JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Bupati dan Wakil Bupati Pesisir Selatan 2020 pada Jumat (13/8/2021) siang. Permohonan diajukan oleh Pasangan Calon Nomor Urut 1 Hendrajoni dan Hamdanus.
Sidang panel yang memeriksa Perkara Nomor 148/PHP.BUP-XIX/2021 adalah Hakim Konstitusi Arief Hidayat (ketua), Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul (masing-masing sebagai anggota). Memulai persidangan, Ketua Panel Arief Hidayat menanyakan permohonan yang akan digunakan oleh Pemohon. Kemudian Pemohon menjelaskan akan menggunakan permohonan yang telah diperbaiki tertanggal 28 Juli 2021.
Namun Arief mengatakan Panel Hakim menerima permohonan yang telah diperbaiki tertanggal 29 Juli 2021. Akhirnya, Oktavianus Rizwa, Muhammad Arif dan Zenwen Pador selaku kuasa Pemohon memutuskan untuk menggunakan permohonan yang telah diperbaiki tertanggal 29 Juli 2021.
Inti Permohonan
Dalam permohonannya, Pemohon mempersoalkan Keputusan KPU Kabupaten Pesisir Selatan No. 259/Pt.02.3-Kpt/1381/KPU-Kabupaten/X/2020 tentang Penetapan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Pesisir Selatan Tahun 2020 tanggal 23 September 2020. Pemohon mempersoalkan isu konstitusionalitas, hukum, dan moral dari sejumlah Keputusan KPU Pesisir Selatan dalam rangkaian tahapan pemilihan yang cacat formil secara administratif, bersifat melawan konstitusi, hukum maupun moral.
Menurut Pemohon, KPU Pesisir Selatan telah melegalkan Calon Bupati Nomor Urut 2 Rusma Yul Anwar untuk mengikuti Pemilihan Bupati Pesisir Selatan 2020 yang hasilnya telah menetapkan calon nomor urut 2 sebagai pemenang pilkada. Prinsipnya, menurut Pemohon, calon nomor urut 2 tidak memenuhi syarat administrasi pencalonan. Di antaranya, sebelum mencalonkan sebagai bupati, calon nomor urut 2 sudah berstatus sebagai terpidana dengan dua putusan pengadilan, yaitu Pengadilan Negeri Padang dan Pengadilan Tinggi Padang. Adapun tindak pidananya, melakukan usaha tanpa memiliki surat izin lingkungan. Bahkan putusan kedua pengadilan tersebut meminta penahanan calon nomor urut 2, meskipun faktanya yang bersangkutan tidak ditahan.
Saat penetapan calon bupati, ungkap Pemohon, calon nomor urut 2 sedang melakukan proses kasasi di Mahkamah Agung. Di balik proses kasasi tersebut, menurut Pemohon, ada syarat administrasi yang mesti dipenuhi calon nomor urut 2. Salah satunya adalah Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang dimiliki calon nomor urut 2. Karena semestinya SKCK tidak bisa dikeluarkan karena calon nomor urut 2 masih dalam proses peradilan atau status terpidana kasus lingkungan hidup.
“Berdasarkan fakta inilah yang menyebabkan penyelenggaraan pilkada telah jauh menyimpang dari pemilu yang jujur dan adil," jelas kuasa Pemohon, Oktavianus Rizwa.
Tanggapan Hakim
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mencermati permohonan Pemohon sudah pernah diajukan oleh Pemohon dengan kuasa hukum yang berbeda. Enny juga mempertanyakan rentang waktu yang cukup jauh antara pelantikan calon nomor urut 2 pada Februari 2021 dengan permohonan yang diajukan Pemohon pada Juli 2021.
"Seolah-olah orang menganggap ini perkara baru, padahal ini perkara yang pernah diajukan sebelumnya," kata Enny.
Sementara Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul kembali menegaskan permasalahan inti Pemohon. Pemohon meminta jawaban yang intinya adalah mengenai syarat administrasi yang tidak terpenuhi oleh calon nomor urut 2. Pertama, mengenai persoalan status terpidana. Kedua, persoalan SKCK dari calon nomor urut 2.
Sedangkan Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta kepada Termohon menjelaskan terkait alasan calon nomor urut 2 diloloskan ikut pilkada, meski tidak memenuhi syarat administrasi. Selain itu, Arief meminta Bawaslu menjelaskan terkait persoalan yang diajukan Pemohon. Jawaban dan keterangan mengenai hal tersebut disampaikan pada sidang lanjutan perkara ini pada 18 Agustus 2021.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.