JAKARTA, HUMAS MKRI – Setiap negara mempunyai karakteristik tersendiri dalam memutuskan suatu pelegalisasian terhadap ganja atau minyak ganja (cannabis oil) untuk pelayanan kesehatan yang termasuk dalam golongan narkotika. Sehingga tidak dapat disamakan satu negara dengan negara lainnya.
Keterangan ini disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR Taufik Basari dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Sidang beragendakan mendengar keterangan DPR dan Pemerintah ini digelar pada Selasa (10/8/2021) di Ruang Sidang Pleno MK secara daring.
“Proses legalisasi ganja pun membutuhkan penelitian secara ilmiah yang jelas; ilmu pengetahuan yang pasti; dan membutuhkan waktu untuk melakukan penelitian tersebut. Sehingga, tidak dapat langsung serta merta dipersamakan karakteristik beberapa negara dengan negara Indonesia dalam melakukan pelegalisasian terhadap minyak ganja untuk pelayanan Kesehatan,” ucap Taufik dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Sebelumnya, Perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Dwi Pertiwi (Pemohon I); Santi Warastuti (Pemohon II); Nafiah Murhayanti (Pemohon III); Perkumpulan Rumah Cemara (Pemohon IV), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) (Pemohon V); dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) (Pemohon VI). Para Pemohon menguji secara materiil Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) yang melarang penggunaan ganja untuk pelayanan kesehatan. Hal ini dianggap merugikan hak konstitusional Pemohon karena menghalangi Pemohon untuk mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak Pemohon.
Selain itu, dalam keterangannya, Taufik juga menyampaikan telah ada usulan untuk melakukan revisi UU Narkotika terkait kebijakan penggunaan ganja untuk pelayanan Kesehatan ini. Menurutnya, hal tersebut dibuktikan dengan masuknya usulan tersebut ke dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2021 dengan status usulan Pemerintah.
Taufik melanjutkan bahwa persoalan narkotika adalah masalah transnasional sehingga dalam pengkajiannya, tak hanya mengutamakan aspek hukum, tetapi juga melihat aspek kesehatan. Selain itu, ia menyebutkan jika dalam penentuan kebijakannya pun harus didasarkan pada metode ilmiah dengan berbagai tahapan.
“Sehingga dari hasil penelitian tersebut nantinya akan ditemukan kebenaran dan pemanfaatan dari narkotika tersebut secara lebih lanjut serta perlu pula dilakukan pengujian untuk kepentingan praktis. Maka, penelitian dilakukan untuk mendapatkan informasi kesehatan guna pembangunan kemajuan bidang kesehatan,” papar Taufik.
Baca juga: Menyoal Konstitusionalitas Penggunaan Narkotika Golongan I Untuk Kepentingan Medis
Dampak Ketergantungan Tinggi
Berikutnya Taufik menyampaikan keterangan terkait dengan pelarangan penggunaan narkotika Golongan 1 yang memiliki dampak ketergantungan sangat tinggi. Diakui olehnya bahwa hingga saat ini penggunaannya masih dilarang kecuali untuk kesehatan sehingga negara wajib mengawasi. Di samping alasan tersebut, pelarangan ini berkaitan dengan keberadaan negara dalam menjamin hak pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu bagi setiap warga negara. Serta kewajiban negara untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, negara harus mempelajari dan menelusuri melalui lembaga-lembaga resmi penelitiannya untuk mempelajari dengan sungguh tentang kemajuan ini.
“Mengingat tingkat ketergantungan narkotika golongan 1 sangat tinggi dan berbahaya untuk kesehatan, maka sesuai dengan ketentuan yang berlaku hingga saat ini, narkotika golongan 1 dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Pemberian pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu pada masyarakat merupakan tanggung jawab negara sebagaimana diatur ketentuan Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Kesehatan. Oleh karena itu, negara wajib mengontrol penggunaan narkotika agar tidak disalahgunakan. Di sisi lain, negara juga wajib menjamin pemenuhan hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu sebagaimana diamanatkan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” papar Taufik.
Sementara itu, menyoal masalah yang diutarakan para Pemohon dalam permohonannya, Taufik mengatakan hal tersebut bukanlah permasalahan konstitusional. Melainkan masalah kemanusiaan yang harus dicari jalan keluarnya. Atas hal ini, DPR berpandangan bahwa ketentuan pasal-pasal yang diujikan para Pemohon bersifat kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy). Sehingga sejauh tidak bertentangan dengan kewenangannya, pembuat undang-undang dapat melakukan pengubahan terhadap kebijakan yang dinilai tidak relevan lagi. Termasuk dengan adanya permasalahan yang disampaikan para Pemohon ini, dapat menjadi sumber informasi bagi para pembentuk kebijakan, baik data maupun faktanya untuk kemudian diajukan sebagai bagian dari masukan-masukan untuk revisi UU Narkotika nantinya dalam prolegnas.
