para Pemohon, Zul Armain Aziz dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan di MK pada Selasa (3/8/2021) menuturkan, pada 8 Maret 2021 Nurhasanah (Pemohon I) dipanggil oleh Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan dan ditetapkan sebagai tersangka. Ia diduga melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan berupa mengabaikan atau tidak memenuhi atau menghambat pelaksanaan kewenangan OJK dan/atau tidak melaksanakan perintah tertulis Nomor S.13/D.05/2020 tanggal 16 April 2020 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan/atau Pasal 54 UU OJK juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP di AJB Bumiputera 1912 periode April 2020 sampai dengan Oktober 2020.
Para Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan akibat keberadaan Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) UU OJK yang tidak sesuai dengan sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 4 1945. Pemohon I ditetapkan sebagai tersangka oleh Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan dalam dugaan tindak pidana di sektor jasa keuangan berupa mengabaikan atau tidak memenuhi atau menghambat pelaksanaan kewenangan OJK tersebut di atas.
Para Pemohon mendalilkan frasa "Setiap orang yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, atau menghambat pelaksanaan kewenangan OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan/atau Pasal 30 ayat (1) huruf a" UU No. 21/2011 dan frasa "Setiap orang yang dengan sengaja mengabaikan dan/atau tidak melaksanakan perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf d atau tugas untuk menggunakan pengelola statuter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f", merupakan suatu pasal yang bersifat elastis yang dapat disalahgunakan oleh OJK untuk menjerat seseorang atau korporasi melakukan tindak pidana dalam sektor jasa keuangan.
Frasa "dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, atau menghambat pelaksanaan kewenangan" dan frasa "dengan sengaja mengabaikan dan/atau tidak melaksanakan perintah tertulis" tersebut menurut hemat para Pemohon merupakan bentuk ketidakpastian hukum yang adil dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab frasa tersebut mempunyai unsur subjektifitas bagi OJK, yang mana apabila suatu perintah tertulis yang terdiri dari beberapa poin dan salah satu poin belum dilaksanakan, maka OJK dapat melakukan kewenangannya dengan mempergunakan Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK sebagai acuan hukum.
Baca juga:
Jadi Tersangka, Anggota BPA AJB Bumiputera Uji UU OJK
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.