JAKARTA, HUMAS MKRI - Pemberian perpanjangan pemegang Kontrak Karya Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (KK PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) adalah bentuk penguatan pengawasan pemerintah pusat terhadap kegiatan usaha pertambangan. Pengertian ‘dikuasai oleh negara’ dalam Pasal 33 UUD 1945 tidak secara otomatis dikelola langsung oleh negara atau pemerintah. Akan tetapi, pengelolaannya dapat diserahkan kepada pihak swasta disertai dengan pengawasan pemerintah. Maka, terhitung sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, pemerintah tidak pernah lagi membuat KK PKP2B dengan swasta.
Demikian keterangan yang disampaikan Irwandy Arif selaku Ahli yang dihadirkan Pemerintah dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), pada Rabu (4/8/2021). Persidangan kesepuluh yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) ini untuk memeriksa tiga perkara sekaligus, yakni Perkara Nomor 59/PUU-XVIII/2020, Nomor 60/PUU-XVIII/2020, dan Nomor 64/PUU-XVIII/2020.
Lebih jelas Irwandy menyebutkan terhadap pemegang KK PKP2B tetap diwajibkan untuk memenuhi persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial yang juga berlaku pada pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) lainnya. Selain itu, sambung Irwandy, pemegang KK PKP2B juga wajib memenuhi persyaratan tambahan lainnya, di antaranya kewajiban pengolahan dan pemurnian atau nilai tambah di dalam negeri, penggunaan tenaga kerja dan barang serta jasa dari dalam negeri, penyesuaian luas wilayah sesuai Rencana Pengembangan Seluruh Wilayah (RPSW) yang disetujui oleh menteri, dan kewajiban divestasi.
“Namun demikian, tetap ada kewenangan absolut pemerintah untuk menolak permohonan IUPK jika pemegang KK PKP2B tidak menunjukkan kinerja yang baik,” tegas Irwandy dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya dari Ruang Sidang Pleno MK.
Tak Ada Kewenangan yang Tereduksi
Sementara itu, berkaitan dengan kewenangan pemerintah daerah atas perpanjangan izin ini, Irwandy menyatakan tidak ada kewenangan yang tereduksi. Sebab, sejak adanya peraturan pertambangan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 dan Keppres Nomor 75 Tahun 1996 sampai dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 ini, kewenangan pengelolaan KK PKP2B yang bersifat strategis tersebut tetap melekat pada pemerintah pusat dan tidak pernah diberikan kepada pemerintah daerah. Sebagai ilustrasi, Irwandy mencontohkan yang terjadi pada Freeport-McMoran yang perizinannya dibuat dengan pemerintah pusat pada April 1967 dan bukan pemerintah daerah. Singkatnya, Irwandy berpendapat bahwa lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, khususnya ketentuan Pasal 169A sama sekali tidak menyebabkan penguasaan dan pengawasan yang dilakukan negara menjadi melemah.
Prioritas kepada BUMN
Berikutnya Irwandy menyoroti tentang pemberian prioritas kepada BUMN untuk mengelola tambang. Menurutnya, contoh konkret ini dapat dilihat pada PT Freeport Indonesia kepada BUMN PT Inalum Indonesia dan PT Vale Indonesia. Pada pelaksanaan investasi pada 2020 lalu adalah selain peralihan saham mayoritas Freeport serta penyertaan saham dalam PT Vale Indonesia, bentuk prioritas lain yang diberikan kepada BUMN, di antaranya BUMN dapat memiliki lebih dari satu IUP atau IUPK, luas wilayah IUP operasi produksi hasil penyesuaian pertambangan yang diberikan kepada BUMN berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu IUP operasi produksi, dan BUMN dapat mengalihkan sebagian wilayah IUP IUPK kepada pihak lain dengan kepemilikan saham mayoritas minimal 51% wajib dimiliki oleh BUMN.
“Maka tidak benar kalau dikatakan pemerintah berpihak pada kepentingan kapitalis dan oligarki karena pemberlakuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 justru menjadi karpet merah bagi BUMN, khususnya berkenaan dengan hak menguasai negara,” tegas Irwandy.
