JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU 39/1999), pada Rabu (3/8/2021) siang secara daring. Perkara Nomor 31/PUU-XIX/2021 dimohonkan oleh Lee Yang Hun yang merupakan seorang pengusaha.
Dalam sidang perbaikan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Sunggul Hamonangan Sirait selaku kuasa hukum pemohon mengatakan terdapat 10 poin penting perbaikan yang telah dielaborasi. Perbaikan pertama, sambung Sunggul, terdapat pada sistematika permohonan yang telah disesuaikan dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2001 tentang Kewenangan MK, kedudukan hukum permohonan atau legal standing, alasan-alasan pokok dalam permohonan, dan hal-hal yang dimohonkan.
“Kemudian, dasar hukum tentang kewenangan MK menurut Pasal 24C Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” papar Sunggul.
Selanjutnya, Sunggul juga menjelaskan bahwa pemohon juga telah menguraikan kedudukan hukum sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 Pasal 4 ayat (2) huruf a sampai dengan i.
Pada kerugian yang dialami, Pemohon memperbaiki dengan menguraikan kerugian baik aktual dan potensial. Selain itu, penjelasan tentang dua perkara hukum yang sama, yaitu locus delicti-locus delicti dan substansi perkara yang sama yang dialami Pemohon di PN Bekasi. “Perbaikan atas hal-hal yang dimohonkan, pemohon juga mengutarakan pembatasan-pembatasan berlakunya asas nebis in Idem, “jelasnya.
Baca juga: Ditahan Dua Kali untuk Kasus yang Sama, WNI Hasil Naturalisasi Uji KUHP
Pada sidang pemeriksaan pendahuluan, Pemohon adalah seorang WNI naturalisasi yang berprofesi sebagai pengusaha yang telah menjalankan usaha di Indonesia. Namun, Pemohon telah mengalami dan menjalani perlakuan hukum yang sangat tidak adil dan merasa tidak adanya kepastian hukum di Indonesia. Pemohon berdalih dirinya mengalami perlakuan dan pengalaman didakwa, dituntut, dipenjara/ditahan, serta disidangkan masing-masing sebanyak 2 (dua) kali dengan dasar Laporan Polisi dan oleh Pelapor yang sama. Hal ini dinilai Pemohon berpotensi akan membuat dirinya diperlakukan hal yang serupa, yakni akan disangka, didakwa dan dituntut dan dilakukan penahanan serta disidangkan berkali-kali sesuai selera Penyidik maupun Jaksa Penuntut Umum.
Menurut Pemohon, tidak adanya kejelasan dalam penegakan hukum sebagaimana diatur dalam KUHP dan UU HAM. Hal ini terjadi akibat pergeseran nilai-nilai perihal asas nebis in idem sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) KUHP serta Pasal 18 ayat (5) UU HAM. Lebih lanjut ia menjelaskan, asas ne bis in idem adalah merupakan prinsip dasar dalam sistem peradilan pidana di berbagai negara yang menganut sistem Eropa Kontinental. Sedangkan di beberapa negara yang menganut sistem common law dikenal dengan asas double jeopardy yang pada prinsipnya bahwa seseorang tidak dapat dituntut dua kali untuk tindak pidana yang sama.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, serta Pasal 18 ayat (5) HAM bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, Pemohon meminta agar Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) KUHP serta Pasal 18 ayat (5) UU HAM dianggap diperlukan dalam pertimbangan hukum di Indonesia agar frasa “putusan yang menjadi tetap” atau “putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap“ dinyatakan dihapus. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : Fitri Yuliana