Tidak Ada Manfaat Secara Klinis
Pada kesempatan berikut, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Arianti Anaya mewakili Pemerintah menyampaikan bahwa larangan penggunaan minyak ganja ataupun ganja untuk tujuan medis belum dapat dilakukan di Indonesia. Selain karena sulitnya pengawasan penggunaan ganja jika dilihat dari letak geografis Indonesia, Arianti juga menyebut belum ada bukti manfaat klinis dari penggunaan ganja ataupun minyak ganja untuk pengobatan di Indonesia.
“Dengan demikian, kalangan medis tidak menggunakan ganja dan produk turunannya pada saat ini. Meskipun saat ini di Amerika salah satu kandungan, yaitu Kanabidiol dapat memberikan efek anti epilepsi dan sudah di-approve oleh FBI pada tanggal 28 Juni 2018 dengan nama epidiolex, tetapi di Indonesia terdapat drug of choice epilepsy, yaitu gabapentin, asam valproat, dan sebagainya," urai Arianti.
Tak hanya itu, Arianti menambahkan penggolongan narkotika telah didasarkan pada kesepakatan internasional. Oleh karenanya, hanya narkotika Golongan 3 yang punya potensi ringan menyebabkan ketergantungan. Sedangkan untuk narkotika Golongan 1 masih menduduki tempat tertinggi yang menyebabkan ketergantungan bagi penggunanya. “Maka sangat logis jika narkotika Golongan 1 hanya digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan dilarang untuk pelayanan kesehatan,” ucap Arianti.
Kemudian Arianti menyebutkan bahwa tanaman ganja di Indonesia saat ini masih banyak yang bersifat merugikan daripada mendatangkan manfaat. Diakuinya bahwa kasus sitaan ganja masih tinggi karena banyak disalahgunakan untuk rekreasi atau penggunaan yang bersifat rekreasional sehingga angka kematian akibatnya lebih tinggi. Ganja dan produk turunannya saat ini masih dimasukkan dalam bahan yang dilarang untuk digunakan. Sebab pengendalian ganja yang dimanfaatkan untuk pengobatan hanyalah sementara dan jangka pendek saja. Sehingga manfaatnya tidak sebanding dengan risiko yang akan ditanggung ke depan.
Baca juga: LSM dan Ibu dari Pasien Celebral Palsy Pertegas Kedudukan Hukum dalam Uji UU Narkotika
Sebagai informasi, Dwi Pertiwi sebagai salah seorang ibu yang menjadi Pemohon, terungkap pernah memberikan terapi minyak ganja (cannabis oil) kepada anaknya yang menderita celebral palsy semasa terapi di Victoria, Australia, pada 2016 silam. Akan tetapi, sekembalinya ke Indonesia, Pemohon menghentikan terapi tersebut karena adanya sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU Narkotika. Begitupula dengan dua orang ibu lainnya yang menjadi Pemohon perkara ini. Adanya larangan tersebut telah secara jelas, menghalangi Pemohon untuk mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak Pemohon.
Sementara kedudukan hukum Perkumpulan Rumah Cemara, ICJR, dan LBHM merupakan organisasi nirlaba yang didirikan dengan tujuan agar masyarakat dapat terpenuhi akses terhadap pelayanan kesehatan. Menurut para Pemohon, penjelasan norma a quo telah mengakibatkan hilangnya hak para Pemohon untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Hak demikian sudah diadopsi dalam Pasal 4 huruf a UU Narkotika yang menyebutkan Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya dalam Pasal 7 UU Narkotika disebutkan, narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga, berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a juncto Pasal 7 UU Narkotika, narkotika dapat digunakan dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak atas pelayanan kesehatan yang dijamin dalam konstitusi.
Di samping itu, ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU Narkotika memberikan peluang dilakukannya penelitian terhadap narkotika Golongan I dengan ketentuan tertentu. Dengan demikian, ketentuan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika tersebut telah mengakibatkan hilangnya hak para Pemohon untuk mendapatkan manfaat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berupa hasil penelitian tentang manfaat kesehatan dari narkotika Golongan I.
Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Anwar Usman mengumumkan bahwa sidang berikutnya akan digelar pada Senin, 30 Agustus 2021 pukul 11.00 WIB. Agenda persidangan berikutnya adalah mendengarkan keterangan dari tiga Ahli yang dihadirkan para Pemohon. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : M. Halim