Dikotomi Hubungan Pusat dan Daerah
Pada kesempatan yang sama Abrar Saleh yang merupakan Ahli Hukum Pertambangan juga dihadirkan Pemerintah untuk memberikan keterangan atas dalil yang disampaikan para Pemohon dalam perkara ini. Dalam pandangan Abrar, Pasal 169A UU Minerba tidak bertentangan dengan amanah Pasal 18A Ayat (2) UUD 1945. Menurutnya pula, UU Minerba tidak menciptakan dikotomi hubungan pusat dan daerah, baik dari segi kewenangan, fungsi, dan tanggung jawab. Pola hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan dan pengusahaan pertambangan adalah pola konsultasi ke atas dan berkoordinasi ke bawah.
“Pola hubungan ini termuat dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) juncto Pasal 6 ayat (1) huruf f, Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 17 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Minerba. Ketentuan-ketentuan tersebut juga melandasi Pasal 169A dan sejalan dengan amanah Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” sebut Abrar dalam sidang yang dihadiri para pihak secara virtual dari tempat yang berbeda.
Untuk diketahui, permohonan Perkara Nomor 59/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Kurniawan, perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai peneliti di Organisasi Sinergi Kawal BUMN yang fokus mengawasi dan menyikapi serta memberikan masukan kepada BUMN yang bergerak di bidang Minerba. Menurut Pemohon, substansi materi UU Minerba berisi tentang ketentuan-ketentuan norma yang mengatur hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam. Hal ini berarti keikutsertaan DPD RI dalam membahas Rancangan Undang-Undang Minerba adalah suatu amanat konstitusi yang tidak bisa diabaikan karena menyangkut hadirnya kedaulatan rakyat yang telah diberikan kepada DPD RI melalui Pemilu untuk mewakili kepentingan daerah atas pembentukan UU Minerba. Pemohon selaku Pemilih dalam Pemilu serta sebagai peneliti yang fokus di bidang pertambangan telah mengalami kerugian konstitusional oleh karena tidak dilibatkannya DPD RI dalam proses pembentukan UU tersebut.
Kemudian perkara Nomor 60/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh Alirman Sori dan tujuh Pemohon lainnya. Para Pemohon merupakan pihak yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena pembahasan UU Minerba dilakukan secara eksklusif dan tertutup dengan tanpa mengindahkan prinsip keterbukaan dan transparansi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan DPD padahal sesuai dengan konstitusi, DPD mempunyai kewenangan membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.
Sedangkan permohonan perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Helvis, seorang advokat sekaligus purnawirawan TNI, dan Muhammad Kholid Syeirazi, Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU). Para Pemohon mempersoalkan pasal yang disisipkan dalam UU Minerba, yaitu Pasal 169A yang secara umum mengatur perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Helvis dan Kholid berpandangan Pasal 169A UU Minerba memberikan peran yang terlalu besar kepada Menteri dan mengesampingkan peran pemerintah daerah. Menurut para Pemohon, pasal tersebut memperlihatkan pembentuk undang-undang tidak berpihak kepada organ negara, dalam hal ini BUMN dan BUMD. Sebaliknya, pasal tersebut malah mengatur pemberian perpanjangan IUPK kepada pihak selain BUMN dan BUMD.
Baca juga:
MK Gelar Tiga Perkara Pengujian UU Pertambangan Mineral dan Batubara
Tiga Perkara UU Minerba Perbaiki Permohonan
UU Pertambangan Mineral dan Batubara Digugat
Pemohon Uji UU Minerba Perbaiki Permohonan
Sidang Uji UU Minerba: DPR dan DPD Berhalangan, Pemerintah Minta Penundaan
Pemerintah: Perubahan UU Minerba Dilakukan Guna Memperbaiki Kontribusi Sektor Pertambangan
Ahli: UU Minerba Cacat Formil
Ahli: Pemeriksaan Pengujian Formil dan Materiil Harus Dipisah
Saksi: RUU Minerba Telah Masuk Prolegnas Prioritas 2019
I Gde Pantja Astawa: Pembentukan UU Minerba Telah Penuhi Asas Keterbukaan
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.